KETIKA IA MENANGIS, MAKA SAYA.....??

Jujur. Ini bukan untuk kali pertama. Saya sering mendapati dan mengalami hal semacam ini. Mungkin karena saya "orang" psikologi. Jadi tidak sedikit dari kerabat, teman, baik yang jauh atau dekat, mencurahkan isi hatinya kepada saya.

Sebagai orang psikologi, kata dosen saya ketika kuliah, maka skill yang harus dimiliki kali pertama adalah mampu menjadi pendengar yang baik. Ya! pendengar yang baik. Kemampuan untuk menjadi pendegar yang baik ini sering sekali sulit dilakukan memang. Saya pun terkadang demikian. Tapi, karena saya notabene adalah "orang" psikologi, maka saya pun berusaha untuk belajar menjadi pendengar yang baik. Pendengar yang efekif.

Setiap kali ada orang yang ingin curhat kepada saya, saya mencoba untuk selalu mendengarkannya. Apapun itu isi curhatannya itu. Saya tidak langsung menginterupsi. Saya biarkan ia menceritakan apa yang ingin ia ceritakan. Begitu seterusnya, sampai ia merasa puas. Bahkan, sering ada yang sampai menangis.

Tapi, ketia ia menangis, saya bingung--tepatnya tidak tahu harus berbuat apa. Padahal idealnya, apa yang diajarkan waktu kuliah adalah konselor bisa memeluk konselee, sambil mengelus punggung konselee. Oke, kalau itu sama-sama prianya. Tapi ini tidak. Ia bukan laki-laki. Ia perempuan. Dan saya, saya adalah lawan jenisnya. Ada sekat "kode etik" agama yang melarang saya untuk menyentuh lawan jenis, apalagi sampai memeluk.

Itu yang saya alami sore hari ini (31/3) tadi. Sehabis makan, seorang adik kelas yang HEBAT--setidaknya demikian di mata saya--tiba-tiba curhat tentang mamanya. Yang saya tangkap, ia merasa sendiri: tak diurusi (lagi) oleh mamanya. "Ada atau tidak, kayaknya sama aja," katanya sambil meneteskan air mata. Ia menangis. Menangis karena merasa tertekan. Menangis karena rindu dengan kasih sayang seorang ibu. Menangis karena merasa ibunya tidak seperti ibu dari teman-temannya pada umumnya. Menagis karena  ia seorang anak perempuan yang jauh dari tempat asal. Ia kembali meneteskan air mata. Rindu dengan kehangatan seorang ibu.


Saya tak bisa berbuat apa-apa. Saya hanya bisa menatapnya dengan tatapan layu. Dalam hati, gejolak hati muncul, "Mana mungkin aku  memeluk sambil mengelus-elus punggungnya? Tidak!, tak mungkin itu" saya semakin bingung.

Saya hanya bisa mendengarkannya saja. Mendengarkan, mendengarkan, mendengarkan, dan mendengarkan. Saya coba tuk memahami apa yang ia rasakan. 

Ini bukan lagi untuk kali pertama. Sering saya mendapati seorang teman yang menangis di depan saya seperti ini. Saya hanya bisa mendengarkan, mendengarkan, mendengarkan dan mendengarkannya. Dan terkadang, saya coba mencari celah, kira-kira, perlu saran atau motivasi dari saya atau tidak.

Jujur, kali ini, saya harus mengatakan: saya bingung. Bingung ketika konselee tidak sama jenis kelaminnya dengan saya, maka apa yang harus saya lakukan ketika ia menangis?

3 komentar:

  1. ketika seorang perempuan atau siapa pun dia menangis, langkah pertama adalah berikan dia tisu.. :)

    -Sufren (Psi. Untar '07)-

    BalasHapus
  2. Mas Sufren...oh, iya ya, begitu...hmmm, sebenarnya sih, emang seperti itu seharusnya..tapi, parahnya saya, waktu itu pas lagi nggak bawa tisu,
    all right, thanks mas Sufren :)

    BalasHapus
  3. tulisan yang bagus yang menginsperasi banyak orang khususnnya orang-orang yang notabenenya psikolog, sebagai seorang psikolog idealnya memang harus melakukan apa yang dilakukan oleh mas haris, berupaya menjadi pendengar yang efektif,,,,,,,

    good job mas haris,,,,,
    slalu berkarya,,,,,

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini