KITA LIHAT AJA NANTI...


"Kita memang tidak pernah punya jawaban yang pasti. Karena setiap orang, berbeda pendapat...
dan juga keyakinan."

"jadi?"

"Kita harus berani mengambil keputusan,
walaupun kita nggak punya jawaban yang pasti...
atau...
kita akhiri...?"

"Dua-duanya memang nggak ada yang jelas buat kita"

***

"Sebenarnya kita masih bisa bersama-sama
tapi pasti banyak yang terluka"

"Buat apa kita bahagia kalau banyak yang nangis...."

"Kamu inget nggak, kamu pernah bilang..
jodoh itu Tuhan yang ngatur"

"Tapi kita nggak akan pernah tahu, sampai kita hidup dengan seseorang itu..."

***

"Kita lihat aja nanti..."


----------------
"Sudahlah tidak ada sedikitpun ruang dihatinya yang bisa kau masuki. Lupakan dia! Dia tidak menginginkanmu!"

"Padahal dalam hati kamu berkata, 'aku mencintaimu..'"


"Ketika kau tahu bahwa kau begitu mencintainya. Itu tidak sama dengan kau harus memilikinya, bukan?" 


"Ini dunia, semuanya bisa terjadi, semuanya bisa kau miliki. Tapi tidak semua yang kau harapkan bisa kau gapai. Realitislah, dan belajar untuk melihat kenyataan." 

"Tidak bersama dia pun kau masih mencintainya, bukan?" 

"Tidak memilikinya kau masih bisa bertemu dengannya, bukan?" 

"Tidak menjadi 'the one'-nya toh kau masih bisa berhubungan baik dengannya, bukan?"

"Tidak menjadi yang terpenting dalam hidupnya tetapi kau masih bisa melihat senyumnya, bukan?"

"Jodoh itu Tuhan  yang ngatur."

"Tapi kita masih bisa bertemu lagi, mungkin tidak saat ini, mungkin juga bukan masa depan, entah itu kapan?

"Kita lihat aja nanti"

=====================

Pengen nulis aja pokoknya.
Abis nonton film lama "3 Hati 2 Dunia 1 Cinta" sama baca notenya kak Fikriyah Winata (http://www.facebook.com/note.php?note_id=10150100948091772)

PITUTUR (1)



"Doa permintaanmu saya usulkan di depan pintu ka'bah. Mugo2 Allah ngijabahi. Amien" [Abah, waktu haji, setelah thowaf]

“Ngati-ngati, mugo-mugo kasil cita-citane. Amien" [Abah, setelah sholat eid]

“Alhamdulillah…tetep wajib disyukuri. Mugo-mugo semester berikute naik lagi lan luwih barokah. Amin.” [Sms Abah, setelah tahu nilai IPK]


***

"Nur....pokok nek rabi, suk bar wisuda lho, Nur. Gandeng-gandeng cewek suk nek wis wisuda koyo mas Huda kae. Syukur-syukur oleh bocah santri." [Ibu', waktu cuci piring. Tanpa sengaja nyeletuk]

"Suk, mugo-mugo oleh jodoh cedak Ngunut, kono wae. Pondok Ngunut. Mugo-mugo ilmune manfaat barokah. Tutuk lek sekolah. Padang pikirane.” [Telfon dari Ibu’]


***

“Tulisanmu cukup reflektif. Terus menulis, cah Bagus..” [Komentar terakhir Mas Najib, di note facebook ‘Proses dan Hasil, Selamat Hari Ibu’]


"Segera. Ojo sampek ga..., dengan alasan apapun. Kesempatan besar kuwi" [Sms Mas Najib, waktu mau apply beasiswa]

“Teruskan. Jangan lekas puas. Melu lomba terus. Nulis terus. Lek iso sing bahasa inggris barang. Mocone sing akeh. Sing ikhlas. Mugo2 terbaik. Syarate, lek melu ngono2 kuwi kudu akeh mocone tur sing rendah hati, IP/kuliah ojo sampe terbengkalai. Penting iki, untuk kelanjutan studi S2 di luar negeri IPK dijogo 3.5 ke atas." [Pesan Mas Najib, waktu mau lomba di Universitas Kristen Maranatha, Bandung]


"Anggap yg sekarang dilakukan koyo wong klumpuk2, investasi, untuk masa depan. Umpomo wong gawe omah, saiki lagi nglumpukne botone, gendenge, wesine. Dadi lakonmu ki seh dowo. Makane slow motion aja. Santai, tenang, ning pasti/mentes.” [Mas Najib, kesimpulan waktu chattingan]

"Petualangan belum usai. Tak baik bila cepat puas. Ingat ingat kataku ini dalam-dalam: Ilmu itu nagihi, Le." [Mas Najib, setelah baca hasil resensi buku ‘Bank Kaum Miskin’]

SANTRI PONPES UII JUARA MAWAPRES UII

Agus Fadilla Sandi
(Sumber: ini dan ini)


Yogyakarta, 25 April 2011. Satu lagi prestasi telah ditorehkan oleh sejumlah santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (PPUII) belum lama ini. 


Adalah Agus Fadilla Sandi, santri angkatan 2008 yang juga mahasiswa program studi Ilmu Hukum UII ini telah berhasil menjuarai pertama pada ajang seleksi Mahasiswa Berprestasi (Mawapres) tingkat Universitas Islam Indonesia. Agus, begitu ia biasa disapa, berarti juga telah menempati posisi teratas dalam hal prestasi dari sekitar 22.000 mahasiswa di 8 fakultas yang ada di lingkup UII.


Ketika ditemui di tengah-tengah kesibukannya, mahasiswa asal Medan ini mengaku bahwa dirinya tidak menyangka bisa jadi pemenang pada ajang bergensi bagi mahasiswa berprestasi UII ini.


“Secara pribadi saya tidak menyangka bisa jadi Mawapres (juara I) UII tahun ini, karena label mawapres tersebut, kan, merupakan cerminan mahasiswa/i berprestasi  se-UII.”


Meskipun demikian, Agus menuturkan, keikutsertaannya dalam ajang bergengsi Mawapres UII ini sudah ia persiapkan sejak semester II.


“Dulunya informasi Mawapres ini saya peroleh dari mas Robit, kakak angkatan saya, sehingga saya sudah mempersiapkan untuk pemilihan Mawapres sejak semester II. Jadi usaha saya tidak sia-sia.” tutur Agus.


Menanggapi hal tersebut, Drs. AF. Djunaidi, M.Ag, selaku direktur Pengembangan Bakat/Minat dan Kesejahteraan Mahasiswa UII ikut membenarkan. Djunaidi mengatakan, Agus menjadi yang terbaik dalam seleksi Mawapres tingkat UII yang telah dilaksanakan pada 3-4 April 2011 lalu.
 
Lebih lanjut, Djunaidi juga menjelaskan, bahwa juara I Mawapres UII nantinya akan mewakili UII ke seleksi Mawapres selanjutnya di tingkat Kopertis Wilayah V Propinsi D.I Yogyakarta pada Mei mendatang. Dari juara I dan II Kopertis ini, maka nantinya berhak mewakili Kopertis V ke seleksi Mawapres tingkat nasional yang dilaksanakan di Jakarta.

Mayoritas Santri Juara Mawapres


Sementara itu, urutan kedua pada ajang Mawapres UII tahun 2011 ini ditempati oleh Nur Haris Ali, mahasiswa program studi Psikologi 2008 yang juga santri Pondok Pesantren UII. Haris, begitu ia disapa, juga sama dengan Agus, ia tidak menyangka bisa menjadi juara II.


“Ya…saya bersyukur bisa jadi mawapres UII juara II. Bener-bener tidak menyangka aja. Bagi saya, ini adalah amanah besar,” tutur mahasiswa yang mengaku suka menulis ini.

Haris (juara II) dan Yanti (juara III), 
keduanya mahasiswa jurusan Psikologi UII
Untuk juara III ditempati oleh Rabi’atul Aprianti, mahasiswi Psikologi 2009, disusul juara IV, Kesuma Ferdianto, mahasiwa Teknik industri 2007, juara V Ely Windarti Hastuti, mahasiswi Ekonomi 2008, juara VI M. Miqdam Mussawa, santri PPUII yang juga mahasiswa Kimia 2009, juara VII Baiq Leni Nopitasari, mahasiswi kimia 2008, juara VIII, Khalilurrahman, santri PPUII yang juga mahasiswa Pendidikan Islam 2008, dan urutan terakhir, juara IX, ditempati oleh mahasiswa Ekonomi angkatan 2008, Arie Heraldin Hutama (HNA/UIINews)

SEMANGAT BELAJAR ALA KARTINI

"Perempuan memang berbeda dalam kodratnya, tapi sebagai manusia, entah perempuan entah pria, semua setara. " (Nada Haroen)

Coba tanyakan pada dunia, siapa tokoh paling berpengaruh dalam memperjuangkan kesamaan hak bagi kaum wanita Indonesia. Saya yakin, hanya orang-orang yang tak mengenal sejarah yang akan bilang "emang siapa?".

Adalah Raden Ajeng Kartini. Wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah 21 April 1879 sosok tokoh yang sering-sering disebut dalam hal ini. Ia adalah anak salah seorang bangasawan yang masih sangat taat pada adat istiadat. Dulu, Kartini ketika setelah lulus dari Sekolah Dasar (dulu namanya ELS-Europese Lagere School), ia mati-matian tak diperbolehkan oleh orangtuanya untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi. Orangtuanya benar-benar melarang Kartini dan malah menikahkan dengan seorang laki-laki pilihan orangtuanya. Kartini sangat sedih dengan hal itu. Ia ingin menentang tapi tak berani karena takut dianggap anak durhaka. Demi tetap punya tambahan ilmu, Kartini lantas mengumpulkan buku-buku pelajaran dan buku ilmu pengetahuan lainnya yang kemudian dibacanya di taman rumah dengan ditemani simbok (pembantu. red)

Semua buku, termasuk surat kabar dari dalam maupun luar negeri, selalu ia baca. Kartini jadi semakin tahu dunia luar. Ia semakin tertarik dengan kehidupan gender di negara-negara maju. Melalui buku dan surat kabar itu, Kartini kemudian semakin fokus pada kemajuan berpikir kaum wanita. Kartini kemudian membandingkannya dengan wanita Indonesia yang waktu itu hanya boleh bersekolah sampai usia 12 tahun. Wanita Indonesia yang dikodratkan hanya untuk dandan dan di dapur serta hanya manut pada suami.

Bahkan, Pramoedya Ananta Toer, dalam karyanya berjudul “Panggil Saja Aku Kartini!” pun pernah bertutur bahwa, gadis Jawa jaman dahulu tak lebih dari sekadar aset bagi suaminya. Hak milik pada suami terhadap istrinya tak ubahnya seperti hak milik suami terhadap benda-bendanya, terhadap perabotnya. Perempuan praktis hanya menikmati dunia yang seluas-luasnya saat masih gadis, saat masih kanak. Begitu ia menjadi istri, dunia perempuan dibatasi oleh tembok-tembok rumahnya sendiri.

Kartini merasa tak bebas untuk menentukan pilihannya. Bahkan merasa tidak mempunyai pilihan sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita. Ia, dan para kaum wanita lain kala itu, selalu diperlakukan beda dengan saudara maupun teman-temannya yang pria. Timbul perasaan iri pada diri Kartini dengan kebebasan wanita-wanita Belanda. Kartini kemudian punya tekad kuat dalam hatinya, untuk mengubah kebiasan kurang baik itu.

Kartini ingin memajukan wanita Indonesia. Baginya, tak seharusnya wanita Indonesia hanya bisa dandan, di dapur, dan melayani suami. Tapi wanita Indonesia harus juga berilmu, berpendapat, dan bisa bebas seperti layaknya pria. Kartini kemudian memulai dengan mengumpulkan teman-teman wanitanya untuk diajarkan tulis menulis dan ilmu pengetahuan. Di tengah kesibukannya ia tidak berhenti membaca, tetapi juga menulis surat dengan teman-temannya yang berada di negeri Belanda. Tak berapa lama ia menulis surat pada Mr. J.H Abendanon, Ia akhirnya dapat beasiswa untuk belajar di negeri Belanda.

Namun, beasiswa yang didapatkannya pun tidak sempat ia manfaatkan karena harus ikut suaminya ke Rembang, Jawa Tengah. Untungnya, suami Kartini mengerti betul bahwa Kartini punya tekat ingin memajukan wanita Indonesia. Al hasil, suami Kartini pun ikut mendukung untuk mendirikan sekolah wanita pertama kali di Indonesia. Sekolah Wanita itu bahkan tak hanya di satu tempat, tapi juga di tempat-tempat lain: Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya. Semua nama sekolah sama: “Sekolah Kartini”.

Nama Kartini kemudian semakin mecuat sebagai sosok yang utuh dan transparan setelah kejadian itu. Sosok feminis sekaligus pendekar emansipasi wanita ini bahkan tetap menjadi pembela rakyat, pejuang anti koloni. Ketenarannya tak membuat Kartini jadi sombong, tapi justru semakin santun, hormat pada keluarga, hormat pada siapa saja dan tidak membedakan antara si miskin dan si kaya.

Kini wanita Indonesia tinggal menikmati usaha Kartini ini. Wanita Indonesia harus lebih bersyukur dan lebih bisa bebas, karena mereka sudah berhak mendapatkan pendidikan yang sama dengan laki-laki. Jangan takut lagi dengan adanya perbedaan gender. Karena kamu, wahai para perempuan, adalah Kartini-Kartini di zaman sekarang yang harus menikmati jerih payah sang pejuangmu: KARTINI. Tapi ingatlah dalam-dalam pesan berikut ini: teruslah belajar dan berbuat. Sekecil apa pun perbuatan itu. Karena satu langkah kecil hari ini, bisa menjadi awal perjalanan panjang untuk hari esok.

Selamat Hari Kartini! 21 April 2011
Salam

BERIKAN SAYA JAWABAN

Pada suatu kesempatan, di siang hari, handphone bergetar.

Ada SMS masuk.

"Mas lagi ngapain? Udah makan?"

"Ini mas baru aja selesai maem. Mas lagi di tempat kondangan, dek. Ada temen nikah," jawab pemilik hape tersebut.

Rupanya, percakapan singkat ini adalah percakapan antara adik dan kakak. Sang adik sedang tidak bersama kakaknya. Ia, si adik, sangking begitu perhatiannya sama si kakak, menanyakan apakah ia sudah makan apa belum.

"Hoho...mas kapan mau nyusul??," sms berlanjut.

"Hmmm....mana ada, dek, yang mau sama mas kayak gini ini," jawab kakak. Murung.

"Nggak boleh gitu. Kalau mas ngomong gitu, berarti mas nggak yakin kalau Allah udah nyiapin jodoh buat mas....." jawab sms itu, dari adik yang--sepertinya--bijaksana.

SMS masih berlanjut.

"Jadi, mas musti gimana, dek?," tanya kakak. Bingung, dengan harapan ada arahan.

"Yaa....nggak boleh ngomong gitu pokoknya.....," jawab adik. Singkat, tanpa arahan.

SMS berhenti. Terputus.

***
Pernahkah kita ketika ditanya, sehingga jawabannya kita seperti di atas? "Yaaa....nggak boleh ngomong gitu pokoknya" atau begini, "Pokoknya nggak boleh."

Anda yang saat ini sedang mangguk-mangguk, mungkin pernah mengalami hal demikian. Saya di sini akan membahas sisi psikologisnya. Tapi sebelumnya, perhatian satu contoh di bawah ini lagi:

"Mas, saya bingung. Sebaiknya, saya memilih jurusan Psikologi apa Kedokteran?," tanya si adik.

"Terserah kamu, dek. Kamu yang bisa milih," jawab kakaknya. Singkat.

Pertanyaan dan jawaban seperti di atas, sangat mungkin, sering kita hadapi. Baik sebagai penanya, maupun sebagai penjawab. Dan yang sering terjadi adalah, ketika kita ditanya, kemudian kita menjawab, "terserah kamu," atau "apa aja boleh" maka sebenarnya, jawaban yang demikian ini justru membuat si penanya tambah bingung. Karena yang diharapkan adalah sebuah jawaban. Mungkin malah arahan dari dua pilihan. Tapi yang kita kasih? "Terserah kamu, mana yang terbaik ambillah," atau "Ya...Pokoknya mana yang terbaik deh," : sebuah pilihan, bukan lagi arahan.

Dalam contoh kasus yang pertama di atas, si kakak akan merasa tambah bingung karena tidak boleh mengatakan "mana ada, dek, yang mau sama mas kayak gini ini," oleh adiknya. Lebih-lebih ketika si adik bilang "Yaa....nggak boleh ngomong gitu pokoknya," ketika sang kakak menanyakan, "Jadi, mas musti gimana, dek?." Sang kakak sebenarnya ingin meminta arahan bahwa, jika tidak boleh mengatakan, maka apa yang boleh di katakan?

Jadi, apa yang seharusnya kita lakukan?

Berikan jawaban.

Apapun jawaban itu.

Tak masalah bila jawaban itu salah, misalnya, yang penting tidak menambah beban bagi si penanya.
 "Putuskan! Salah? Alamiah." (Mario Teguh)

PERJUANGAN ITU MELELAHKAN, TAPI....

Mungkin pengumuman hari ini sudah menjadi keputusan-Nya. Ada banyak hal akhir-akhir ini yang saya lakukan. Mengikuti skenario Tuhan. Mulai dari ujian tengah semester (UTS), pengumpulan berkas dan presentasi karya tulis buat seleksi mahasiswa berprestasi (MAPRES) UII, asisten penelitian Pak Irwan pada hari Rabu, Kamis dan Sabtu, asisten penelitian Bu Uyun setiap Jum’at dan Minggu, sampai yang terakhir, yang begitu melelahkan: seleksi pertukaran pemuda antar negara untuk delegasi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Yah, itulah seadabrek kegiatan yang dalam satu minggu ini menumpuk. Seadabrek kegiatan yang karenanya saya banyak dikejar deadline. Seadabrek kegiatan yang "memaksa" saya harus menerapkan manajemen waktu. Seadabrek kegiatan yang hingga sore-sore, abis asistensi penelitian,  mengejar saya karena waktu pengumpulan berkas ke Balai Pemuda dan Olah Raga (BPO) di alun-alun selatan Jogja hampir habis. Seadabrek kegiatan yang oleh mas tukang fotocopy kampus saya terus ditanya, “kok banyak banget to mas sertifikat yang difotocopy? buat apa e?.” Dan seadabrek kegiatan yang oleh abah saya sempat ditanya, “nggo opo to?” ketika saya tanya, “abah kalih ibu, yuswone pinten nggeh? pendidikan terakhir nopo? pekerjaane kulo nulise nopo?.”





Semua memang proses. Proses untuk menjadi dewasa. Proses untuk menambah pengalaman. Proses untuk mengetahui kapasitas pribadi. Proses untuk meniti masa depan. Proses untuk mengejar dan mencapai mimpi. Dan, proses untuk mencari ridlo Tuhan.
"Kabeh sing dikerjakan sekarang, tujuan akhir golek ridhone Allah," [Abah]
Saya harus tetap mensyukuri keputusan hari ini, meskipun hanya mampu di tahap interview. Meskipun hanya seorang diri yang mewakili kampus UII di ajang International Youth Exchange (IYE) 2011 ini. Itu sudah menambah referensi dan pengalaman bagi saya. Pun saya harus tetap bersyukur, bahwa sampai saat ini, saya masih diberi kesibukan oleh Tuhan. 


Saya sadar bahwa saya memiliki kemampuan dan keterbatasan.  Dalam hal olah raga, oke, saya memang tak begitu menguasai. Di bidang seni apa lagi. Maka ketika ditanya oleh panitia seleksi pertukaran pemuda kemarin (9/4) “Haris bisa apa lagi?” saya hanya mengandalkan, “saya bisa main rebana,  thothi, dan organ, mas.” Hufh……

Seleksi hari kemarin memang begitu ketat. Saya, dan teman-teman saya yang lolos ke tahap interview, harus mengantri untuk menempati empat meja dari pagi jam 8 sampai sore jam 5. Terasa betul capeknya. Terasa betul letihnya. Terasa betul prosesnya. Tapi..
Perjuangan itu berdarah-darah, melelahkan, mungkin suatu saat kita harus berhenti dan meresapi perjalanan ini untuk mendalami proses yang telah kita lakukan. Yang terpenting adalah terus maju. Yang kita yakini adalah pemandangan di puncak sangat indah. Dan kita tahu pada akhirnya, ada puncak-puncak lain yang perlu kita capai.” [Indah Gilang]
Dan kata-kata sahabat saya inilah: Indah Gilang, yang saya pegang untuk keputusan "takdir" kali ini. Betul kata peraih best diplomacy award dalam Harvard World Model United Nations Singapore (WorldMUN) 2011 itu. Mungkin, saya harus berhenti dan meresapi perjalanan ini dulu, untuk mendalami proses yang telah saya lakukan. Yang terpenting, saya harus terus maju! Saya harus tetap meyakini bahwa pemandangan di puncak sangat indah! Saya harus tetap tahu, bahwa pada akhirnya, ada puncak-puncak lain yang perlu saya capai!

Terima kasih untuk PCMI Jogja. Terima kasih untuk Pak Mohammad Roy, yang sudah memberikan reference letter kepada saya. Terima kasih untuk Pak Irwan yang sudah memberikan tiga pesan kunci untuk hari seleksi kemarin. Terima kasih untuk Winda, sahabat saya, yang rela meminjami motornya ketika ban motor saya bocor sewaktu berangkat wawancara. Dan, terima kasih banyak untuk abah. Abah yang setiap tutur katanya selalu membikin saya sejuk. Membikin saya kuat tatkala suntuk. Membikin saya kokoh tatkala saya ambruk. Dan membikin saya merinding ketika ingat sewaktu haji dulu, abah pernah bilang, "do'a permintaanmu saya usulkan di depan pintu ka'bah. Mugo-mugo Allah ngijabahi." 
"Perjuangan itu seperti mendaki. Bikin sakit, berdarah-darah, dan luar biasa lelah. berusaha semampumu, tapi jangan surutkan langkah" [Indah Gilang]

AKU MERINDU KARENA KAU IDOLAKU


Saya sangat merindukan dan mengidolakan seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang mengerti tentang apa itu memimpin dari kacamata Islam. Memang boleh dikata, pandangan saya ini sangat subjektif, karena hanya memakai kacamata Islam saja. Tap bagi saya, hanya Islam lah yang memiliki prinsip-prinsip kepemimpinan yang ideal.

Setidaknya pandangan saya ini benar karena Islam mendasarkan prinsip kepemimpinannya itu pada Al Qur’an dan Sunnah. Al Qur’an adalah sumber dari segala sumber pengetahuan dan aturan-aturan bagi semua manusia dan semua makhluk. Sedangkan Sunnah, adalah wujud nyata dari pengetahuan dan perilaku yang sesuai aturan Al Qur’an itu, dengan Nabi Muhammad SAW sebagai pelaksana dan contohnya.

Jika ditarik korelasi antara Islam, Al Qur’an dan Sunnah ini membuktikan bahwa Al-Qur’an dan Sunnah memberi isyarat mengenai beberapa prinsip pokok dan tata nilai yang berkaitan dengan kepemimpinan, kehidupan bermasyarakat, berorganisasi, bernegara (kehidupan politik) termasuk di dalamnya sistem pemerintahan.

Beberapa prinsip pokok dan tata nilia yang dimaksud diantaranya adalah pertama, prinsip tauhid. Prinsip ini merupakan dasar dari segala prinsip kepemimpinan dalam (pemerintahan) Islam. Seorang pemimpin idola saya yang akan saya sebut di akhir makalah ini, saya kira memiliki prinsip dasar tauhid. Dari dirinyalah saya kemudian bisa belajar dan mencontoh darinya: apa itu tauhid, bagaimana saya mengenal Tuhan (Allah SWT) saya, bagaiaman saya mengimaninya dan seterusnya.

Kedua, prinsip syura (musyarawah). Sepengalaman dan sepengetahuan saya, pemimpin idola saya ini juga memiliki prinsip kedua ini. Lebih-lebih ketika beliau dihadapkan pada suatu kebijakan yang harus mengambil keputusan. Ia tahu betul kapan harus melangkah dan bagaimana cara-cara yang harus ditempuhnya. Pemimpin idola saya ini betul-betul mempertimbangkan matang-matang pendapat-pendapat dari kelompok minoritas dan mayoritas. Ia juga paham bahwa ia harus menentukan pilihan yang bisa mashlahat bagi orang yang dipimpinnya.

Ketiga, prinsip keadilan. Pada prinsip ketiga ini, saya kira, pemimpin idola saya sangat mampu menerapkan apa itu adil. Adil, baginya, tidak harus sama. Bila diibaratkan, ada dua anak yang sama-sama mau berangkat sekolah. Satu anak duduk di bangku SMA dan yang satunya duduk di bangku SD. Orangtua memberikan uang saku berbeda diantara kedua anak ini. Anak yang SMA diberi uang saku 10 ribu dan anak yang SD diberi uang saku 3000. Dari contoh ini saya kira, orangtua telah berlaku adil. Adil dalam artian proporsional antara kebutuhan dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.

Keempat, prinsip kebebasan. Maksud kebebasan di sini adalah kebebasan yang bertanggungjawab, bukan kebebasan tanpa batas atau semaunya sendiri, melainkan kebebasan yang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Pemimpin idola saya ini juga menerpakan prinsip terakhir ini. Beliau dengan hati lapang memberikan kebebasan yang bertanggung jawab kepada bawahnyannya. Belaiu sendiri dalam hal kepemimpinan juga bebas mau melakukan apa saja, tapi meskipun demikian, setiap kali beliau bertindak, maka beliau bisa mempertanggungjawabkannya.

Siapakah pemimpin idola saya ini?

Nabi Muhammad SAW, beliaulah pemimpin idola saya. Saya sangat rindu dan mengidolakan beliau. Terkadang, saya iri pada orang-orang yang—katanya—bermimpi bertemu dengan nabi Muhammad SAW. Merupakan sebuah anugerah seandainya hal itu bisa saya alami. Tidak ada saya kira, umat beliau yang tidak bahagia ketika bermimpi, bertemu dengan Nabi.

Belakangna terakhir, saya barus saja menghabiskan buku berjudul “ Menatap Punggung Muhammad.” Buku itu, kata penulisnya, adalah sekumpulan surat cinta yang dikirimkan kepada sang kekasih (pacar.red) setelah ia lama tidak menemuinya. Dalam buku itu diceritakan, penulis (tokoh utama dalam buku ini) lama tidak menghubungi dan menjalin komunikasi dengan pacarnya. Ia mengatakan, ada alasan kuat sehingga memaksanya untuk uzlah dan mencari tahu apa yang sedang dialaminya itu: mimpi bertemu Nabi Muhammad SAW. Setelah itu, penulis buku itu penasaran dan terheran, kenapa ia bisa bermimpi bertemu nabi. Buku inilah salah satu sebab mengapa saya bisa iri untuk bertemu nabi.

Terakhir untuk menutup tulisan ini, saya akan mengatakan, jika saya ditanya siapa pemimpin idola saya, maka saya dengan tegas dan lantang akan menjawab: Nabi Muhammad. Lalu, siapa lagi: Nabi Muhammad. Siapa lagi setelahnya? Nabi Muhammad, baru abah saya (Haris, 4/4 2011).



BUAT BUKU YUK!!

Satu-satunya ahli sastra yang dibanggakan dan dimiliki Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, pernah bilang, "Menulis adalah bekerja untuk keabadian." "Karena kau menulis, suaramu takkan padam ditelan angin. Akan abadi sampai jauh, jauh di kemudian hari."

Pada suatu kesempatan, Leonowens S.P, peraih the Best Writer Nederlands 2007, juga pernah mengatakan, "Kematangan dalam tulisan hanya dapat dinilai dan diapresiasi pada ruang publik." "Memang dibutuhkan tekad dan kesabaran untuk terus menulis dan berkarya. Sejarah menunjukkan, hanya orang-orang yang memiliki tekad kuat yang akan dapat menembus rintangan apa pun, bahkan yang melampaui batas nalar kita sendiri."

Jika alasannya tidak punya waktu, maka sebenarnya, "Menulis telah menjadi bagian dari panggilan jiwa. Di mana pun dan kapan pun, menulis tetap dapat dilakukan." (Ajeng Kania K)
foto "Psyche Apprentice" saat diskusi

Adalah Psyche Apprentice, komunitas mahasiswa pencinta diskusi psikologi di Fakultas Psikologi & ISB UII yang ingin menfasiliasi minat teman-teman semua. Psyche apprentice, seiring berkembangannya, maka akan segera mencetak sejarah kehidupan yang akan mewarnai kampus UII. Ia membuka kesempatan kepada seluruh mahasiswa Psikologi FPSB UII untuk mendokumentasikan tulisan teman-teman semua.

Pscyche Apprentice, yang kini sudah hampir lebih dari 16 kali (3 sks) melakukan diskusi, berencana membikin sebuah BUKU. Buku yang berisi kumpulan tulisan-tulisan dari teman-teman semua. Uniknya, Psyche Apprentice  tidak mensyaratkan secara khusus. Yang penting, tulisan sekitar 2-3 halaman kwarto, memakai font times new roman 12 atau arial 11, dengan margin 1,5 cm dan dikirim ke alamat bukunaskah@yahoo.co.id sebelum 25 April 2011.

Tema dari isi tulisannya?

Apa aja boleh. Yang penting ada pembahasan PSIKOLOGI di sana. Ini adalah kesempatan langka bagi kita, civitas akademika Psikologi UII. Siapa lagi kalau bukan kita yang akan memenuhi ruang-ruang publik dengan tulisan-tulisan kita. Karena dengan kita menulis dan menjadikannya sebuah BUKU antologi (kumpulan tulisan-tulisan), maka berarti kita telah bekerja untuk keabadian. Abadi karena kita punya sejarah untuk masa depan kita. Abadi karena kita peduli dengan adik-adik kita mendatang.

Tertarik?
Ayo nulis.

 
Tulisan ini bebas disebarluaskan ke siapa saja, khususnya civitas akademika Psikologi UII^^

KETIKA IA MENANGIS, MAKA SAYA.....??

Jujur. Ini bukan untuk kali pertama. Saya sering mendapati dan mengalami hal semacam ini. Mungkin karena saya "orang" psikologi. Jadi tidak sedikit dari kerabat, teman, baik yang jauh atau dekat, mencurahkan isi hatinya kepada saya.

Sebagai orang psikologi, kata dosen saya ketika kuliah, maka skill yang harus dimiliki kali pertama adalah mampu menjadi pendengar yang baik. Ya! pendengar yang baik. Kemampuan untuk menjadi pendegar yang baik ini sering sekali sulit dilakukan memang. Saya pun terkadang demikian. Tapi, karena saya notabene adalah "orang" psikologi, maka saya pun berusaha untuk belajar menjadi pendengar yang baik. Pendengar yang efekif.

Setiap kali ada orang yang ingin curhat kepada saya, saya mencoba untuk selalu mendengarkannya. Apapun itu isi curhatannya itu. Saya tidak langsung menginterupsi. Saya biarkan ia menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Begitu seterusnya, sampai ia merasa puas. Bahkan, sering ada yang sampai menangis.

Tapi, ketia ia menangis, saya bingung--tepatnya tidak tahu harus berbuat apa. Padahal idealnya, apa yang diajarkan waktu kuliah adalah konselor bisa memeluk konselee, sambil mengelus punggung konselee. Oke, kalau itu sama-sama prianya. Tapi ini tidak. Ia bukan laki-laki. Ia perempuan. Dan saya, saya adalah lawan jenisnya. Ada sekat "kode etik" agama yang melarang saya untuk menyentuh lawan jenis, apalagi sampai memeluk.

Itu yang saya alami sore hari ini (31/3) tadi. Sehabis makan, seorang adik kelas yang HEBAT--setidaknya demikian di mata saya--tiba-tiba curhat tentang mamanya. Yang saya tangkap, ia merasa sendiri: tak diurusi (lagi) oleh mamanya. "Ada atau tidak, kayaknya sama aja," katanya sambil meneteskan air mata. Ia menangis. Menangis karena merasa tertekan. Menangis karena rindu dengan kasih sayang seorang ibu. Menangis karena merasa ibunya tidak seperti ibu dari teman-temannya pada umumnya. Menagis karena  ia seorang anak perempuan yang jauh dari tempat asal. Ia kembali meneteskan air mata. Rindu dengan kehangatan seorang ibu.


Saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa menatapnya dengan tatapan layu. Dalam hati, gejolak hati muncul, "Mana mungkin aku  memeluk sambil mengelus-elus punggungnya? Tidak!, tak mungkin itu" saya semakin bingung.

Saya hanya bisa mendengarkannya saja. Mendengarkan, mendengarkan, mendengarkan, dan mendengarkan. Saya coba tuk memahami apa yang ia rasakan. 

Ini bukan lagi untuk kali pertama. Sering saya mendapati seorang teman yang menangis di depan saya seperti ini. Saya hanya bisa mendengarkan, mendengarkan, mendengarkan dan mendengarkannya. Dan terkadang, saya coba mencari celah, kira-kira, perlu saran atau motivasi dari saya atau tidak.

Jujur, kali ini, saya harus mengatakan: saya bingung. Bingung ketika konselee tidak sama jenis kelaminnya dengan saya, maka apa yang harus saya lakukan ketika ia menangis?