KREATIVITAS DALAM PERSPEKTIF (PSIKOLOGI) ISLAM

Oleh Nur Haris Ali


Latar Belakang: Awal Sebuah Kisah


Tahun 2009 lalu, ada siaran di TransTv tentang seorang tokoh maestro dunia. Ia dikenal sebagai penemu lampu pijar. Dialah Thomas Alfa Edison, yang sejak kecil tokoh ini sangat kreatif. Meski guru-guru sekolahnya menganggap ia bodoh, namun hal itu tidak berlaku untuk ibunya. Tidak henti-hentinya Ibu Edison mengajarinya membaca dan berhitung.


Suatu saat, Edison hampir diamuk penduduk sekampung karena membakar hutan dan apinya hampir menghanguskan rumah-rumah penduduk kampung. Api kebakaran itu sebenarnya bukan kesengajaan Edison. Waktu itu, ia sangat tertarik dengan kerja mantik api. Ia mengadakan eksperimen di hutan. Karena masih kecil, mungkin dia mudah melakukan keteledoran sehingga api menjalar ke hutan. Kesalahan Edison ini tidak membuat ibunya marah. Ia tetap didorong oleh ibunya untuk belajar. Ibunya yakin, bahwa kreativitas anak tersebut suatu saat akan bermanfaat bagi masa depannya. Tangan, kaki, mata, pikiran dan ucapan Edison menarik bagi ibunya, karena lain daripada anak-anak seusianya.
Memang sangat pantas diakui bahwa Edison adalah anak yang kreatif dari mudanya (Hariwijaya, 2009:51), dan penemuannya itu, merupakan secercah cahaya bagi kemajuan teknologi di seluruh dunia. Kini dunia bermandikan cahaya listrik siang dan malam karena hasil pemikiran kreatifnya. Tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah apakah orang kreatif itu hanya diperuntukkan untuk orang-orang seperti Thomas Alfa Edison seperti dalam cerita di atas saja? Bagaimanakah sebenarnya konsep kreativitas dalam perspektif Islam?


Berangkat dari dua pertanyaan di atas, dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan lebih jauh tentang konsep kretivitas dalam perspektif Islam. Sehingga, rumusan masalah yang akan penulis jawab dalam makalah ini adalah apakah kreativitas hanya diperuntukkan untuk orang-orang seperti dalam cerita di atas saja, dan bagaimanakah sebenarnya Islam memandang konsep kreativitas ini.


Analisis dan Tinjauan Teoritik


Kreativitas menurut Cronbach (1984; Richard dkk., 1999: 247) adalah the ability to see something in a new way. Sementara Sternberg dan Lubart (1996; Richard dkk., 1999: 247) memperluas pengertian ini (dengan) somewhat by adding an evaluative component to the mix. Sternberg juga berpendapat bahwa creativity is the ability to produce work that is both novel (i.e., original, unexpected) and appropriate (i.e., useful, adaptive concerning task constraints) (Lubart, 1994; Ochse, 1990; Sternberg, 1988; Sternberg & Lubart, 1991, 1995, 1996; Sternberg 1999: 3)


Kreativitas menurut Csikszentmihalyi (1996: 23) adalah some sort of mental activity, an insight that occurs inside the heads of some special people. Creativity does not happen inside people’s heads, but in the interaction between a person’s thought and a sociocultural context. Creativity (Richard dkk 1999: 249) has also been found to relate to leadership effectiveness, although the strength of this relationship may vary depending on level of authority.


Sementara Munandar (1997: 37) mendefinisikan kreativitas merupakan proses yang aktif, yang menuntut pelibatan diri dan inisiatif. Hampir sama dengan pendapat Munandar dan Csikszentmihalyi di atas, yaitu Hariwijaya (2009: 55) mendefinisikan istilah kreativitas mengacu pada proses mental yang membawa kepada solusi-solusi, ide-ide, konsep-konsep, bentuk-bentuk artistik, teori-teori dan produk-produk yang unik dan hal yang baru. Orang kreatif adalah orang yang senantiasa memiliki daya cipta terhadap segala sesuatu. Seseorang yang memiliki kemampuan untuk membuat sesuatu yang baru dan menemukan cara baru dalam kegiatannya adalah orang kreatif (Munandar, 1997: 32). Seorang pelukis yang mampu melihat keindahan baru dalam lukisannya adalah orang kreatif (Hariwijaya, 2009: 52). Seorang istri yang mampu membuat masakan baru untuk suaminya adalah istri yang kreatif, dan seorang mahasiswa yang mampu menampilkan sesuatu yang berbeda dengan teman-temannya berarti juga termasuk dalam kategori mahasiswa kreatif.


Sedangkan definisi kreativitas dalam Kamus Psikologi, karangan Katono Kartini & Dali Gulo (2003: 100) menyebutkan kreativitas adalah 1) kapasitas khusus untuk memecahkan masalah yang memungkinkan seseorang mencetuskan ide asli (orisinil), atau menghasilkan produk-produk yang sesuai dan dapat dikembangkan penuh. 2) Kemampuan mencapai pemecahan atau jalan ke luar yang sama sekali baru, asli dan imajinatif terhadap masalah yang bersifat pemahaman, filosofis estetis ataupun lainnya.


Amabile dkk., sebagaimana dikutip Munandar (Nashori & Mucharram 2002: 33; Nashori 2004: 8) mengartikan kreativitas sebagai produksi suatu respons atau karya yang baru dan sesuai dengan tugas yang dihadapi. Bobbi De Porter & Mike Hernacki mengartikan kreativitas dengan melihat hal atau sesuatu yang dilihat orang lain, tetapi dengan memikirkan hal yang tidak dipikirkan orang lain. Sementara, Renzulli (Monks dkk, 1998; Nashori, 2004: 8) kembali menegaskan bahwa pada kreativitas terdapat kemampuan untuk menampilkan alternatif dari apa yang sudah ada atau dari prosedur yang biasa dilakukan.


Dalam bukunya berjudul “Mengembangkan Kreativitas dalam Perspektif Psikologi Islami,” Nashori & Mucharram (2002: 33-34) sendiri mengatakan kreativitas adalah hasil karya atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh pembuatnya maupun orang lain dan boleh jadi bukan merupakan hasil sebuah produk seperti yang dikemukakan oleh Amabile dkk, atau sebuah proses berpikir sebagaimana dikemukakan Renzulli, DePorter, dan Hernacki di atas, tapi kreativitas adalah suatu anugerah yang dilimpahkan oleh Yang Maha Pandai (al ‘Alim) Allah Azza wa jalla kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Orang yang kreatif memiliki kebebasan berpikir dan bertindak, yang, merupakan perpaduan antara daya cipta, pemikiran, imajinasi, dan perasaan-perasaan yang memuaskan. Sehingga, kreativitas menurut Wahyudin (2003: 29-55) dalam konteks ini lebih bersifat personal dan privasi ketimbang sosial dan massal.


Kreativitas Dalam Perspektif (Psikologi) Islam


Mengacu pada beberapa definisi yang dikemukakan para ahli di atas. Kreativitas sebenarnya memiliki sifat ilmiah, dan ketika kita berpikir ilmiah, berarti ada orisinilitas di dalamnya. Disamping bersifat ilmiah, kreativitas juga merupakan sesuatu yang khas pada setiap individu.


Ahli kretivitas Conny Semiawan dkk (Nashori & Mucharram: 34-35) mengungkapkan bahwa kreativitas adalah potensi yang pada dasarnya dimiliki setiap orang dalam derajat dan tingkatan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Hal ini juga sejalan dengan pendapat Asiah (2007: 27) dalam Jurnal Komunitas yang mengatakan bahwa masyarakat pada dasarnya memiliki potensi untuk berkembang. Asiah, lebih lanjut, mengutip pendapat Piaget dalam bukunya Sund tahun 1976 yang mengatakan bahwa kemampuan operasi berpikir manusia ditentukan oleh kemampuan manusia itu sendiri untuk mengasimilasi atau mengadaptasikan lingkungan dalam pikirannya. Dalam terminologi lain, maka kemampuan berpikir kreatif manusia ini ditentukan oleh dua komponen, pertama, kemampuannnya menangkap gejala, kedua, kemampuannya untuk mengkonsepsikan gejala itu menjadi suatu pengertian umum. Namun potensi berpikir kreatif ini tidak berkembang apabila manusia tidak memanfaatkan kesempatannya itu.


Kedua pandangan di atas, rupanya sudah dijelaskan secara mendetail di dalam al Qur’an sebagaimana dikutip oleh ahli-ahli agama Islam seperti Quraish Shihab (Nashori & Mucharram, 2002: 36) yang mengatakan bahwa manusia adalah makhluk unik (khalqan akhar). “….Kemudian Kami jadikan dia (manusia) makhluk yang unik. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.” (QS. Al Mu’min [23]: 12-14).


Adapun penyebab kreativitas tidak dapat berkembang secara optimal adalah karena seseorang terlalu dibiasakan untuk berpikir secara tertib dan dihalangi oleh kemungkinannya untuk merespon dan memecahkan persoalan secara bebas. Dengan berpikir tertib semacam ini, maka seseorang dibiasakan mengikuti pola bersikap dan berperilaku sebagaimana pola kebiasaan yang dikembangkan oleh masyarakat atau lingkungannya (Nashori & Mucharram, 2002: 26 ; Diana, 1999: 6).


Berkenaan dengan kebiasaan berpikir tertib, agama dipandang oleh sementara orang mempunyai peranan terhadap rendahnya kreativitas manusia. Agama dipandang sangat menekankan ketaatan seseorang kepada norma-norma. Sehingga, karena kebiasaan berpikir dan bertindak berdasarkan norma-norma itulah semangat atau niatan untuk berkreasi menjadi terhambat. Pandangan ini dinilai oleh pendapat lain sebagai pandangan yang tidak mengenal esensi agama. Menurut pendapat terakhir ini, agama diciptakan Tuhan agar kehidupan manusia menjadi lebih baik. Islam misalnya, dilahirkan agar menjadi petunjuk bagi alam semesta (rahmatan lil ‘alamin). Mereka mengakui bahwa agama mengajarkan norma-norma, tapi norma itu bukan berarti membatasi kreativitas manusia. Agama justru yang mendorong manusia untuk berpikir dan bertindak kreatif (Nashori & Mucharram, 2002: 27; Diana, 1999: 6). Oleh karenanya maka Allah swt selalu mendorong manusia untuk berpikir.


كذالك يبين الله لكم الايت لعلكم تتفكرون

“Demikianlah, Alah menerangkan kepadamu ayat-ayat –Nya, agar kamu berpikir” (QS. Al Baqarah [2]: 219)


Ayat di atas memberikan penjelasan bahwa sebenarnya Islam pun dalam hal kekreativitasan memberikan kelapangan pada umatnya untuk berkreasi dengan akal pikirannya dan dengan hati nuraninya (qalbunya) dalam menyelesaikan persoalan-persoalan hidup di dalamnya. Bahkan, tidak hanya cukup sampai di sini, dalam al Qur’an sendiri pun tercatat lebih dari 640 ayat yang mendorong pembacanya untuk berpikir kreatif (Madhi, 2009: 16). Dalam agama Islam dikatakan bahwa Tuhan hanya akan mengubah nasib manusia jika manusia mau melakukan usaha untuk memperbaikinya. Allah berfirman:


ان الله لا يغيروا ما بقوم حتى يغيروا مابانفسهم

“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka sendiri mengubah dirinya.” (QS. Ar Ra’du [13]: 11)


Islam sebagai sebuah keyakinan yang bersumber dari al Qur’an dan al Hadits dianggap oleh beberapa kalangan sebagai agama yang tradisional, terbelakang, dan kaku. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan pemikir barat yang tidak mengetahui perkembangan sejarah Islam. Jika kita melihat pada masa silam, Islam banyak melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar yang tidak hanya sekedar memiliki inteligensi tinggi, tapi juga memiliki kreativitas yang tinggi. Sebut saja Ibnu Sina, Salman al Farisi, dan para sahabat lain yang menggunakan pemikiran kreatifnya dalam mengembangkan pengetahuan di bidang mereka masing-masing (Utami, dkk., 2009: 6).

Di kalangan umat pada masa kini, juga terdapat pemikir-pemikir atau ilmuwan kreatif dalam bidangnya masing-masing. Seperti Yusuf Qordhawi, Muhammad al Ghazali, Muhammad Naquib al Attas, Ismail Raji al Faruqi, Seyyed Hossein Nasr, dan yang lainnya. Sementara untuk yang di Indonesia, kita bisa mengambil contoh seperti Nur Cholis Madjid, Quraish Shihab, Amien Rais, Abdurrahman Wachid (Gus Dur), Jalaludin Rakhmat, dan sebagainya (Nashori & Mucharram, 2002: 98).

Kreativitas dalam Islam (Faruq 2006; Utami dkk., 2009: 6) tidak sama dengan kreativitas dalam musik, seni, ataupun semacamnya yang bertentangan dengan Qur’an dan Sunnah. Dikatakan bahwa ada dua hal dalam Islam yang termasuk dalam kreativitas, yaitu bid’ah dan ijtihad. Pertama, konsep mengenai bid’ah—tentu yang dimaksud di sini adalah bid’ah hasanah. Konsep bid’ah di sini bukanlah menciptakan sesuatu yang baru dan bertentangan dengan ajaran Sunnah, melainkan sebuah konsep bid’ah yang dipandang sebagai sebuah inovasi atau biasa di sebut dengan finding something new. Semakin majunya teknologi, misalnya, inovasi muncul seperti menciptakan komputer, mobil yang bisa terbang, atau sepeda yang bisa dikayuh di dalam air.

Kemudian proses kreatif dalam Islam yang kedua yaitu ijtihad. Di dalam bid’ah terdapat suatu inovasi baru yang harus diambil suatu keputusan. Pengambilan keputusan untuk menyelesaikan masalah ini menjadi bagian dari konsep ijtihad. Konsep ini dijelaskan sebagai konsep jihad yang etis melalui pengembangan keputusan baik itu individu atau kelompok untuk mencapai solusi yang tepat. Proses ini melibatkan pemikiran analitis nan kritis yang melibatkan disiplin (tidak bertentangan dengan Qur’an dan Hadits) dan pengetahuan diri (inteligensi). Hasil dari ijtihad inilah yang kemudian nanti disebut dengan produk kreativitas itu sendiri.

Sebuah usaha yang berhasil biasanya melibatkan pemikiran dan kreativitas. Dengan demikian, maka agama Islam sangat mendukung dan mendorong pengembangan kreativitas umatnya. Dan tentunya, hal inilah yang dimaksudkan dengan kreativitas dalam perspektif Islam.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang penulis jelaskan di atas, maka dapat ditarik kesimpulkan bahwa, pertama, sebenarnya kreativitas bisa dimiliki oleh siapa saja. Penulis dalam hal ini sepakat dengan pendapat Nashori & Muharram dan Utami dkk. yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan proses kognitif untuk menemukan solusi yang asli dan benar-benar baru, baik itu berupa produk atau bukan dan bisa jadi hal ini adalah anugerah yang diberikan Sang Kholiq, Allah swt kepada hamba-Nya yang benar-benar mau memikirkan (tadzakkur) terhadap apa yang terjadi di sekitarnya.

Kedua, dalam memandang konsep kreativitas ini, agama Islam sudah sangat jelas, yaitu telah memberikan ruang seluas-luasnya kepada umatnya untuk selalu berpikir dan menemukan ide-ide kreatif sebagaimana yang terekam dalam kitab suci al Qur’an al Karim.

Jika masalah kreativitas berasal dari bakat, maka penulis lebih sepakat bahwa hal ini tidak seluruhnya benar. Karena ternyata kreativitas seseorang bisa diasah dan dilatih, sebagaimana pendapat Ford & Harris yang dikutip Noor Rochman Hadjam pada acara workshop Guru Berprestasi Nasional tahun 2006 di Fakultas Psikologi UGM bahwa “creative people are made, not born”. Sehingga, rekomendasi penulis untuk kita bersama—khususnya yang masih merasa tidak terlahir sebagai orang kreatif—adalah janganlah pesimis. Bukan hanya Albert Einstein, Thomas Alfa Edison, atau Salman Al Farisi yang kreatif. Juga bukan hanya Quraish Shihab, Nur Cholis Madjid, atau Yusuf Qordhawi yang kreatif. Tapi kita, kita yang menemukan metode baru yang berbeda dengan kemarin, adalah juga termasuk orang kreatif.

Daftar Pustaka

Asiah, N. 2007. Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. KOMUNITAS: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam. No. 2, Volume III, hlm. 27.


Csikszentmihalyi, M. 1996. Creativity: Flow and the Psychology of Discovery and Invention. 1st ed. New York: HarperCollins Publishers, Inc.


Diana, R. 1999. Hubungan Antara Religiusitas dan Kreativitas Siswa SMU, Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi PSIKOLOGIKA, No. 7, Volume III. hlm. 6.


Hadjam, N.R. 2006. Meningkatkan Kreativitas: Makalah pada Workshop Guru Berprestasi Nasional. Presentasi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.


Hariwijaya. 2009. How to Success; Strategi Mengembangkan Diri Untuk Meraih Kesusksesan. Yogyakarta: Tugupublisher.


Hughes, Richard L., Robert C. Ginnet., & Gordon J. Curphy. 1999. Leadership: Enhancing the Lessons of Experience. 3rd ed. Singapore: McGraw-Hill, Inc.


Kartini, K. & Guno, D. 2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya.


Madhi, J. 2009. Minal Mu’min an Takuna Mubdi’an. (Irwan Raihan, Penerj.). Surakarta: Ziyad Visi Media.


Munandar, S.CU.1997. Mengembangkan Inisatif dan Kreativitas Anak. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi PSIKOLOGIKA, No. 2, Volume II. hlm. 32-37.


Nashori, F. 2004. Proses Kreatif Penulis Muslim Indonesia. Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psikologi PSIKOLOGIKA, No. 17, Volume IX. hlm. 8.


Nashori, F. & Mucharram, R.D. 2002. Mengembangkan Kreativitas: Perspektif Psikologi Islam. Yogyakarta: Menara Kudus.


Utami, S.D. Rumiani., & Zulaifah, E. 2009. Kreativitas. Modul Mata Kuliah Psikologi Kognitif. Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII.


Sternberg, R. J. 1999. Handbook of Creativity. United Kingdom: Cambridge University Press.


Wahyudin. 2003. Menuju Kreativitas. Jakarta: Gema Insani Press




--Tulisan (makalah) ini pernah dipresentasikan di "SEMINAR PSIKOLOGI ISLAMI KONTEMPORER" Kamis (3/6) 2010. Siapa saja boleh membaca dan memberikan komentar. Saran dan kritik akan penulis apresiasi setinggi-tingginya--

6 komentar:

  1. Alhamdulillah tambah ilmu lagi dari blog ini

    BalasHapus
  2. makalah anda sesuai dengan teori yang sedang saya kerjakan, alhamdulillah tambah ilmu dan minta izin untuk copy yang bang.

    BalasHapus
  3. keren kang haris. makasih ilmunya byk manfaat alhamdulillah..

    BalasHapus
  4. punya pdfnya buku "Mengembangkan Kreativitas: Perspektif Psikologi Islam" karangan Nashori, F. & Mucharram, R.D. bang?
    tolong bang, saya lagi butuh buat sekripsi

    BalasHapus
  5. Luar biasa..

    Hanya ada koreksi pada surat 13 ayat 11
    "Laa yughoyyiru" pendek

    Bukan laa Yughoyyiruuu"

    Tks

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini