Aku melihat Ramadlan yang semakin jauh…Lalu ku sapa ia, “Hendak kemana?”. Dengan lembut ia berkata, “Aku harus pergi, mungkin jauh dan sangat lama. Tolong sampaikan pesanku untuk orang bernama MUKMIN: Syawwal akan tiba sebentar lagi, ajaklah SABAR untuk menemani hari-hari dukanya, peluklah ISTIQOMAH saat dia kelelahan dalam perjalanan TAQWA, bersandarlah pada TAWADLU’ saat kesombongan menyerang, dan mintalah nasehat QUR’AN & SUNNAH di setipa masalah yang dihadapi…Sampaikan pula salam dan terima kasihku untuknya, karena telah menyambutku dengan suka cita. Kelak, akan ku sambut di SYURGA dari pintu AR-RAYYAAN.
***
Kalimat-kalimat di atas adalah kiriman SMS dari sahabat lama saya yang kini menjadi pengurus Pondok Pesantren Hidayatul Mubatadiien. Jujur, baru kali ini saya membaca SMS yang bisa membikin saya ketir-ketir. Ketir-ketir bercampur rasa takut, “Ya Allah…jangan-jangan, ini adalah Ramadlan terakhirku?” dalam hati terus berujar demikian, bahkan ketika menulis tulisan ini.
Jujur, justru di detik-detik Ramadlan kali ini, saya malah merasakan ni’matnya bulan Ramadlan di tahun ini. Sholat pun berasa lebih khusu’. Ditambah imam di sholat tarawih semalam, yang memang benar-benar meneteskan air mata. Dalam hati pun bisa merasakan, “bahwa kami belum siap Ya Rabb, untuk ditinggalkan oleh bulan yang di dalamnya pasti dilipat gandakan setiap amal perbuatan baik.”
Maka wajar pula, saya dan anggota keluarga saya di rumah, bila harus ber- ‘Idul Fithri 1 Syawwal pada hari ini, Selasa (30/8). Tadi malam pun, abah langsung bilang ke saya, “ojo ke Mushola disik, Le. Lek ngimami rodo’ engko wae.” (Jangan ke Mushola dulu, Nak. Menjadi imam sholatnya—maksudnya, biar muadzin tak segera iqomah sholat—agak nanti saja). “Sik ngenteni rapat Isbath kilo,” (kita tunggu keputusan rapat Isbath dulu). Kata abah melanjutkan, sambil masih menyimak siaran televise terkait sidang Isbath penentuan 1 Syawwal 1432 H.
Memang, tradisi keluarga saya, biasa mengikuti keputusan pemerintah dari pada keputusan ormas tertentu, meski tempat kuliah saya di Jogjakarta. Saya lebih memilih ikut yang mayoritas dan ulil amri saja. Maka wajar, setiap kali ada sahabat yang tanya ke saya, “Ris, situ (tempatmu.red) udah takbir?” maka saya jawab, “Belum, kawan. Masih nunggu rapat Isbath di TV. Sebaiknya itba’ ila ulil amri faqot, njjeh…”
Antara Ramadlan dan Syawwal, pilih mana?
Pertanyaan ini, bagi saya, termasuk pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Kalau boleh memilih dengan jujur, maka saya akan mengatakan selantang-lantangnya, “Saya pilih Ramadlan!”. Saya takut, jangan-jangan ini Ramadlan terakhir bagi saya. Baru kemarin sepertinya Allah memberikan tiket VVIP untuk bisa masuk dan merasakan “ruang” penuh barokah, penuh rahmat, penuh ni’mat dan maghfirah bernama Ramadlan.
Saya masih ingat betul, ceramah yang disampaikan ustadz Mohammad Roy, ketika beliau sampaikan di masjid Pesantren UII: “Andaikata umat Muhammad ini tahu akan keagungan bulan Ramadlan, maka sepanjang tahun, mereka akan minta kepada Allah, untuk menjadikan bulan-bulan lain, seperti bulan Ramadlan.” Tapi sebentar lagi? Maasyaaa Allaaah…dalam benak masih terus berujar, “Gusti….nopo poso kulo selama Ramadlan niki saget Panjenengan tampi?” (Ya Allah…apakah puasaku selama Ramadlan ini bisa Engkau terima?). “Gusti...nopo kulo saget kepanggihan malih kalian Ramadlan tahun ngajeng?” (Ya Allah, apakah saya bisa bertemu lagi dengan bulan Ramadlan tahun depan?).
Ya AllaaH…Tuhanku Yang Maha Mendengar segala macam rintihan….
Tetesan air mata ini adalah saksi bahwa kami tak ingin berpisah dengan Ramadlan-Mu, Ya Rabb. Bahwa kami tak ingin kehilangan setiap rahmat dan berkah-Mu, di bulan mulia-Mu ini..
Ya AllaaH...Tuhan pemilik dan pencipta skenario dari semua skenario kehidupan…
Jangan jadikan Ramadlan tahun ini sebagai Ramdlan terkahir bagi kami, Ya Rabb. Izinkan kami bisa bertemu lagi dengan bulan penuh lipat ganda pahala dari setiap amal baik umat-Mu ini, Ya Rabb.
Ya Allah…Tuhan pemilik kasih dan sayang…
Izinkan kami bisa bercumbu rayu dengan barookah dan ni’mah setiap kali kami menyegerakan buka puasa dan mengakhirkan sahur, Ya Rabb. Izinkan kami untuk bisa menikmati undangan VVIP-Mu lagi dari secuil rahmat yang Engkau berikan ini, Ya Rabb.
Rabbanaa taqobbal minna shiyaamanaa, wa duu’aa-anaa, wa sholaatanaa, wajamii’a a’maalinaa, wa ballighnaa Ramaadlaan, Ya Allaah, ballighnaa Ramaadlaan, ballighnaa Ramaadlaan fi kulli sanah… Aaamiin…aamiin…aamiin..
.: Atas nama pribadi :.
Saya Nur Haris Ali, mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1432 H (bagi yang merayakan hari ini, Selasa, 30/8). Semoga puasa Ramadlan kita diterima Allah subhaanhuwata 'aala dan kita dipertemukan kembali dengan bulan mulia-Nya ini, di tahun berikutnya. Aamiin...
Sepakat sm Ms Haris, saya juga kemarin pilih puasa (istiqmal), biar ibadahnya bisa lebih lagi.. Saya pun takut (setelah mendengar ceramah tempo hari), ini Ramadhan terakhir saya.. Semoga tahun depan masih bisa ketemu lagi, amien..
BalasHapusTapi terus terang yg menurut saya ganjil, kok bisa ya Indonesia begitu dlm mengambil keputusan.. Di negara Arab lainnya sepertinya serempak, tapi kok kita tidak.. Seperti ada yg tidak beres gitu.. However, tetap masih pengen ketemu Ramadhan lagi tahun depan, hehe..