INTEGRASI ILMU JIWA DALAM PENGEMBANGAN DAKWAH

Oleh : Nur Haris Ali

PENGANTAR: LATAR BELAKANG MASALAH
Dakwah ibarat lentera kehidupan yang memberi cahaya dan menerangi hidup manusia dari nestapa kegelapan. Ketika manusia dilanda kegersangan spiritual, rapuhnya akhlak, maraknya praktek korupsi, kolusi, dan manipulasi, dakwah diharapkan mampu memberikan cahaya terang.

Menyerukan kebenaran dan mencegah kemungkaran adalah tugas (wajib) setiap Muslim. Dengan bahasa lain, setiap Muslim berkewajiban untuk berdakwah. Perintah ini sudah jelas terekam dalam kitab suci al Qur’an surat Ali Imran ayat 110:

“Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.”

Dalam kenyataannya, sering kita jumpai pertama, tidak setiap Muslim—dengan sengaja—melakukan kegiatan dakwah, dan kedua tidak setiap Muslim yang sengaja berdakwah telah melakukan perannya dengan efektif. Anehnya, dakwah tersebut masih bersifat retorika saja. Artinya, belum bisa mewujudkan satunya kata dengan tindakan.

Betapa banyak orang yang fasih mengucapkan kejujuran, keadilan, antikorupsi dan lain-lain, tapi dalam realitanya larut dalam ketidakjujuran, ketidakadilan dan korupsi seperti yang belum lama ini terjadi di Indonesia tentang kasus Markus Gayus Tabunan, kasus Bank Centur, dan lain sebagainya.

Sebenarnya, agar kegiatan (ber)dakwah dapat berlangsung lancar dan berhasil baik, maka diperlukan pengetahuan tentang ilmu Psikologi Dakwah. Psikologi Dakwah merupakan kesatuan analisis terhadap tingkah laku manusia melalui pendekatan psikologis dan dakwatologis yang interdisipiner . Prof. H.M. Arifin dalam bukunya Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi, mendefinisikan Psikologi dakwah adalah ilmu pengetahuan yang betugas mempelajari/membahas tentang segala gejala hidup (kejiwaan) manusia yang terlibat dalam proses kegiatan dakwah . Karena kegiatan dakwah pada dasarnya adalah kegiatan penyampain informasi dari seseorang kepada orang lainnya, maka perlu juga meng(k)aji faktor-faktor apa saja yang merupakan penghambat dan pelancar kegiatan transformasi informasi (baca: dakwah) tersebut.

Tulisan ini akan lebih mengkhususkan pembahasan kepada kajian Ilmu Psikologi (integrasi antara psikologi dakwah, psikologi komunikasi, dan psikologi Islam) dalam praktek-praktek dakwah dan mencoba untuk menjawab permasalahan bagaimana agar juru dakwah dapat melakukan perannya dengan efektif, sehingga adanya integrasi Ilmu Psikologi memiliki peran penting dalam pengembangan dakwah.

KAJIAN PUSTAKA DAN ANALISIS-TEORITIS
A. Dasar-Dasar Dakwah dalam Perspektif Psikologi Islaml
Bila kita membicarakan masalah dakwah, maka akan banyak masalah yang terkait dengannya, misalnya mengenai metode dakwah, human relation, sosiologi dakwah, dan sebagainya. Masing-masing yang terkait itu layak dipelajari dan dipahami oleh para juru dakwah agar proses kegiatan dakwah sesuai denan perencanaan dakwah itu sendiri. Mengingat bahwa masalah dakwah ini semakin kompleks karena manusia dan masyarakat sebagai sasaran dakwah semakin majemuk dan variable, maka dakwah dengan segala ilmu terapan pendukungnya pun semakin ‘membengkak.’

Tentang prinsip melaksanakan dakwah, Allah SWT telah mewahyukan dalam al Qur’an, sebagaimana dikutip Prof. Djamaludin Ancok & Fuad Nashori, Surat An Nahl ayat 125-128:

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Dan jika kamu memberikan balasan, Maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu . akan tetapi jika kamu bersabar, Sesungguhnya Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. Bersabarlah (Hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.”

Dari ayat di atas, pokok-pokok pandangan Psikologi Islam mengenai dakwah diantaranya yaitu pertama, dakwah harus dilakukan dengan hikmah, dengan kata-kata yang baik serta argumentasi yang baik. Kedua, harus bersabar dan optimis dalam berdakwah. Sabar akan segala macam kesulitan dan optimis bahwa Allah akan memberikan jalan bagi mereka yang mendapat petunjuk. Allah akan selalu mendapingi mereka yang bertaqwa dan berbuat kebaikan (dalam hal ini melaksanakan dakwah).

Disamping itu, Menurut Prof. Djamaludin Ancok & Fuad Nashori, ayat-ayat yang dikutip di atas ini memberikan dua hal point penting dalam kegiatan dakwah. Yaitu (1) sikap positif mental (positive mental) yang harus dipegang oleh juru dakwah dan (2) penyampaian informasi dakwah secara baik dan benar (good and right).

B. Sikap Mental yang Positif
Berhasil atau tidaknya suatu kegiatan dakwah, sangat ditentukan oleh sikap mental juru dakwah. Sikap penuh keyakinan bahwa dakwah yang disampaikan akan diterima dengan baik oleh pendengar, sikap yakin bahwa apa yang disampaikan adalah perintah Allah, serta sikap optimis dan pantang menyerah akan segala kesulitan adalah ciri-ciri kepribadian seorang juru dakwah (tentu saja hal ini seharusnya juga merupakan sikap setiap Muslim).

Jika diteropong dengan kacamata Psikologi, prinsip yakin akan berhasil, sikap optimis, dan juga sabar, akan sangat mempengaruhi kesuksesan pengembangan dakwah itu sendiri. Dalam penelitian-penelitian psikologi, telah cukup banyak dibuktikan bahwa apa yang diharapkan seseorang, akan mempengaruhi perilakunya . Jika orang tersebut mengaharapkan kesuksesan, misalnya, maka motivasi kerja akan semakin besar dan tidak mudah menyerah akan segala kesulitan. Dari sikap optimis ini, maka akan muncul wajah-wajah yang berseri-seri karena penuh dengan keyakinan tentang keberhasilannya nanti. Keyakinan akan berhasil ini, akan memudahkan segala sesuatu yang dikerjakan, dan sebaliknya bila sikap pesimis yang dimiliki oleh seseorang, maka apapun yang dikerjakannya menjadi kurang sukses.

Dalam disiplin ilmu psikologi ada yang dinamakan dengan expectation theory atau teori harapan yang pada intinya adalah apa yang diharapkan seseorang sangat besar kemungkinannya menjadi kenyataan, dan ternyata, hal ini juga sejalan dengan prinsip agama Islam. Dalam Islam kita tidak boleh berpikir dalam keburukan, dikarenakan pikiran yang buruk akan mempengaruhi hasil pekerjaan ke arah yang buruk pula. Selain itu, pikiran yang buruk itu sendiri memang suatu bisikan iblis yang mengarahkan pada dosa dan putus asa.

C. Proses Penyampaian Pesan Dakwah dan Mengenali Objek Dakwah
Sebagaimana diungkapkan dalam QS. An Nahl ayat 125-128 di atas, pesan dakwah harus disampaikan dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta bantahan yang baik pula. Dakwah dengan hikmah telah ditafsirkan oleh sebagian ahli tafsir sebagai perkataan yang tegas dan benar, yang, dapat membedakan antara yang hak dan yang batil. Menurut Prof. Djamaludin Ancok & Fuad Nashori, kata hikmah ini tidak hanya terbatas pada definisi tersebut. Hikmah dapat pula diartikan sebagai penggunaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan (yang berisikan hikmah) yang berkaitan dengan dakwah dalam dunia psikologi dikenal dengan nama psikologi komunikasi.

Dalam tinjauan psikologi komunikasi, ada tiga faktor penting yang sangat menentukan keberhasilan dakwah, yaitu pertama, siapakah yang menyampaikan dakwah (communicator), kedua teknik penyampaian dakwah (communication), ketiga siapa penerima pesan dakwah (audience/objek dakwah).

Menurut McGuiere, salah satu penggagas teori perubahan sikap, sebagaimana dikutip Ancok & Nashori, proses perubahan sikap seseorang dari tidak tahu/tidak menerima suatu pesan ke menerima suatu pesan berlangsung melaui tiga proses di atas . McGuire, lebih lanjut, juga berpendapat bahwa ada tiga tahapan yang mempengaruhi perubahan pada individu, yaitu:
(1) Attention adalah perhatian terhadap pesan. Orang tidak akan berubah sikap apabila tidak memperhatikan pesan yang disampaikan. Oleh karena itu agar penyampaian dakwah dapat diterima objek dakwah, maka harus ada usaha dari da’i untuk menarik perhatian audience/objek dakwah tentang apa yang disampaikannya.
(2) Comprehension adalah pemahaman terhadap pesan dakwah. Seseorang yang telah memperhatikan pesan dakwah diharapkan akan mempunyai pemahaman terhadap pesan yang disampaikan. Terjadi atau tidaknya pemahaman terhadap pesan dakwah sangat ditentukan oleh bermacam-macam hal, di antaranya teknik penyampaian pesan dakwah dan bahasa yang dipakai dalam dakwah. Bahasa ini, menurut Wilhelm Wundt (1832-1921) salah satu tokoh pendiri Ilmu Psikologi Modern, merupakan unsur yang paling penting dalam segala hal . Sementara, tanpa adanya perhatian (attention) terhadap pesan dakwah itu sendiri, tidaklah mungkin orang akan memahami isi dari dakwah tersebut.
(3) Acceptance adalah penerimaan isi dakwah. Dalam hal ini ditolak atau diterimanya isi dakwah sebagai sikap hidup semangat, ditentukan oleh pemahaman terhadap pesan dakwah dan juga sejauh mana pesan dakwah sesuai dengan kebutuhan serta nilai hidup pendengar. Dengan adanya penerimaan pesan dakwah ini, diharapkan mad’u akan menjalankan perintah-perintah (Islam) yang disampaikan juru dakwah.

Sejauh mana proses perubahan sikap tersebut dapat terbentuk, sangat tergantung pada ketiga aspek komunikasi di atas, yaitu komunikator (da’i), komunikasi (isi dan bahasa dakwah), dan audience (mad’u).

Syeikh Muhammad Abduh, sebagaimana dikutip Munir dalam bukunya Metode Dakwah, mengatakan bahwa umat yang dihadapi seorang pendakwah secara garis besar dibagi menjadi 3 golongan yang masing-masing harus dihadapi dengan cara yang berbeda-beda pula :
1. Ada golongan cerdik cendekiawan yang cinta kebenaran dan dapat berpikir secara kritis dan cepat dalam menangkap arti persoalan. Mereka ini, harus dipanggil atau diseru dan diberi nashihat dengan hikmah, yaitu dengan alasan-alasan, dengan dalil-dalil dan hujjah yang dapat diterima oleh mereka
2. Ada golongan awam, adalah orang yang belum dapat berpikir secara kritis dan mendalam, juga belum dapat menangkap pengertian yang tinggi-tinggi. Mereka ini sebaiknya diseru/diberi nashihat dengan cara mau’idlatil hasanah atau dengan anjuran dan didikan yang baik-baik dan ajaran-ajaran yang mudah dipahami
3. Ada golongan yang tingkat kecerdasannya di antara kedua golongan tersebut, yaitu orang yang belum dapat dicapai dengan hikmah, akan tetapi tidak sesuai juga bila dinasihati seperti golongan orang awam. Mereka ini, suka membahas sesuatu, tetapi tidak hanya dalam batas yang tertentu dan tidak sanggup mendalam benar. Mereka ini sebaiknya diseru/dinashihati dengan cara mujadalah Billati hiya ahsan, yakni dengan cara bertukar pikiran guna mendorong mereka supaya berpikir secara sehat satu dan lainnya dengan cara yang lebih baik.

D. Da’i dan Perhatiannya Terhadap Kebutuhan Psikologis Mad’u
Mengingat bermacam-macam tipe manusia yang dihadapi da’i, maka setiap da’i yang mengharapkan “sejuk” dalam aktivitas dakwahnya harus memperhatikan kondisi psikologis mad’u. Disaat terjun ke sebuah komunitas atau melakukan kontak dengan mad’u, da’i yang baik juga harus memperlajari terlebih dahulu data riil tentang komunitas atau pribadi mad’u yang bersangkutan.

Mohammad Natsir dalam Fiqh Dakwah-nya, sebagaimana dikutip oleh Munir dalam bukunya Metode Dakwah terbitan Kencana 2006, mengungkapkan pendapat yang berkaitan dengan kondisi psikologis mad’u bahwa, pokok persoalan bagi seorang pembawa dakwah ialah bagaimana menentukan cara yang tepat dan efektif dalam menghadapi suatu golongan tertentu dengan suatu keadaan dan suasana umat yang tertentu pula. Pendapat tersebut rupanya hampir serupa dengan pendapat Amin Ahsan yang dikutip Munir bahwa seorang da’i harus memperhatikan kedudukan sosial penerima dakwah. Jika seorang da’i “mencium” adanya sikap memusuhi Islam dalam menerima dakwah, maka dengan alasan apapun dia tidak boleh memperburuk situasi.

Dr. Akram Ridha dalam bukunya Kiat Tampil PeDe Saat Berceramah, mengatakan bahwa yang intinya adalah seorang da’i juga harus memiliki rasa percaya diri agar apa yang disampaikannya itu bisa mengena kepada audience. Selain itu, da’i juga harus “mendialogkan” akan kebutuhan audience yang diinginkan sebelum da’i tersebut terjun berceramah. Kebutuhan psikologis audience, lanjut Dr. Akram Ridha, sepertihalnya rasa aman saat takut, rasa tenang saat marah, rasa cinta serta ketenangan pikiran dan hati.

Oleh karena itu, untuk mencapai keberhasilan dalam pengembangan dakwah Islam, maka perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1. Diperlukan dakwah dan strategi yang jitu terkait kebutuhan psikologis mad’u dan da’i itu sendiri. Sehingga, perubahan yang ada akibat jalannya dakwah nanti tidak terjadi secara frontal, tetapi bertahap sesuai fitrah manusia. Laksana air, yang berjalan dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah.
2. Dakwah Islam seharusnya dilakukan dengan menyejukkan hati audience, mencari titik persamaan, memudahkan bukan mempersulit, menggembirakan audience, bertahap dan berangsur-angsur—bukan secara frontal—sebagaimana pola dakwah yang dijalankan oleh Rasulullah saw ketika mengubah kehidupan jahiliyyah menjadi islamiyyah.
3. Dalam dakwah islamiyyah, tidak mengenal kata keras jika yang dimaksud keras adalah kasar dan frontal. Tetapi, apabila yang dimaksud keras adalah tegas maka itu merupakan tahapan terakhir ketika jalan kedamaian buntu untuk dilalui

KESIMPULAN
Dari segi psikologi, dakwah dalam prosesnya dipandang sebagai pembawa perubahan atau sebuah proses, atau sebuah hasil. Dari segi dakwah sendiri, psikologi banyak memberikan jalan kepada perumusan tujuan dakwah, pemilihan materi, penentuan metode, dan pengembangan dakwah itu sendiri. Dengan demikian, maka seorang da’i sebaiknya juga mempelajari ilmu Psikologi (baik psikologi dakwah, psikologi komunikasi dan psikologi islami) yang merupakan alat bantu bagi juru dakwah untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang faktor-faktor psikologis yang mempengaruhi tingkah laku manusia sebagai mad’u atau objek dakwah, serta untuk mendapatkan pengertian secara praktis mengenai penyampaian dakwahnya dan secara metodologis kepada sasaran dakwah agar tujuan dakwah tersebut mampu mencapai “derajat” efektif, efisien, intensif, dan tentunya maksimal serta optimal.

REKOMENDASI
Dari beberapa uraian di atas, pemakalah sepertinya perlu merekomendasikan bahwa dalam aktivitas berdakwah, perlu adanya kebijakan perencanaan dan pendekatan psikologis demi mencapai tujuan yang diinginkan.

Secara umum, maka perlu juga adanya peninjuan kembali akan orientasi perencanaan dakwah yang selama ini dilakukan. Kalau semula perencanaan bersifat sentrifigural, yaitu metode dan pengolahan pesan dakwah ditentukan (menurut selera) da’i, maka perlu dirubah agar berorientasi sentripetal, yaitu mendudukkan permasalahan umat, kondisi dan lingkungan umat. Dengan demikian, pemakalah yakin bahwa adanya integrasi ilmu psikologi ini juga akan ikut mempengaruhi pengembangan dakwah islamiyyah di negeri ini selanjutnya. Semoga!

SUMBER REFERENSI
Ancok, Djamaludin & Fuad Nashori. 1994. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Anonim. 1998. Islam dan Dakwah: Pergumulan Antara Nilai dan Realitas. Yogyakarta: Majlis Tabligh PP Muhammadiyyah

Arifin, HM. 2000. Psikologi Dakwah: Suatu Pengantar Studi, cetakan ke 5. Jakarta: Bumi Aksara

Dauly, Hamdan. 2001. Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik. Yogyakarta: Penerbit LESFI

Kafie, Jamaluddin. 1993. Psikologi Dakwah. Surabya: Indah Penerbit

Munir, M. 2006. Metode Dakwah, edisi revisi-cetakan ke 2. Jakarta: Kencana

Ridha, Akram. 2005. Kiat Tampil Pede Saat Berceramah. Yogyakarta: Penerbit Hikmah PT Mizan Publika


* Tulisan (makalah) ini disampaikan pada perkuliahan Fiqh Dakwah di Pondok Pesantren UII Yogyakarta. Siapa saja boleh membaca dan memberikan komentar, baik saran maupun kritik. Atas saran dan kritiknya penulis memberikan apresiasi setinggi-tingginya. Dilarang mengutip tanpa menyebutkan sumber referensinya dengan jelas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini