Islam Nusantara, Islam Indonesia, Islam di Indonesia

Makalah[1]
Mata Kuliah Peradaban dan Pemikiran Islam Klasik
Dosen Pengampu: Prof. Dr. Abdul Karim, MA., MA

Oleh Nur Haris ‘Ali
Mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya,
 Santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia


Pengantar
Mempelajari Islam Nusantara, Islam Indonesia dan Islam di Indonesia, secara historis, berarti harus meletakkan objek peristiwa yang sedang dikaji dalam ruang waktu yang temporalitasnya ditetapkan. Dengan kajian seperti itu, maka akan tergambarkan perjalanan suatu peristiwa sejarah secara prosesual. Meskipun persoalan ini bukan hal baru, namun mendiskusikannya kembali akan selalu memberi manfaat, mengingat perkembangan ilmu pengetahuan yang tidak pernah mengenal titik terminasi. Kemungkinan sejarah selalu terbuka untuk ditulis ulang berdasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah ditemukannya data baru, berkembanganya teori dan metodologi yang membuka peluang dilakukannya interpretasi baru (reinterpretasi), dan sudut pandang kajian yang berbeda.[2]
Asia Tenggara merupakan suatu wilayah di benua Asia yang unik, bukan saja karena letak geografisnya yang strategis, tetapi juga karena keanekaragaman etnik yang luar biasa menakjubkan dan keanekaragaman agama serta sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Penduduk Asia Tenggara memiliki latar kebudayaan dan agama berbeda-beda, namun mereka seakan-akan diikat oleh tali persamaan dan toleransi yang mengesankan.[3]
Indonesia merupakan negara yang paling luas wilayahnya dan terbesar jumlah penduduknya[4] di Asia Tenggara. Sejak lama Indonesia memainkan peranan penting dalam dunia perdagangan, politik, penyebaran agama dan kebudayaan. Indonesia paling mencerminkan etnik, bahasa dan kebudayaan dibanding negeri lain di Asia Tenggara. Hampir semua agama besar dan berkembang di sini. Suku bangsa dan penduduk yang berbeda-beda itu hidup dalam semangat toleransi yang besar. Bangsa-bangsa asing yang datang dan kemudian bermukim di sini, terutama orang Arab, Persia, India, Cina dan Eropa, diterima dengan tangan terbuka dan segera berintegrasi dengan masyarakat Nusantara secara keseluruhan. Mereka diberi peluang memainkan peranan penting dalam kehidupan ekonomi, sosial, politik dan Agama.[5]
Islam Nusantara, Islam di Indonesia (Islam in Indonesia) dan Islam Indonesia (Indonesia Islam, Indonesishe Islam) adalah objek yang sedang dikaji dalam makalah ini. Untuk dua frase terakhir: Islam di Indonesia dan Islam Indonesia, perlu sekilas dikomentari mengenai kemungkinan munculnya varian beberapa peristilahan tersebut, karena variasi frase-frase tersebut membawa konsekuensi tersendiri. Atas sebab tersebut, dalam makalah ini, penulis akan mencoba untuk memaparkan dan menjelaskan tentang tiga frase di atas: Islam Nusantara, Islam Indonesia dan Islam di Indonesia serta pemikiran-pemikiran  klasik yang berkembang di sekitarnya.

Islam Nusantara
Dalam kesempatan ini kita sedang membahas Islam Nusantara[6]. Islam Nusantara[7] memang bukan Islam murni yang langsung datang dari Mekah yang hanya berbekal dan berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Islam yang datang ke wilayah ini adalah Islam yang telah penuh dengan pengalaman pergumulan, baik dengan budaya Arab sendiri, dengan kebudayaan tua Persia, termasuk kebudayaan Hindu India,  ada pula yang melalui budaya konfusianisme Tiongkok atau Cina. Dengan adanya pengalaman sosiologis dan kultural antar bangsa dan antar peradaban itulah Islam yang datang ke wilayah ini sangat mudah mengapresiasi bahkan beradaptasi dengan kebudayaan Nusantara. Kedekatan ulama Nusantara dengan kebudayaan-kebudayaan besar tersebut bisa disaksikan sejak dulu hingga saat ini yaitu karya-karya para ulama Nusantara yang masih dibaca dan dirujuk oleh para santri di lingkungan pendidikan pesantren[8] di seluruh Nusantara. Hal itu kemudian yang membentuk jaringan Islam Nusantara, yang satu sama lain memiliki silsilah keilmuan yang sambung-menyambung hingga sekarang. Islam Nusantara kemudian juga mengkristal tidak hanya menjadi sistem pengetahuan sendiri, tetapi juga membentuk sistem keyakinan tersendiri dan sistem politik kenegaraan tersendiri yang berbeda dengan sistem lainnya.[9]
Sebelum Islam hadir, masyarakat Nusantara telah mengenal dan menjalankan sistem budaya dan religi yang begitu komplek dan kosmopolit. Beragam bentuk kebudayaan dan praktek keagamaan membaur menjadi warna khas bagi bangsa khatulistiwa ini.  Berangkat dari itu, maka sulit bahkan tidak mungkin kekayaan budaya lokal (indigenous culture) dicabut dari akarnya begitu saja, bahkan oleh sistem budaya, dan strategi apa pun. Dengan adanya pengalaman sosiologis dan kultural antar bangsa dan antar peradaban itulah Islam yang datang ke wilayah ini sangat mudah mengapresiasi bahkan beradaptasi dengan kebudayaan Nusantara.
Penyiaran Islam dengan mengapresiasi kebudayaan setempat, bahkan yang bertentangan sekalipun, yang kemudian dihilangkan secara bertahap, itu merupakan gejala umum di Nusantara termasuk yang dilakukan oleh para Wali dan Ulama di Jawa, di Kalimantan, Sulawesi, Nusatenggara hingga Maluku. Penggunaan metode pengajaran lokal dan penggunaan sarana lokal lainnya itu membuat Islam dengan mudah diterima, karena mereka melihat kehadiran Islam bukan sebagai ancaman. Islam dengan wujud dan formasi keagamaannya pun tidak mungin memaksakan diri untuk menolak budaya yang ada di Nusantara. Meletakkan posisi binner antara Islam dan budaya Nusantara, berarti memaksakan kehendak untuk disingkirkan oleh arus besar kelompok yang meyakini akan terciptanya akulturasi budaya Islam-Nusantara tersebut.[10]
Islam Nusantara disebut demikian karena Islam yang mereka pahami dan mereka kembangkan diintegrasikan ke dalam kebudayaan setempat (nusantara). Walaupun Islam Nusantara memiliki bentuk keagamaan yang lekat dengan warisan lokal, tetapi tidak sedikit yang mendapatkan tempat terhormat di pusat peradaan Islam yaitu Haramain (Mekah dan Madinah), para pengikutnya pun banyak menjadi syeikh (guru besar) di Haramain dan menjadi panutan para ulama lain dan dihormati para raja, seluruh wilayah arab dan seluruh dunia. Murid mereka bertebaran hingga ke Eropa Turki hingga ke Afrika, termasuk India dan Persia. Sistem keilmuwan yang dikembangkan masyarakat Jawi atau Nusantara ini memiliki kekhasan sendiri, bahkan kemudian juga menciptakan aksara sendiri yang merupakan panduan antara aksara lokal dengan abjad Arab yang disebut dengan tulisan Jawi, yang hingga sekarang masih dipergunakan di berbagai pesantren di Nusantara.
  
Islam Indonesia dan Islam di Indonesia
Seperti yang penulis singgung di pengantar makalah ini, bahwa munculnya variasi frase-frase Islam di Indonesia dan Islam Indonesia bisa membawa konsekuensi tersendiri. Islam Indonesia mengandung arti Islam ala Indonesia, atau bisa juga Islam bergaya Indonesia, atau juga bisa Islam lokal Indonesia. Sementara untuk Islam di Indonesia, maka bisa berartikan orang Islam dengan berbagai dimensi kehidupan yang melekat pada orang Islam itu, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya—dengan beragam tampilannya yang ada di Indonesia.[11] Pembahasan dua frase tersebut sebenarnya, menurut penulis, juga tidak terlepas pada pembahasan jalur masuknya Islam di Indonesia, karena hal ini digunakan untuk mendapatkan gambaran yang jelas dari proses transportasi dan model komunikasi misi penyebaran[12] Islam di Indonesia tersebut.
Secara geografis Indonesia terletak di antara dua benua, Asia dan Australia, dan dua samudra: Samudra India dan Samudra Pasifik yang terdiri dari 17.508 buah pulau. Hasil penelitian para etnolog dan penyelidikan arkeologis perpindahan penduduk terjadi pada 2000 tahun SM—bahkan ada yang menaksir jauh dari itu. Saat Islam masuk di kepulauan ini, boleh dikatakan masyarakat Indonesia terutama Sumatera-Jawa beragama Hindu. Pada umumnya masyarakat menganut paham Jawa Kuna: animism, dynamisme, veteisme dan shammanisme. Dalam kondisi inilah Islam masuk di Indonesia yang menyangkut berbagai teori.[13] Ada beberapa teori yang masih debateable[14] tentang masuknya Islam di Indonesia ini, apakah dari Arab, Persia, India (Gujarat dan Bangla), atau China. Namun demikian, jalur Islam awal yang benar adalah berasal dari Bangla, meskipun ada beberapa batu nisan di bagian Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, namun itu (sesudah al-Malik al-Saleh wafat) bukan berarti Islam berasal dari sana.[15]
Peran penting kesejarahan Islam pada awal perkembangannya di Indonesia dimainkan secara apik oleh para wali dan ulama, sehingga sifat Islam yang akomodatif tersebut dapat diterima dengan mudah oleh masyarakat setempat. Walisanga dan para wali lainnya telah memainkan peranan penting dalam penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Jawa. Ada beberapa diantara mereka bahkan mempunyai pengaruh dan nama besar yang menggema ke luar Nusantara. Mereka telah berjuang dengan keras dan sungguh-sungguh untuk menarik minat masyarakat non muslim untuk memeluk Islam. Dengan bijaksana dan penuh hikmah, mereka berusaha memperkenalkan nilai-nilai Islam kepada masyarakat, dan mengajak masyarakat untuk memeluk lslam. Dengan berbagai cara dan media, mereka menanamkan Islam di hati masyarakat[16].

Pemikiran Islam di Indonesia
Untuk memamahi pemikiran Islam di Indonesia sampai saat ini, hendaklah dituntut jauh ke belakang, sejak kedatangan Islam di Indonesia, bahkan perkembangan yang terjadi pada “sumbernya” di Timur Tengah. Islamisasi di Nusantara ditandai oleh akomodasi terhadap nilai-nilai lokal yang kemudian membentuk semacam tradisi Islam yang khas Indonesia. Proses penetrasi nilai-nilai Islam dalam kehidupan masyarakat Nusantara terjadi pada masa-masa awal kedatangan Islam secara penetration pacifique sampai dengan munculnya gerakan pembaruan menimbulkan pola tingkah laku dalam bidang sosial-politik, ekonomi, dan lain sebagainya.[17]

1.   Masuknya Pemikiran Islam
Pemikiran Islam di Indonesia secara historis dimulai sejak Islam masuk, yaitu menurut Hasil Seminar Masuknya Islam di Indonesia pada 1963, disepakati terjadi pada abad 7 M, meskipun dinyatakan sebagai kontak individual.[18] Pada saat itu, Islam yang masuk ke Indonesia sudah bersentuhan dengan budaya Yunani dan Persia. Sejak kerajaan Demak dan Mataram II, Islam berkembang menjadi agama kerajaan, sehingga dapat meluas ke seluruh Indonesia. Setelah kolonialisasi, kehidupan beragama mulai mendapat tekanan. Sebagai bukti adanya tekanan ialah tersisihnya pesantren-pesantren ke luar kota. Hukum Islam hanya bergerak dalam bidang akidah dan ibadah saja, bahkan pemerintah Belanda berusaha untuk mengarahkan mereka pada bidang-bidang tasawuf[19] yang mengarahkan pada pemikiran keakhiratan saja.[20] Keadaan tersebut berlangsung terus hingga lahirnya pemikiran Islam modern di Indonesia yang diprakarsai oleh muballigh dan pelajar setelah mereka kembali menimba ilmu di negeri Belanda maupun Mesir, di mana mereka telah berkenalan dengan pemikir-pemikir Islam yang ada di sana.
Menghadapi aliran modernisasi ini, Kraton Solo cenderung pada sikap apatis yang ditunjukkan oleh Paku Buwono X ketika menerima kedatangan Raden Muhammad Adnan yang khusus dikirim kranton untuk dipersiapkan menjadi kepala penghulu kraton. Ia bertanya kepada Raden Muhammad Adnan—salah satu pencetus berdirinya Universitas Islam Indonesia Yogyakarta pada 1951, kemudian menjadi Rektor Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri Yogyakarta—, “Coba ceritakan, Islam yang kamu peroleh di Timur Tengah”. Setelah Adnan memberikan penjelasan, ia mengatakan: “Lho, kok ora podo karo wulangane Sunan Kalijaga?” (Mengapa tidak sama dengan pelajaran Sunan Kalijaga). Lalu Adnan tidak jadi diangkat kepala penghulu kraton.[21] Sikap apatis Paku Buwono X ini dikarenakan apa yang disampaikan Adnan tentang Islam dalam bentuk pembaruan, berbeda dengan ajaran Sunan Kalijaga yang mengarah pada perenungan (kontemplatif). Penjelasan Adnan adalah hasil pemikiran, bersifat eksoteris, sedang Kraton Solo bersifat esoteris. Pertentangan itu dimanfaatkan pemerintah Belanda untuk memelihara stabilitas kolonialisasinya. Selang beberapa waktu, Adnan diangkat sebagai hakim di Mahkamah Islam Tinggi di Solo, yang melakukan pemeriksaan banding pengadilan-pengadilan agama yang meliputi Hindia Belanda Bagian Barat.
Pemikiran Islam akhirnya berkembang melalui pergerakan-pergerakan Islam modern. Situasi dan kondisi Indonesia saat itu menyebabkan dorongan untuk membebaskan tanah air dari kolonialisme. Inilah yang menjadi cikal-bakal perjuangan kemerdekaan secara progressive. Detik-detik lahirnya Pergerakan Nasional (1908) hingga menjelang kemerdekaan RI, para pelajar Islam Indonesia yang dikirim ke Mesir, ketika itu Islam sudah bersentuhan dengan budaya Renaissance, ikut mematangkan pemikiran Islam di Indonesia, menuju kemerdekaan. Para pemuka Islam berpandangan, perjuangan pertama yang harus dilakukan adalah mengarahkan pemikiran kaum muslim di Indonesia kepada tauhid yang menjadi dasar utama ajaran Islam dan menghilangkan bid’ah, khurafat, dan takhayul yang menggerogoti kemurnian pemikiran dan semangat mereka. Sesuatu yang mencengangkan, Belanda justru mencurigai gerakan-gerakan mutasawwifin yang tersalur dalam tarekat-tarekat kotemplasi karena diduga ingin menyusun kembali kekhalifahan Islam yang telah hilang, sementara organisasi-organisasi Islam yang bergerak dalam pemikiran tetap dibiarkan, karena menurut anggapannya, gerakan mereka yang menentang begitu hebat terhadap pemikiran orthodoks sesuai dengan politik penjajahan adu domba (devide at impera/faariq tasud) dengan tujuan untuk memperkuat otoritas kolonial di Indonesia. Setelah bangsa Indonesia mengetahui siasat Belanda, politik adu domba dihadapi dengan memperkuat kesatuan dan persatuan, bahkan bangsa Indonesia memperoleh pengalaman yang sangat berguna yaitu pengalaman untuk menilai pemikiran yang pantas diterima dan pemikiran yang pantas ditolak. Akhirnya timbul pemikiran Islam yang berimbang dan berkembang secara mantap sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bersemilah gerakan-gerakan Islam yang merealisasikan pemurnian ajaran Islam, pembaruan keorganisasian, merekontruskikan kembali sejarah Nabi Muhammad serta menyusun penafsiran al-Qur’an dan Hadits yang diyakini kebenarannya dari Nabi SAW.
2.   Perkembangan
Dalam sejarah pemikiran Islam berkembang melalui periode sebagai berikut:
1.   Pemikiran Islam murni
2. Pemikiran Islam setelah terjadinya sentuhan dengan pemikiran Yunani, Persia, dan India
3.    Pemikiran Islam setelah bersentuhan dengan Renaisance, dan
4. Pemikiran Islam setelah terjadi sentuhan dengan teknologi dan ilmu pengetahuan modern.
Ditinjau dari detik-detik masuknya Islam ke Indonesia, terlihat bahwa pemikiran Islam yang masuk ke Indonesia telah berbaur dengan pemikiran-pemikiran Persia-India yang menggunakan pandangan esoteris, sebagai perluasan dari prinsip-prinsip yang terdapat dalam agama Islam. Hal ini diperkuat dengan pikiran yang dianut oleh Hamzah Fansuri (w.1590 M) dan Nurudin al Raniri (w. 1658 M), yaitu pemikiran yang lebih mengarah pada Immanensi. Pemikiran serupa itu sangat dekat dengan pemikiran yang berkembang di Indonesia, sehingga pemikiran Islam dapat menghablur pada pemikiran yang berkembang pada waktu itu. Perkembangan pemikiran serupa itu, mengajak manusia memikirkan tentang hakekat dirinya dan hubungannya dengan Maha Pencipta serta mencari jalan bagaimana manusia dapat mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, dengan keyakinan bahwa manusia dapat mendekat bahkan menyatu dengan Sang Pencipta, apabila terjadi asyiq-ma’syuq dalam ma’rifah kepada-Nya. Pemikiran serupa ini berkembang selama hampir dua abad yaitu sejak jatuhnya Kerajaan Majapahit hingga berdirinya Kerajaan Mataram II. Pemikiran secara eksoteris, berkembang di Indonesia setelah terjadinya Revolusi Perancis, orang-orang Indonesia berkenalan dengan budaya Barat, melalui sentuhan budaya dengan Perancis, Inggris, dan Belanda. Pemikiran tersebut dibawa oleh para penganut humanisme dari kalangan Belanda dan melalui surat kabar, datang dari Belanda. Namun demikian pemikiran serupa itu terbatas pada kalangan atas pelajar yang sudah menguasai bahasa Belanda. Pengaruh pemikiran Barat yang berbau rasional itu, menyebar dengan pesatnya di bumi Indonesia setelah banyak dari kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia kembali dari Mesir, di mana terjadi pula revolusi pemikiran yang gelora dan semangatnya dipancarkan juga melalui majalah al-Manar. Perkembangan pemikiran secara eksoteris tersebut dapat berakulturasi dengan pemikiran Islam. Hal itu dimungkinkan karena para penggerak berpaham bahwa pemikiran Islam itu berkembang sesuai dengan waktu dan tempat (salihu likulli zaman wa ma-kan). Yang patut dicatat adalah bahwa alam lintasan sejarah, pemikiran baik secara esoteris maupun eksoteris, berkembang secara bebas tanpa terjadi pengaruh yang menyebabakan polusi di kalangan masyarakat.[22]

Kesimpulan
Islam Nusantara  memang bukan Islam murni yang langsung datang dari Mekah yang hanya berbekal dan berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Islam yang datang ke wilayah ini adalah Islam yang telah penuh dengan pengalaman pergumulan, baik dengan budaya Arab sendiri, dengan kebudayaan tua Persia, termasuk kebudayaan Hindu India, ada pula yang melalui budaya konfusianisme Tiongkok atau Cina. Islam Nusantara pada mulanya lebih dikenal dengan Islam Jawi, kemudian juga disebut Islam Melayu, baru belakangan kemudian disebut sebagai Islam Nusantara. Sebutan Jawi sendiri tidak terbatas wilayah pulau Jawa. Wilayah Jawi meliputi seluruh  Nusantara, Sehingga para ulama dari Ternate, dari Lombok, dari Makasar, Bugis, banjar, Palembang Aceh, Johor hingga Patani termasuk Siam, juga disebut sebagai ulama Jawi. Bentuk keagamaannya juga disebut sebagai Islam Jawi, Islam ini belakangan disebut secara lebih luas sebagai Islam Nusantara
Adapun munculnya variasi frase-frase Islam di Indonesia dan Islam Indonesia bisa membawa konsekuensi tersendiri. Islam Indonesia mengandung arti Islam ala Indonesia, atau bisa juga Islam bergaya Indonesia, atau juga bisa Islam lokal Indonesia. Sementara untuk Islam di Indonesia, maka bisa berartikan orang Islam dengan berbagai dimensi kehidupan yang melekat pada orang Islam itu, seperti sosial, ekonomi, politik, budaya dan sebagainya—dengan beragam tampilannya yang ada di Indonesia. Dalam kondisi inilah Islam masuk di Indonesia yang menyangkut berbagai teori. Ada beberapa teori yang masih debateable tentang masuknya Islam di Indonesia ini, apakah dari Arab, Persia, India (Gujarat dan Bangla), atau China. Namun demikian, jalur Islam awal yang benar adalah berasal dari Bangla, meskipun ada beberapa batu nisan di bagian Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, namun itu (sesudah al-Malik al-Saleh wafat) bukan berarti Islam berasal dari sana.
Pemikiran Islam di Indonesia secara historis dimulai sejak Islam masuk, yaitu menurut Hasil Seminar Masuknya Islam di Indonesia pada 1963, disepakati terjadi pada abad 7 M, meskipun dinyatakan sebagai kontak individual. Pada saat itu, Islam yang masuk ke Indonesia sudah bersentuhan dengan budaya Yunani dan Persia. Sejak kerajaan Demak dan Mataram II, Islam berkembang menjadi agama kerajaan, sehingga dapat meluas ke seluruh Indonesia. Setelah kolonialisasi, kehidupan beragama mulai mendapat tekanan. Sebagai bukti adanya tekanan ialah tersisihnya pesantren-pesantren ke luar kota. Hukum Islam hanya bergerak dalam bidang akidah dan ibadah saja, bahkan pemerintah Belanda berusaha untuk mengarahkan mereka pada bidang-bidang tasawuf yang mengarahkan pada pemikiran keakhiratan saja. Keadaan tersebut berlangsung terus hingga lahirnya pemikiran Islam modern di Indonesia yang diprakarsai oleh muballigh dan pelajar setelah mereka kembali menimba ilmu di negeri Belanda maupun Mesir, di mana mereka telah berkenalan dengan pemikir-pemikir Islam yang ada di sana.
Pemikiran Islam akhirnya berkembang melalui pergerakan-pergerakan Islam modern. Situasi dan kondisi Indonesia saat itu menyebabkan dorongan untuk membebaskan tanah air dari kolonialisme. Inilah yang menjadi cikal-bakal perjuangan kemerdekaan secara progressive. Detik-detik lahirnya Pergerakan Nasional (1908) hingga menjelang kemerdekaan RI, para pelajar Islam Indonesia yang dikirim ke Mesir, ketika itu Islam sudah bersentuhan dengan budaya Renaissance, ikut mematangkan pemikiran Islam di Indonesia, menuju kemerdekaan. Para pemuka Islam berpandangan, perjuangan pertama yang harus dilakukan adalah mengarahkan pemikiran kaum muslim di Indonesia kepada tauhid yang menjadi dasar utama ajaran Islam dan menghilangkan bid’ah, khurafat, dan takhayul yang menggerogoti kemurnian pemikiran dan semangat mereka.
Setelah bangsa Indonesia mengetahui siasat Belanda, politik adu domba dihadapi dengan memperkuat kesatuan dan persatuan, bahkan bangsa Indonesia memperoleh pengalaman yang sangat berguna yaitu pengalaman untuk menilai pemikiran yang pantas diterima dan pemikiran yang pantas ditolak. Akhirnya timbul pemikiran Islam yang berimbang dan berkembang secara mantap sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bersemilah gerakan-gerakan Islam yang merealisasikan pemurnian ajaran Islam, pembaruan keorganisasian, merekontruskikan kembali sejarah Nabi Muhammad serta menyusun penafsiran al-Qur’an dan Hadits yang diyakini kebenarannya dari Nabi SAW.

Daftar Pustaka
Anonim. 2008. Proses Masuknya Islam di Indonesia-Nusantara. Akses dari situs: http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/, Rabu 30 November 2011 Pukul 15.04 wib

Buehler, Michael. 2009. Islam and Democracy in Indonesia. Insight Tuerky. Vol. 11 No.4

Faisol, L. Shohimun & Muhammad Sa’i. 2005. Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dalam Dakwah Islamiyah di Lombak. Jurnal Penelitian Kesilaman. Vol. 1. No. 2. Juni

Hadi W. M, Abdul. 2001. Islam Kultural, Peranannya dalam Masyarakat Madani. Jurnal Universitas Paramadina. Vol. 1 No. 1. September

Haningsih, Sri. 2008. Peran Stategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia. el Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam. Vol. 1. No. 1

Karim, M. Abdul. 2007. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher

_____________. Tanpa tahun. Teori Jalur India Tentang Masuknya Islam di Indonesia (Studi Teori Bangla dan Gujarat). Makalah

Muhsin Z, Mumuh. 2007. Teori Masuknya Islam ke Nusantara: Sebuah Diskusi Ulang. Makalah Sejarah Islam Indonesia. Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, 13 Maret

Mun’im DZ, Abdul. 2010. Islam Nusantara: Antara Prasangka dan Harapan yang Tersisa. Banjarmasin: Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, 1-4 November

Munthoha, dkk. 2002. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta:  UII Press, Cetakan Kedua

Widjan SZ, dkk. Aden. 2007. Pemikiran dan Peradaban Islam. Yogyakarta: Safiria Insania Press



[1] Disampaikan pada perkuliahan Peradaban dan Pemikiran Islam Klasik di Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, Senin 12 Desember 2011
[2] Mumuh Muhsin Z, Teori Masuknya Islam ke Nusantara: Sebuah Diskusi Ulang (Makalah Sejarah Islam Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Jatinangor, 13 Maret 2007), hlm. 1
[3] Abdul Hadi W. M, Islam Kultural, Peranannya dalam Masyarakat Madani (Jurnal Universitas Paramadina Vol. 1 No. 1, September 2001), hlm. 8
[4] Indonesia is the largest Muslim-majority country in the world. Home to approximately 230 million people of which more than 85% follow Islam: Michael Buehler, Islam and Democracy in Indonesia (Insight Tuerky, Vol. 11 No. 4, 2009), hlm. 51
[5] Hadi W. M, Islam Kultural..., hlm. 8-9
[6] Nusantara sebagai sebuah istilah dan sekaligus konsep bukanlah sesuatu yang mengada begitu saja, yang muncul dan sekali jadi, tetapi merupakan sebuah proses becoming terus berkembang dalam proses menjadi, mulai dari peristilahan, muatan maupun dari segi watak dari kenusantaraan itu sendiri. Penamaan terhadap wilayah maritim (wilayah perairan ini) berbeda-beda sepanjang sejarah. Pada awalnya kawasan ini dikenal dengan nama Desantara, kemudian disebut juga sebagai Dipantara, selanjutnya dikenal dengan nama Nusantara. Semua penamaan ini menunjukkan tempat dan kebudayaan yang sama, yang merupakan asal usul dan masa lalu bangsa Indonesia bahkan bangsa Asia Tenggara pada umumnya.
Selama ini konsep antara hanya dipahami secara bilateral yaitu posisi antara Benua Asia dengan Benua Australia. Padahal sesungguhnya antara di situ memiliki makna multi-lateral, makna yang lebih luas setidaknya posisi di antara empat benua bahkan lima benua. Di sebelah utara ada benua Asia, di sebelah selatan ada benua Australia di sebelah Timur ada benua Amerika dan di sebelah Barat ada Benua Afrika. Mengingat kenyataan itu Desantara, Dipantara dan Nusantara bukan kosep bicontinental, tapi benar-benar merupakan konsep intercontinental (antar benua).
Istilah Desantara ini lebih ditunjukkan sebagai konsep geo-kultural, yang berarti desa antar benua. Desa itu yang kemudian berkembang menjadi kota, baik dari segi nama maupun kemajuan peradabannya. Dengan demikian kepulauan ini disebut Desantara dipahami sebagai desa antar benua atau peradaban antara benua. Ini menunjukkan bahwa jauh sebelum datangnya agama Hindu Budha peradaban di sini sudah sangat maju, salah satu sistem falsafah yang disebut Kapitayan, merupakan sistem kebudayaan yang ada sebelum agama datang dan sampai saat ini masih bisa ditemui jejaknya. Memang penduduk kawasan ini telah memiliki peradaban yang maju dan dengan sendirinya memiliki hubungan antar benua dengan kerajaan di berbagai belahan dunia.
Sementara ini konsep Dipantara digunakan terutama pada masa Kerajaan Singasari, yang lebih menempatkan wilayah ini sebagai sebuah geo-politik yang dijadikan sebagai wilayah pertahanan antara benua. Maka tidak aneh kalau angkatan laut kerajaan ini digelar untuk menjaga wilayah laut sejak dari Arafura, Jawa hingga Selat Malaka untuk membendung hegemoni Mongolia yang saat itu menaklukkan seluruh dunia dalam kekuasaannya. Hanya negeri seberang lautan ini (Singasari) di bawah Raja Kertanegara yang mampu membendung ekspansi kaisar Kubilai Khan. Sehingga keutuhan Dipantara terjaga, sebuah wilayah bebas yang terikat dalam fakta pertahanan antar kerajaan yang ada di wilayah ini bisa dipertahankan. Ekspedisi Pamalayu, milsalnya bukan sebuah penaklukan dan pendudukan, tetapi merupakan perwujudan adanya fakta pertahanan bersama ini.
Penamaan Nusantara sendiri dikenal paling awal pada masa pemerintahan Majapahit, yang tertuang dalam beberapa pupuh dalam Kitab Negarakertagama. Istilah Nusantara yang berarti kepulauan antar benua ini lebih merupakan konsep geo-politik dan geo-kultural sekaligus. Berbagai istilah tersebut dengan sendirinya merupakan konsep yang luas dan sekaligus besar, yang selalu menjadi cita-cita para raja Nusantara saat itu. Dalam kenyataannya  konsep tersebut selalu menyertai tokoh-tokoh besar seperti Raja Sanjaya, Mataram Kuno, Raja Kertanegara Singasari, dan Hayam Wuruk serta Gajah Mada di Majapahit. Termasuk Kerajaan Demak dan Sultan Agung zaman Mataram Islam: Abdul Mun’im DZ, Islam Nusantara: Antara Prasangka dan Harapan yang Tersisa (Banjarmasin: Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, 1-4 November 2010), hlm. 869-870
[7] Dalam perkembangan sejarah Islam, munculnya Istilah Nusantara atau Islam Nusantara ini relatif baru, pada mulanya lebih dikenal dengan Islam Jawi, kemudian juga disebut Islam Melayu, baru belakangan kemudian disebut sebagai Islam Nusantara. Sebutan Jawi sendiri tidak terbatas wilayah pulau Jawa, wilayah Jawi meliputi seluruh  Nusantara, Sehingga para ulama dari Ternate, dari Lombok, dari Makasar, Bugis, Banjar, Palembang Aceh, Johor hingga Patani termasuk Siam, juga disebut sebagai ulama Jawi. Bentuk keagamaannya juga disebut sebagai Islam Jawi, Islam ini belakangan disebut secara lebih luas sebagai Islam Nusantara: Abdul Mun’im DZ, Islam Nusantara: Antara Prasangka dan Harapan yang Tersisa (Banjarmasin: Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10, 1-4 November 2010), hlm. 871
[8] Peran pesantren telah lama diakui oleh masyarakat, demikian halnya dengan madrasah dan sekolah Islam misalnya tentang peradaban. Kepiawaian pesantren, madrasah dan sekolah Islam dalam memformulakan pemahaman dan pemikirannya sehingga melahirkan kultur yang mengadabkan manusia adalah potensi riil pesantren, madrasah dan sekolah Islam: Sri Haningsih, Peran Stategis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah Islam di Indonesia (el Tarbawi Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, 2008), hlm. 27
[9] Mun’im DZ, Islam Nusantara…, hlm. 872
[10]Ahmad Syafii Maarif, “Pengantar”, dalam M. Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta, Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 5-6
[11] Muhsin Z, Teori Masuknya…, hlm. 1
[12] Islam sudah menyebar di pesisir utara Jawa dan Sumatera pada akhir abad 14 M yang penyebarannya dimulai pada abad 13 M secara sosial. Sementara untuk penyebaran Islam secara individual kontak budaya, diperkiran sudah berlangsung sejak abad 7 M.  Penyebaran Islam sejak abad 13 M tersebut dilakukan oleh para pedagang yang datang dari Pantai Gujarat, sehingga dari faktor ini dapat dikatakan, Islam yang dibawa para pedagang tersebut adalah agama Islam yang sudah tercampur dengan budaya Parsi dan India yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Syi’ah. Hal ini diperkuat dengan adanya beberapa hasil budaya yang ikut berkembang di Indonesia seperti bedug di masjid yang digunakan sebagai tanda masuknya waktu shalat, mendahului suara adzan, yang terlihat di dusun-dusun atau di kota, tetapi tidak didapati di masjid-masjid yang dibangun oleh gerakan-gerakan pembaruan.
Di Jawa Timur, terdapat upacara sedekah sirr yang dilaksanakan sesudah Isya’ hingga sebelum tengah malam, dengan membaca bacaan tertentu yang tujuannya untuk meminta keselamatan dengan perantaraan Syekh Abdul Qadir Jailani. Ritual semacam ini jelas merupakan pengaruh dari murid-murid Abdul Qadir Jailani yang ada di Pantai Gujarat. Selain itu juga didapati dzikir yang dibaca sesudah adzan hingga menjelang iqomah pada Shalat Maghrib dan Shubuh. Dzikir tersebut disuarakan secara keras bersama-sama dengan lagu-lagu tersendiri, menggunakan bahasa Arab. Anehnya, yang melakukan dzikir tersebut secara de jure (secara hukum) adalah penganut ahli Sunnah wa al-Jama’ah. Mengapa sampai terjadi pembacaan dzikir yang sebenarnya berasal dari para penganut Syi’ah? Entah mereka itu menyadari maknanya atau tidak, yang jelas imam di tiap-tiap jamaah tidak member komentar terhadap pengalamaan dzikir itu: M. Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 42-44
[13] M. Abdul Karim. Tanpa tahun. Teori Jalur India Tentang Masuknya Islam di Indonesia (Studi Teori Bangla dan Gujarat). Makalah, hlm. 2
[14] Debateable terkait masuknya Islam di Indonesia ini dilatarbalakangi karena perbedaan penjelasan tentang “masuk” tersebut. Yaitu apakah (1) dalam artian sentuhan: ada hubungan dan ada pemukiman Muslim, (2) dalam artian sudah berkembang adanya komunitas masyarakat Islam, atau (3) dalam artian sudah berdiri Islamic State (Negara/kerajaan Islam). Keterangan ini dapat diakses selengkapnya di situs: http://sejarawan.wordpress.com/2008/01/21/proses-masuknya-islam-di-indonesia-nusantara/, Rabu 30 November 2011 Pukul 15.04 wib
[15] Karim, Teori Jalur…, hlm. 15
[16] Munthoha, dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam (Yogyakarta:  UII Press, cetakan kedua, 2002), hlm. 101
[17] Aden Widjan SZ, dkk., Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2007), hlm. 106
[18] Karim, Islam Nusantara…, hlm. 56
[19] Tasawuf dalam praktek Islam dapat dimaknai sebagai intensifikasi dan interiorisasi dari semangat keyakinan Islam. Kelahiran ajaran tasawuf ini bersifat koekstensif dengan Islam, dan dipahami sebagai ruh (inti) yang memberi kehidupan aktualisasi Islam itu sendiri. Fokus dari ajaran tasawuf bersumber dari suatu keyakinan tentang Tuhan sebagai Yang Maha Agung (al-Jalal), Yang Maha Indah (al-Jamal) serta Realitas Diri (Zat) yang absolute dan tak terhingga (Misticism of infinity): L. Shohimun Faisol & Muhammad Sa’i, Kontribusi Tarekat Qadiriyah Wa Naqsabandiyah dalam Dakwah Islamiyah di Lombak (Jurnal Penelitian Kesilaman, Vol. 1, No. 2, Juni 2005), hlm. 2
[20] Karim, Islam Nusantara…, hlm. 57
[21] Wawancara M. Abdul Karim dengan Abdul Basid Adnan, 11 Desember 1997 di Solo
[22] Ibid, Karim, Islam Nusantara, hlm. 60-62

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini