Jangan Panggil Saya “Akhi”

Sungguh, jangan panggil saya “akhi” atau memberi saya sebutan “ikhwan”. Walau saya mengerti bahwa itu hanyalah kata bahasa arab biasa, yang berarti saudara laki-laki. Tapi kini panggilan itu mengalami generalisasi makna menjadi aktivis dakwah. Ah, terlalu berat sebutan itu untuk saya sandang. Saya merasa masih terlalu hijau, merasa belum melakukan apa-apa, dan masih banyak dosa. Belum terlalu pantas untuk dicontoh. Ah, dakwah. Kata yang begitu indah. Begitu luas. Begitu suci.


Bukankah dakwah tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas pengajian, majlisan, juga keputrian (kalau untuk putri), dan hal-hal lain sejenis itu yang hanya melibatkan komunitas tertentu yang menganggap—mungkin—dirinya  “eksklusif” dan paling benar?

Sebenarnya, ikhwan atau pun akhwat, hanyalah kata bahasa arab biasa. Yang berarti saudara laki-laki atau wanita.

Apakah justru kata-kata itulah yang membuat dakwah tidak berjalan dengan lancar?

Apakah justru, kata itulah yang telah mempersulit dakwah?

Apakah justru, kata itulah yang membuat dikotomi sesama umat Islam?

Apakah justru dengan kata-kata itu sudah terjadi pembedaan?

Apakah justru, akan mudah mengakibatkan perpecahan umat?

***


Saya lahir di keluarga dengan basic agama yang cukup kental. Abah, ayah saya, lahir dan menghabiskan masa kecilnya di lingkungan perdesaan, begitu juga ibuk saya. Meski mereka berdua tidak nyantri, tapi anak-anaknya, termasuk saya, mulai dari kakak saya yang pertama sampai adik saya yang terakhir (kami lima laki-laki bersaudara, saya anak nomer empat), semuanya di pesantrenkan. Orangtua saya pun membesarkan saya dan saudara-saudara saya dengan bekal agama yang tidak sedikit, walau saya bersekolah di sekolah umum (SMA Islam Sunan Gunung Jati–Ngunut Tulungagung). Saya tetap mengikuti TPQ (TPA—kalau di beberapa daerah menyebutnya, it’s sama saja) di dekat rumah sewaktu kecil, lalu menginjak ke Madrasah Diniyah di desa, hingga masuk ke SMP dan SMA umum, milik PPHM Ngunut. Walaupun masa kecil saya bisa dibilang cukup kental juga dengan kegiatan keagamaan, tapi sungguh, sebutan ataupun panggilan “akhi” apalagi “ikhwan” itu terlalu berat bagi saya. Sama beratnya dengan panggilan “ustadz”.

Memang, saya pernah masuk ikut-ikut bantu jadi kepanitian di organisasi keagamaan, di kampus. Termasuk organisasi yang sering digumuli oleh “para ikhwan dan akhwat”, yang sebenarnya orangtua saya—saya yakin—tidak terlalu setuju jika saya ikuti organisasi itu (karena khawatir, saya jadi “ekstrim”).

Saya menceritakan bagian ini sebagai pendahuluan agar Anda tidak menganggap saya mengarang cerita,  karena dulu saya benar-benar pernah masuk ke dalam komunitas-komunitas tersebut. Dulu banget, meski cuman ikutan-ikutan saja.

Hingga akhirnya saya menyadari suatu hal. Banyak hal. Bahkan kurang pantas untuk disebutkan disini. Saat itu saya merasa bahwa bukan visi-misi organisasinya yang salah, tapi hanya “oknum”nya yang kurang bisa menempatkan diri. Ya, karakter tiap orang memang beragam, tapi saya mengamati karakter dominan dari para ikhwan dan akhwat ini adalah: merasa paling benar dan paling tahu tentang urusan agama.

Ya, saya merasa ada atmosfer kesombongan di dalam diri mereka. Menyombongkan keimanan. Merasa bangga saat dipanggil “akhi” atau “ukhti”, bahkan membanding-bandingkan ilmu agamanya dengan orang-orang lain. Saya ingat seorang teman, namanya Annisa. Ia sama-sama tidak mau disebut dengan sebutan arab itu. Ia bercerita tentang temannya yang “akhi” begini:

“Banyak akhwat yang aku kenal. Dulu saat aku masih senang dengan cara jahiliah, yaitu mengetes akhwat. Banyak akhwat yang sering aku telepon. Dan banyak juga, akhwat yang dengan nada santai tetapi benar-benar menghanyutkan. Bicaranya santun, tetapi topik pembicaraannya tidak pantas untuk dibicarakan oleh seorang akhwat apalagi kader dakwah. Ada lagi seorang akhwat yang tergesa-gesa menjelaskan sesuatu masalah, lebih-lebih lagi si akhwat memposisikan dirinya sebagai orang yang paling tahu dan paling beriman. Ada juga akhwat yang menjelaskan agama Islam, tetapi si akhwat menjelaskannya layaknya seorang marketing. Sungguh memang benar-benar lucu. Dan kadang pula menjengkelkan dengan para akhwat yang sok suci dan sok yang paling tahu itu.”


Halo???…
Miris mendengarnya, tapi ingin tertawa juga. Tidak menyangka pandangan para “akhi” itu masih begitu remehnya. Padahal mengakunya sebagai muslim sejati. Mengetes akhwat? Seorang muslim sejati tidak akan memposisikan dia sebagai orang yang paling pintar dan beriman, seorang muslim sejati tidak akan memberi sebuah penjelasan layaknya seorang marketing produk. Mengajak orang dengan “paksaan tak kentara” itu namanya. Padahal Islam adalah agama perbuatan, maka perbuatanlah yang akan mencontohkan muslim yang baik atau muslim yang buruk. Ya, perbuatan atau sikap, dan sikap adalah sesuatu yang tidak bisa ditutupi dengan kalimat-kalimat manis berkedok cerita-cerita religius. Cerita-cerita seperti itupun sudah bisa dihafal oleh adek-adek kita yang masih TK, tapi sikap dewasa dan bijak akan langsung terlihat tanpa perlu membahanakan kereligiusan seseorang kan?

Ah, saya mulai jengah berada dalam komunitas seperti itu. Kukira, saya akan mendapatkan ketenangan batin dengan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti itu. Tapi sepertinya saya tidak nyaman dengan sikap sok eksklusif dan merasa paling benar itu. Seolah-olah tidak terjamah dosa. Dan melihat orang diluar komunitasnya adalah orang-orang “kafir” yang perlu diluruskan.

Hai, bagaimana mungkin menilai muslim lain sebagai “orang tidak beriman” hanya karena rambut bercat merah? Atau kalau yang putri, merasa dirinya lebih beriman hanya karena jilbabnya lebih lebar sedikit? Atau, kalau pria merasa dirinya lebih beriman hanya karena ada warna hitam di jidad-nya? Atau celananya lebih pendek dan jenggotnya lebih panjang?

Yang saya pahami, manusia tidak sedikitpun berhak menilai kadar keimanan.

Bukankah kadar keimanan adalah RAHASIA yang hanya bisa dinilai oleh Allah? Manusia terlalu kecil dan bodoh untuk menilai kadar keimanan-keimanan orang lain. Bahkan merasa bangga dengan kadar keimanan yang dimilikinya.

Untung, kejadian-kejadian itu tidak saya temui saat berada di sekolah menengah, tapi di lingkungan kampus. Makanya, saya pun agak sedikit shock. Saya tidak akan menyebutkan organisasi apa, dengan penampilan seperti apa, tapi saya tidak menyukai sikap sok eksklusif itu.

Jangan panggil saya “akhi” atau memberi sebutan “ikhwan”. Bukan karena saya tidak senang dipanggil dengan bahasa arab atau sebutan yang mencerminkan keislaman. Sungguh, bukan seperti itu.

Saya hanya takut sombong.

Saya takut sombong.

Saya takut sombong.

Udah, itu saja. Ndak ada yang lain.

Jadi untuk siapapun yang biasanya memanggil saya “akhi”, mohon hentikan.

Sejak dulu, saya memegang wujud “kadar keimanan” dalam dua hal: hablum minallah dan hablum minannas. Keduanya jelas saling berkaitan dan saling mendukung. Tapi bentuk dukungannya jelas bukan dengan membawa-bawa hubungan dengan Tuhan dalam hubungan dengan sesama manusia sehari-hari, alias pamer ibadah, bahkan membicarakan pahala-pahalanya dengan orang lain. Semua orang yang mendengarkan justru akan menertawakan dalam hati. Wallahu ‘alam.

Saya manusia biasa, sama seperti Anda, sama seperti mereka, yang sama-sama sedang belajar. Saya mungkin tidak lebih beriman daripada Anda, tapi saya akan berusaha menjadi manusia baik dan bermanfaat untuk yang lain.

Saya mungkin tidak memiliki pengetahuan seluas Anda, tapi saya akan berusaha dan belajar untuk bisa tahu banyak hal.

Saya tidak akan segan mengatakan pada Anda, ”saya mungkin salah, mohon koreksi”, “ajari saya”, ataupun “beritahu saya”, karena saya manusia biasa, sangat biasa, bukan komunitas eksklusif manapun. Dan saya sepenuhnya menyerahkan penilaian keimanan saya kepada Allah, bukan kepada siapapun yang menilai kadar keimanan seseorang hanya dari penampilan luar.

Jangan panggil saya “akhi”, cukup dengan nama saja.  Haris. Dah itu saja cukup. Sekali lagi, jangan panggil saya “akhi”, kecuali kalau kita sedang sama-sama berada di Arab, he2…

—diadaptasi dari tulisan Annisa, di Malang—

2 komentar:

  1. Kalo saya manggil ente profesor boleh ga? :3
    hehee.. ehmm jenggot saya panjang lho :p

    BalasHapus
  2. Hee.....Kan sudah sering manggil akunya pake sebutan itu, Do? Prof :D

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini