AKSIOLOGI: Filsafat Nilai (Value)

“Kehidupan ini memaksa kita untuk mengadakan pilihan, mengukur benda dari segi lebih baik atau lebih jelek dan untuk memberi formulasi tentang ukuran nilai”

“Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai dan tak pernah terdapat suatu masyarakat tanpa sistem nilai”

Oleh Nur Haris Ali

LATAR BELAKANG: SEBUAH PENGANTAR
Membahas masalah nilai atau teori tentang nilai berarti kita membahas tentang aksiologi karena aksiologi adalah bagian filsafat yang mempersoalkan nilai dan penilaian, terutama berhubungan dengan masalah atau teori umum formal mengenai nilai. Aksiologi berasal dari bahasa Yunani axios (nilai) dan logos (teori) sehingga aksiologi adalah salah satu bagian filsafat yang mempersoalkan teori tentang nilai.

Sebagai bagian dari filsafat, aksiologi atau filsafat nilai dan penilaian, secara formal baru muncul pada pertengahan Abad ke-19. Meskipun sejak zaman Yunani Kuno masalah-masalah aksiologi telah dibicarakan orang, namun pembicaraannya terlalu khusus dalam hubungannya dengan masalah tertentu, belum berbicara mengenai aksiologi pada prinsipnya.

Semenjak zaman Yunani Purba, para filosof telah menulis segi, teori tentang problema nilai. Sekarang, penyelidikan tentang apa yang dinilai manusia, dan apa yang harus dinilai, telah menimbulkan perhatian baru.

Dalam membahas aksiologi nilai dan penilaian, terdapat banyak pendapat menyangkut isinya. “Apakah nilai dan penilaian?” pertanyaan ini tentu saja merupakan masalah utama pada bagian filsafat ini.

Berangkat dari pertanyaan masalah di atas, dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk menjawab rumusan masalah tersebut dengan mengkhususkan pembahasan pada nilai dan penilaian yang berdasarkan pada dua hal, yaitu ada (being) dan nilai (value) itu sendiri.

KAJIAN PUSTAKA
A. Definisi Nilai
Nilai, dalam bukunya Dr. Fuad Farid Isma’il & Dr. Abdul Hamid Mutawalli yang berjudul Cepat Menguasai Ilmu Filsafat, diartikan sebagai standar atau ukuran (norma) yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu. Ucapan kita bahwa baju ini murah atau mahal harganya, misalnya, berarti bahwa nilai ekonomisnya adalah kecil atau besar. Ucapan kita bahwa pekerjaan ini baik atau buruk, maka sesungguhnya penilain kita ada (being) dalam perspektif penilaian kita terhadap makna kebaikan dan keburukan, atau sesuai dengan norma kebaikan dan keburukan dalam pandangan kita.

Value atau nilai, dalam Kamus Psikologi karangan Kartono Kartini & Dali Guno terbitan didefinisikan sebagai hal yang dianggap penting, bernilai atau baik. Semacam keyakinan mengenai bagaimana seseorang seharusnya atau tidak seharusnya dalam bertindak (misalnya jujur, ikhlas), atau cita-cita yang ingin dicapai oleh seseorang (misalnya kebahagiaan, kebebasan)

Namun, bagi sebagian orang, nilai diartikan dengan menggunakan berbagai reduksi. Dengan kata lain, memperlihatkan adanya tiga sektor besar realitas, yaitu benda, esensi, dan keadaan psikologis. Nilai yang diberikan orang pada sesuatu akan dikaitkan antara lain dengan apa yang diinginkannya, apa yang menyenangkannya, dan apa yang membuatnya senang atau nikmat.

Nilai ini kemudian menjadi pembahasan tersendiri dalam diskusi-diskusi filsafat dan pemikiran. Terbukti dengan munculnya teori nilai (aksiologi) yang penulis temukan di beberapa literatur Filsafat seperti di bukunya Ahmad Tafsir berjudul Filsafat Umum terbitan Remaja Rosdakarya Bandung 1990. Ahmad Tafsir, lebih lanjut, meletakkan pembahasan nilai ini setelah membahas teori pengetahuan dan teori hakikat yang merupakan sistematika dalam pembahasan Filsafat.

Teori-teori lainnya, seperti yang dikemukakan oleh teori Nicolai Hartmann, bahwa nilai adalah esensi dan ide platonik. Nilai selalu berhubungan dengan benda yang menjadi pendukungnya, misalnya indah dengan kain dan baik dengan perilaku. Artinya, bahwa nilai itu tidak nyata.

Dalam buku Living issue in Philosophy yang dialihbahasakan oleh Prof. Dr. H.M. Rasjidi, disebutkan bahwa penilaian seseorang itu dipengaruhi oleh fakta-fakta. Artinya, jika fakta-fakta atau keadaan berubah, maka penilaian kita biasanya juga akan berubah. Ini berarti juga bahwa pertimbangan nilai seseorang bergantung kepada fakta.

Pendapat demikian ini rupanya juga diamini oleh Ngalim Purwanto dalam bukunya Psikologi Pendidikan yang mengatakan bahwa, nilai-nilai yang ada pada seseorang bisa dipengaruhi oleh adanya adat istiadat, etika, kepercayaan, dan agama yang dianutnya. Semua itu mempengaruhi sikap, pendapat, dan pandangan individu yang selanjutnya tercermin dalam cara-cara bagaimana orang tersebut bertindak dan bertingkah laku dalam memberikan penilaian.

B. Pembagian Teori Nilai
Dalam pembagiannya, nilai serta penilaian memiliki dua bidang paling populer yang bersangkutan dengan tingkah laku dan keadaan atau tampilan fisik. Dua bidang paling populer ini, menurut Langeveld sebagaimana dikutip Wiramihardja dalam bukunya Pengantar Filsafat, masuk ke dalam tiga hal utama pada sistematika filsafat . Dua bidang paling popular yang dimaksud adalah :

1) Etika
Yaitu mempersoalkan penilaian atas perbuatan manusia dari sudut baik dan jahat. Etika merupakan cabang aksiologi yang pada pokoknya membicarakan masalah predikat-predikat nilai ‘betul’ (right) dan ‘salah’ (wrong) dalam arti ‘susila’ (moral) dan ‘tidak susila’ (immoral). Sebagai pokok bahasan yang khusus, etika membicarakan sifat-sifat yang menyebabkan orang dapat disebut susila atau bajik. Kualitas-kualitas dan atribut-atribut ini dinamakan ‘kebajikan-kebajikan’ (virtues), yang dilawankan dengan ‘kejahatan-kejahatan’ (vices), yang berarti sifat-sifat yang menunjukkan bahwa orang yang mempunyainya dikatakan sebagai orang yang tidak susila.

Di lain pihak, etika acapkali dipandang sebagai ilmu pengetahuan yang menetapkan ukuran-ukuran atau kaidah-kaidah yang mendasari pemberian tanggapan atau penilaian terhadap perbuatan. Ilmu pengetahuan ini membicarakan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi, dan yang memungkinkan orang untuk menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi.

2) Estetika
Yaitu mempersoalkan penilaian atas sesuatu dari sudut indah dan jelek. Secara umum, estetika disebut sebagai kajian filsafati mengenai apa yang membuat rasa senang. Tokoh yang paling terkenal dalam bidang ini adalah Alexander Baumgarten (1714-1762)

Nilai baik sebanding dengan nilai indah, tetapi kata ‘indah’ sendiri lebih sering dikenakan pada seni, sedangkan kata ‘baik’ lebih sering dikenakan pada perbuatan. Di dalam kehidupan sehari-hari, ‘indah’ lebih berpengaruh ketimbang ‘baik’. Orang lebih tertarik pada rupa ketimbang pada tingkah laku. Orang yang tingkah lakunya baik (etika), tetapi kurang indah (estetika), akan dipilih belakangan; yang dipilih lebih dulu adalah orang yang indah, sekalipun kurang baik.

Secara umum, bernilai artinya berharga. Pertanyaan selanjutnya yang muncul kemudian adalah, dimanakah sesungguhnya letak dari nilai itu? pada barangnya kah? atau pada orang yang menilai?. Pada umumnya, orang berpendapat bahwa, nilai terletak pada barangnya. Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa nilai itu bersifat abstrak. Yang dapat ditangkap oleh indera kita ialah barang yang bernilai, sehingga nilai itu sendiri tidak dapat ditangkap.

Banyak ”keributan” yang disebabkan oleh perbedaan penilaian. Para ahli berusaha membuat ukuran untuk menilai—yang disebut dengan sistem nilai—yang diharapkan dapat berlaku umum dan mantap. Akan tetapi, usaha itu ternyata gagal karena para ahli sendiri ternyata tidak dapat bersepakat tentang sistem nilai tersebut. Sehingga, nilai buruk dan baik, indah dan tidak indah, memang ada, tetapi ukuran itu tidak satu macam. Dengan demikian, berarti sama saja dengan tidak ada ukuran sama sekali. Sama dalam arti akibatnya, yaitu tetap saja akan terjadi perdebatan, bahkan “keributan” tentang nilai.

Ukuran indah dan tidak indah sama dengan baik dan tidak baik yaitu membingungkan, bermacam-macam, subyektif, dan sering diperdebatkan. Meskipun demikian, etsetika berusaha menemukan ukurannya yang dapat berlaku umum. Akan tetapi, sama dengan etika, usaha itu tidak berhasil. Memang ditemukan ukuran tentang indah-tidak indah, tetapi ukuran yang ditemukan begitu banyak, pakarnya sendiri pun tidak mampu bersepakat.

Teori lama tentang keindahan bersifat metafisis, teori modern bersifat psikologis. Menurut Plato, keindahan adalah realitas yang sungguh-sungguh, suatu hakikat yang abadi, tidak berubah. Sekalipun ia menyatakan bahwa harmoni, proporsi, dan simetri adalah yang membentuk keindahan, ia tetap berpendapat bahwa ada unsur metafisik dalam keindahan. Baginya keindahan suatu obyek bukan berasal dari obyek itu akan tetapi keindahan itulah yang menyertai obyek tersebut. Pandangan ini benar-benar metafisis. Bagi Plotinus, keindahan adalah pancaran akal Ilahi: bila Ilahi memancarkan diri-Nya atau memancarkan sinar-Nya, maka itulah keindahan.

C. Pendekatan-pendekatan Dalam Aksiologi
Pertanyaan mengenai hakekat nilai dapat dijawab dengan tiga macam pendekatan, yaitu ketika orang tersebut dapat mengatakan bahwa:
(1) Nilai sepenuhnya berhakekat subjektif. Ditinjau dari sudut pandang ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan ‘subjektivitas’.

(2) Atau dapat pula orang mengatakan bahwa nilai-nilai ini merupakan kenyataan-kenyataan ditinjau dari segi ontologi , namun tidak terdapat dalam ruang dan waktu. Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melalui akal. Pendirian ini dinamakan ‘objektivisme logis’.

(3) Akhirnya orang dapat mengatakan bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur objektif yang menyusun kenyataan. Yang demikian ini disebut ‘objektivisme metafisik’.

PANDANGAN DAN ANALISIS PENULIS
Sebelum penulis memberikan pandangan terkait permasalahan nilai. Penulis akan sedikit menganalisis beberapa hal terkait permasalahan nilai ini. Nilai, sebenarnya merupakan sebuah sifat dari suatu barang yang hanya mengandung dan berhubungan dengan subjek yang tahu akan nilai itu sendiri. Tanggapan nilai—misalnya kebaikan—sebenarnya juga bukanlah suatu ‘makhluk’ yang hidup tersendiri dalam salah satu ‘dunia’, akan tetapi Ia pun mempunyai suatu cara tersendiri untuk berada (being), terlepas dari persoalan apakah ada yang menyatakan adanya atau tidak.

Setiap individu mempunyai perasaan tentang nilai dan tak pernah terdapat suatu masyakarat tanpa sistem nilai. Melakukan pertimbangan nilai adalah kebiasaan sehari-hari bagi kebanyakan orang. Bagi kebanyakan orang penilaian terjadi secara terus menerus.

Sebenarnya, ‘nilai’ merupakan pengertian yang luas lingkupnya dibandingkan dengan pengertian ‘yang baik’, dan pengertian tersebut menyangkut perangkat hal yang disetujui dan yang tidak disetujui. Sehingga, seperti yang penulis sebutkan di atas tadi, maka terus terjadi perdebatan yang tak kunjung selesai ketika masalah ukuran nilai ini disetujui atau tidak disetujui.

Dalam bahasa kita sehari-hari, sering kita mengatakan bahwa “barang ini mempunyai nilai,” sebenarnya, bahasa yang kita gunakan ini adalah sebuah pemberian penghargaan atas obyek yang menurut subjektif kita, patut untuk diberi nilai. Maka dari sini sebenarnya nilai adalah sebuah pemberian karena adanya penghargaan yang diberikan. Dengan demikian, maka penulis berpandangan bahwa sebenarnya nilai itu kembali pada individu yang memberi nilai itu sendiri. Namun, biasanya adanya nilai ini juga membutuhkan kesepakatan bersama. Tidak semua orang akan memberi nilai yang serupa, tetapi nilai itu biasanya juga dipengaruhi oleh adanya norma-norma, etika, dan adat istiadat yang berlaku di masyarakat.

Adapun hubunganya dengan filsafat ialah, filsafat merupakan seperangkat keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap, cita-cita, aspirasi-aspirasi dan tujuan-tujuan, nilai-nilai dan norma-norma, aturan-aturan dan prinsip etis.

Menurut Sidney Hook, filsafat juga pencari kebenaran, suatu persoalan nilai-nilai dan pertimbangan-pertimbangan nilai untuk melaksanakan hubunganhubungan kemanusiaan secara benar dan juga berbagai pengetahuan tentang apa yang buruk atau baik untuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau bertindak dalam kehidupannya.

KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan yang telah penulis jelaskan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa nilai tidak lain tidak bukan adalah standar atau ukuran yang digunakan untuk mengukur segala sesuatu. Ilmu yang mempelajari nilai ini disebut dengan aksiologi, yang sebenarnya merupakan urutan ketiga dari sistematika filsafat. Dua hal yang sering dipermasalahkan dalam nilai adalah masalah etika dan estetika.

Terkait dimana sebenarnya letak dari sebuah nilai itu, maka sebenarnya nilai itu hanyalah pemberian dan hal ini lagi-lagi kembali kepada individu masing-masing ketika ia memberikan sebuah penilaian.

DAFTAR REFERENSI
Ismail, Fuad Farid & Abdul Hamid Mutawalli. 2003. Cepat Menguasai Ilmu Filsafat. Yogyakarta: IRCiSoD
Kartini, Kartono & Dali Guno. 2003. Kamus Psikologi. Bandung: Pionir Jaya
Kattsoff, Luis O. 2004. Elements of Philosophy (Soejono Soemargono-penerj). Yogyakarta: Tiara Wacana
Langeveld, M.J. (tanpa tahun). Op Weg Naar Wijsgerig Denken (G.J Claessen-penerj). Jakarta: Pustaka Sarjana
Purwanto, Ngalim. 2002. Psikologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Salam, Burhanuddin. 1997. Logika Materi; Filsafat Ilmu Pengetahuan, cet. ke-1 Jakarta: Reneka Cipta
Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Umum: Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James. Bandung: Rosdakarya
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith & Richard T. Nolan. 1984. Living Issues in Phylosophy (H.M Rasjidi – penerj). Jakarta: Bulan Bintang
Wiramihardja, Sutardjo A. 2007. Pengantar Filsafat, cet ke-2. Bandung: Refika Aditama

--Tulisan (makalah) ini dipresentasikan pada mata kuliah Filsafat, Senin (24/5) di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII Yogyakarta--

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini