Krisis Pola Asuh Orangtua

Hal positif yang bisa saya dapat dalam krisis seperti ini adalah saya jadi lebih tahu, ternyata fungsi dan pola asuh orangtua itu sangatlah penting untuk perkembangan anak selanjutnya. Saya juga jadi lebih menyadari bahwa dalam hidup ini kita tidak boleh berorientasi pada hasil saja, tapi ada proses panjang yang harus benar-benar kita persiapkan sejak dini, agar, keluarga kita bisa sehat secara batiniah maupun lahiriah. Itu 

Setiap masyarakat, baik masyarakat dalam artian besar maupun masyarakat kecil: keluarga, pasti pernah mengalami sebuah krisis. Belum lagi godaan yang ditawarkan oleh perkembangan peradaban yang bisa mengancam kehidupan keluarga tersebut, terutama anak-anak. Ibarat ungkapan pepatah, tak ada gading yang tak retak, maka pasti, setiap keluarga dan individu khususnya, pernah mengalami krisis. Cuma mungkin, bentuk dan kualitas atau kadar dari krisis itu yang membedakan dari satu keluarga ke keluarga satunya.

Krisis yang sering saya amati dan temukan dalam konteks keluarga adalah krisis pola asuh orang tua. Sering saya mendapatkan ada orang tua yang “kurang tepat” dalam memberikan  pengasuhan kepada anak-anaknya. Misalnya, ada orangtua yang lebih senang memaki-maki anaknya daripada memujinya, seperti “dasar, anak tidak tahu diri, dasar anak bodoh,” dan seterusnya.

Kasus-kasus seperti di atas saya rasa sangat tidak tepat. Seharusnya orangtua bisa lebih lembut dalam berkomunikasi atau bertutur kata kepada anaknya, karena peran orangtua dalam membesarkan dan mengasuh anak, sangatlah penting dan tidak diragukan lagi. Paling tidak, ada dua sebab mengapa orangtua bisa berlaku demikian. Pertama, orangtua belum siap secara emosional untuk menjadi orangtua yang sesungguhnya. Kedua, orang tua tersebut ikut-ikutan gaya pengasuhan yang pernah mereka dapatkan dari orangtua mereka, dahulu.

Saya pernah membaca artikel di medanbisnisdaily.com yang memuat penjelasan Dr. Victor Tinambunan mengenai hal ini. Dijelaskan, bahwa kecerdasan intelektual anak-anak dan generasi muda sekarang ini berada di atas rata-rata orangtua mereka. Namun, kecerdasan emosional mereka rata-rata di bawah tingkat kecerdasan orangtua. Dari pernyataan itu, saya menjadi bertanya, mengapa bisa demikian? Menurut Dr Victor Tinambunan, hal tersebut terjadi akibat kesalahan dalam pola pengasuhan dan penetapan prioritas. Orangtua cenderung ‘mengontrakkan’ pembinaan fisik maupun emosional anak kepada pihak ketiga. Orangtua sering bertindak hanya sebagai penyandang dana dalam urusan pendidikan, perawatan dan pembinaan anak, urusan rekreasi dan model pakaian diserahkan kepada televisi.

Bahkan urusan kerohanian anak pun diserahkan kepada pihak orang lain, misal cukup kepada guru ngajinya saja. Tidak jarang anak menjadi ‘alat’ pencapain orangtua, kata Dr. Victor tersebut. Orangtua merasa harga dirinya terdongkrak jika anak-anak mereka berprestasi dalam pendidikan, juara kelas, juara nyanyi dan lain-lain. Dan untuk mewujudkan hal itu, orangtua cenderung terlalu membebani anak dengan berbagai aktifitas seperti kursus maupun latihan. Bahkan anak-anak terkadang tidak sempat mengembangkan minat dan bakatnya karena waktu mereka terkuras mengejar ‘target’ orangtua. 

Akibatnya, anak sering kehilangan masa bermain dan masa kanak-kanaknya. Mereka tidak mempunyai waktu merayakan hidup. Padahal tugas orangtua adalah memberikan kebahagiaan bagi anak-anakya. Disinilah orangtua harus menyadari peran mereka dalam pembinaan mentalitas, emosional dan karakter anak. Orangtua tidak sekedar penyandang dana, namun orangtua harus menjadi pilar utama dalam pembinaan kecerdasan emosional anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini