Civil Society: Sebuah Konsepsi Yang Kompleks

Oleh Nur Haris Ali
Santri Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia
Mahasiswa Psikologi, Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya UII

                                           
Pendahuluan
Secara umum, dalam makalah ini saya hanya membahas tentang frase civil society dan masyarakat madani. Namun, diantara kedua frase tersebut, saya lebih menfokuskan pada civil society. Yang menjadi persoalan utama dalam makalah ini adalah: apakah konsepsi civil society memiliki kesamaan dengan konsepsi masyarakat madani, atau tidak? Jika iya, seperti apa? dan jika tidak, bagaimana?


Sebagai umpan pancingan, dalam makalah ini saya sependapat dengan civil society bila diartikan sebagai masyarakat sipil. Bukan masyarakat madani. Meski term ini (civil society.red) sangat sering digunakan, namun sepertinya masih belum ada titik temu terkait definisi umum yang bisa sepakati. Ada beberapa pakar yang sudah membedakan, namun juga ada pakar yang menyepadankan. Maka, membicarakan persoalan civil society berarti membicarakan sebuah konsepi yang sangat kompleks, seperti yang diungkapkan Paffenholz dan Spurk (2006), “‘Civil society’ is a complex concept. Although the term is widely used, there is no commonly-agreed definition.”

Sejarah dan Definisi Konsep
Secara harfiah, civil society adalah terjemahan dari istilah Latin, civilis societas. Mula-mula ia dipakai oleh Cicero (106-43 S.M), seorang orator dan pujangga Roma, yang pengertiannya mengacu pada gejala budaya perorangan dan masyarakat (Alatas, 2001). Masyarakat sipil disebutnya sebagai sebuah masyarakat politik (political society) yang memiliki kode hukum sebagai dasar pengaturan hidup (Gunawan, 2007).

Di zaman modern, istilah itu diambil dan dihidupkan kembali oleh John Locke (1632-1704) dan Rousseau (1712-1778) untuk mengungkapkan pemikiran mereka mengenai masyarakat dan politik. Locke umpannya, mendefinisikan masyarakat sipil sebagai “masyarakat politik” (political society). Namun demikian, dalam konsep Locke dan Rousseau belum dikenal pembedaan antara masyarakat sipil dan negara. Karena negara, lebih khusus lagi, pemerintah, adalah merupakan bagian dari salah satu bentuk masyarakat sipil. Bahkan keduanya beranggapan bahwa masyarakat sipil adalah pemerintahan sipil, yang membedakan diri dari masyarakat alami atau keadaan alami (state of nature) (Gunawan, 2007).

Ciri dari suatu masyarakat sipil, selain terdapat tata kehidupan politik yang terikat pada hukum, juga adanya kehidupan ekonomi yang didasarkan pada sistem uang sebagai alat tukar. Selain itu, kemandirian dan kemampuan untuk mengorganisasi diri—mengandaikan suatu keadaan di mana masyarakat memiliki kemampuan untuk mengatur dirinya sendiri, tanpa tergantung pemerintah—juga merupakan ciri lain dari civil society (Gunawan, 2007).

Di Indonesia sendiri, civil society sebetulnya sudah mulai berkembang sejak dekade 70-an bersamaan dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Indonesia. Memasuki dekade 80-an, wacana ini makin merebut perhatian publik. Ini tidak heran, karena pada dekade tersebut, kekuasaan Orde Baru sedang di puncak kejayaannya dengan wacana tunggal yang sangat hegemonik: ditandai penetapan Pancasila sebagai asas tunggal. Itulah sebabnya, wacana civil society ini seolah-olah menjadi alternatif sebagai wacana tandingin untuk kekuasaan Orde Baru (Gunawan, 2007)

Masyarakat sipil (civil society) sebagai sebuah konsepsi, menggambarkan suatu masyarakat yang terdiri dari lembaga-lembaga otonom yang cukup mampu mengimbangi kekuasaan negara. Mereka terdiri atas lembaga swadya masyakat yang mandiri, serikat-serikat pekerja, lembaga-lembaga profesi, perdagangan, badan-badan otonom keagamaan, kelompok mahasiswa, kelompok kebudayaan, dan lembaga lainnya, yang tugasnya adalah untuk mengawasi, meneliti dan menilai kebijakan pemerintah (Alatas, 2001). Dalam konteks ini, mereka juga berhadapan langsung kepada pemerintah untuk mengimbangi kekuasaan negara. Lembaga atau masyarakat itulah yang kemudian diidentikkan dengan masyarakat sipil. Konsep ini, menurut Gunawan (2007) secara jelas ingin memisahkan negara dengan masyarakat. Untuk kemudian meng(k)ontiyukan antara satu dengan yang lainnya demi kesetabilan pemerintah.

Sebagai sebuah istilah, civil society memang masih merupakan perdebatan. Setiap ilmuwan sosial cenderung memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang istilah ini. Craig Calhoun, misalnya, mendefinisikan civil society sebagai ruang sipil di mana orang bisa mengorganisasikan kehidupan sehari-hari mereka tanpa intervensi negara. Nakamura Mitsuo juga memiliki pandangan yang kurang lebih sama ketika dia menyatakan bahwa di luar ragam perbedaan teoritis dalam mendefinisikan civil society, ada dua aspek penting yang mencirikan civil society yang disepakati oleh para ilmuwan sosial, yaitu kehidupan berserikat—yang sifatnya suka rela—dan keadaban atau nilai-nilai keadaban dalam masyarakat (Boy ZTF, 2009)

Untuk mendefinisikan civil society, beberapa tokoh menggambarkan posisi hubungannya dengan beberapa sektor dan kemudian meng(k)aitkan dengan beberapa tingkatan bidang yang ada pada sektor tersebut. Civil society sebagai sektor, maka ia sangat erat kaitannya dengan bisnis, negara, dan keluarga. Sementara civil society sebagai sebuah tingkatan bidang, maka ia memiliki tingkatan dalam keluarga, bisnis dan negara (Paffenholz & Spurk, 2006).


Wacana Civil Society dan Masyarakat Madani
Dalam problematika di Indonesia, wacana civil society lebih bersifat teoriritis, sehingga, tidak sedikit orang yang menyepadankan istilah civil society dengan masyarakat madani. Padahal, isitilah civil society, societas civilis (Romawi) atau koinonia politike (Yunani) dan masyakarakat madani berasal dari dua sistem budaya yang berbeda. Masyakarat madani merujuk pada tradisi Arab-Islam (meski tidak semua Arab pasti Islam), sementara civil society merujuk pada tradisi Barat non-Islam. Perbedaan ini bisa memberikan makna berbeda apabila dikaitkan dengan konteks asal istilah itu muncul (Jainuri, 2000)

Oleh karena itu pemaknaan lain di luar derivasi konteks asalnya akan merusak makna aslinya. Keidaksesuaian pemaknaan ini tidak hanya menimpa kelompok masyarakat yang menjadi sasaran aplikasi konsep tersebut, tetapi juga para interpreter yang akan mengaplikasikannya. Hal lain yang berkaitan dengan perbedaan aplikasi kedua konsep masyarakat ini adalah bahwa civil society telah teruji secara terus-menerus dalam tatanan kehidupan sosial-politik Barat hingga mencapai maknanya yang terakhir, yang turut membidani lahirnya peradaban Barat modern. Sedangkan masyarakat madani seakan merupakan keterputusan konsep ummah yang merujuk pada masyarakat Madinah yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW. 

Perbedaan tersebut timbul dari adanya perbedaan intepretasi tentang apa yang dimaksud dengan masyarakat unggul (al khair al ummah). Ia bisa diartikan sebagai masyarakat sipil, bisa pula negara. Tetapi jika kita kembali kepada pengertian masyarakat madani, yang merupakan pemikiran baru di zaman modern, maka masyarakat madani mencakup masyarakat sipil maupun negara. Masalahnya adalah mana yang dianggap primer dan mana yang sekunder. Hingga sekarang ini, negara (state—konsep civil society)  dipandang sebagai primer, walaupun kenyataannya, masyarakat sipil terlebih dahulu lahir sebelum terbentuknya Negara RI. Tetapi, negara juga mempunyai peranan dalam pembinaan masyakat. Di Indonesia, Negara secara tidak langsung ikut membentuk masyarakat sipil (Gunawan, 2007)

Islam dan Korelasinya dengan Civil Society di Indonesia
Menjelang Perang Dunia II, dipelopori oleh kaum cendekiawan lahirlah organisasi-organsasi keislaman di Indonesia. Boleh dikatakan, kaum cendekiawan bersama-sama dengan ulama, yang sering juga disebut sebagai cendekiawan tradisional, memegang peranan sentral dan  ikut mewarnai pembentukan negara. Merek terpecah pandangannya dalam melihat kedudukan dan peranan agama dalam negara. Di satu pihak, terdapat pendapat yang menghendaki pemisahan agama dan negara, dan di lain pihak, terutama kelompok Islam, menentang sekularisme, mengingat kuatnya unsur keagaman dalam masyarakat, khususnya kaum Muslim, yang pada waktu itu mencakup lebih dari 90% penduduk. (Gunawan, 2007)

Dalam perspektif Islam, civil society lebih mengacu pada penciptaan peradaban. Kata al din, yang umumnya diterjemahkan sebagai agama, berkaitan dengan makna al tamaddun, atau peradaban. Keduanya menyatu ke dalam pengertian al madinah yang arti harfiyahnya adalah kota. Dengan demikian, maka civil society diterjemahkan sebagai “masyarakat madani”, yang mengandung tiga hal, yakni agama, peradaban dan perkotaan (Gunawan, 2007). Di sinilah letak kekompleksitasan dari konsepsi civil society itu sendiri. Artinya, ada yang memahami bahwa civil society itu merupakan pola masyarakat madani yang oleh orang barat disepadankan dengan civil society yang dipandang modern oleh mereka.

Di Indonesia, beberapa waktu lalu terjadi banyak kasus yang menjadi rebutan antara agama dan Negara. UU Pornografi dan Pornoaksi serta peraturan pemerintah tentang poligami adalah di antara contohnya. Di wilayah manakah persoalan seperti pornografi, pornoaksi, dan poligami itu mestinya berada, adalah salah satu pertanyaan yang sering dilontarkan. Sehingga, muncul lagi kemudian sebuah pertanyaan, apakah kasus-kasus tersebut di atas—dan kasus-kasus sejenis—menjadi bagian dari wilayah negarakah atau agama (Burhani, 2009).

Tidak bisa dimungkiri bahwa teori civil society awalnya berkembang di Barat; dan karena itu menerapkan kerangka teoritis ini begitu saja ke dalam konteks masyarakat Islam Indonesia menjadi tidak bijaksana. Kesalahan menerapkan satu ukuran teoritis pada kondisi-kondisi masyarakat yang berbeda inilah, antara lain, yang telah mengarahkan teoritisi Barat untuk melabel masyarakat Islam sebagai tidak sejalan dengan civil society (Boy ZTF, 2009). Ernest Gellner, misalnya, menilai dalam kerangka teoritis Barat tentang masyarakat, keberadaan civil society di kalangan masyarakat muslim adalah sesuatu yang sangat tidak mungkin. Pandangan negatif tentang ketidakmungkinan Islam bersanding dengan civil society ini dikritik oleh Masoud Kamali, bahwa para pemikir Barat ini gagal memahami dua dimensi Islam, yaitu Islam sebagai agama dan sekaligus sebagai teori politik dan sumber legitimasi kekuasaan. Kenyataan kedua ini merupakan fakta yang berlangsung sepanjang sejarah Islam. Menurut Kamali, peran menentukan agama dalam melegitimasi kekuasaan telah menjadikan kelompok ulama sangat berpengaruh dalam masyarakat. Secara historis, ulama memainkan peranan yang sangat penting dalam banyak lembaga sosial, seperti pendidikan, perkawinan, penguburan, pengumpulan dan pembagian pajak, pendataan kekayaan, dan sebagainya. Maka, peran-peran yang dimainkan oleh para ulama inilah yang menjadikan status mereka dalam masyarakat semakin kuat.

Penutup: Civil Society dan Masyarakat Madani, Jelas Beda
Masyarakat sipil yang mewarnai dunia Islam di Indonesia ini merupakan mata rantai sejarah dari Islam itu sendiri. Islam tidak pernah sepi dari peranannya membentuk civil society. Namun demikian, konsep civil society yang dibangun Islam sungguh berbeda dengan konsep civil society yang dibangun oleh dunia Barat. Civil society dalam pandangan Islam tidak memisahkan umat (masyarakat) dari negara. Akan tetapi ia merupakan satu kesatuan yang utuh. Berbeda dengan konsep civil society yang digagas oleh pemikir Barat. Masyarakat diletakkan berseberangan dengan negara. Ia menjadi penyeimbang yang bersifat opisisi dari negara, dengan tujuan sebagai pengontrol kekuasaan negara. Guna menghilangkan kesalahpahaman berbagai pihak tentang adanya civil society—sebagai lawan dari pemerintah—maka yang dimaksud masyarakat sipil di sini adalah masyarakat madani, yakni sebenarnya kedua istilah dan konsepsi ini jelas berbeda. Ia tetap “dipaksa” untuk disamakan asal bisa mengacu untuk menjadi sebuah masyarakat yang etis, progesif, dan menuju kepada terbentuknya peradaban yang unggul.

Referensi
Alatas, Syed Farid. 2001. Islam, Ilmu-ilmu Sosial dan Masyarakat Sipil. (Makalah Simposium Internasional). Jurnal Antropologi Indonesia ke-2, Universitas Andalas, Padang 18-21 Juli

Burhani, Ahmad Najib. 2009. Muhammadiyah sebagai Civil Islam? Suara Muhammadiyah. 2 Januari

Boy ZTF, Pradana. 2009. Muhammadiyah, Memadukan Peran Ulama dan Bazaris. Suara Muhammadiyah. 12 Februari

Gunawan, Hendra. 2007. Islam dan Civil Society: Konsep, Sejarah, dan Perkembangannya di Indonesia (Makalah). Purwokerto: FISIP Universitas Jenderal Soedirman

Jainuri, Achmad. 2000. Agama dan Masyarakat Madani: Rujukan Khusus Tentang Sikap Budaya, Agama dan Politik. Jurnal Al Afkar. Edisi III Tahun ke 2: Juli-Desember

Paffenholz, T. & Spurk, C. 2006. Civil Society, Civic Engagement, and Peacebuilding. Social Development Papers: Conflict Prevention and Reconstruction. Papers No.36 October. Washington DC: The World Bank

---------------
Makalah ini disampaikan pada Perkuliah di Pondok Pesantren UII Yogyakarta,
Minggu, 15 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini