Yai, Dalem Kangen: Mengenal Sosok KH. Ali Shodiq Umman # (Part 3)


Hadlorotusy Syaikh KH. Ali Shodiq Umman
Sewaktu beliau, Ali Shodiq, masih nyantri di Pesantren Jampes, Kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau, Mbah Urip, untuk mendirikan sebuah langgar (mushola.red) kecil di rumahnya, yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-Ngunut).

Dari Lirboyo Menuju ke Pelaminan
Menurut Mbah K.H Ihsan (Pengasuh Pondok Pesantren Abul Faidl, Bakalan, Wonodadi, Blitar) setelah K.H Ihsan Jampes wafat sekitar tahun 1952, Ali Shodiq pindah ke Pesantren Lirboyo yang waktu itu masih diasuh oleh K.H Abdul Karim. Waktu Ali Shodiq mondok di sinilah, ada peristiwa yang penting, yakni sekitar tahun 1958, ada seorang Kyai dari Mbaran, Kediri, K.H Umar Sufyan yang mencari beliau untuk dinikahkan.

Ali Shodiq waktu itu, karena sami’na wa ‘atho’na dengan guru, beliau mau saja untuk dijodohkan. Tak disangka, rupanya beliau dijodohkan oleh putri kandung dari KH. Umar Sufyan sendiri, yakni Auliyah (setelah ibadah haji di ganti menjadi Hj.Siti Fatimatuzzahro'). Padahal, Auliyah ini, waktu itu masih berumur 7 tahun. Namun, akad nikahpun akhirnya tetap dilaksanakan secara sederhana.

Hari bahagia nan penuh berkah, akad nikah seorang calon kyai dengan putri seorang kyai pun berlangsung jua. Dengan diantar beberapa santri Lirboyo, beliau berangkat dari Pondok Pesantren (ponpes) Lirboyo menuju Mbaran, Kediri.

Ali Shodiq, Santri Yang Tekun
Di mata kawan sesama santri, termasuk KH. Mushtofa Bisri (Gus Mus), Ali Shodiq muda dikenal sebagai santri yang tekun, cerdas dan sangat ta'dzim (hormat) kepada guru-guru beliau. Hingga beliau menjadi Kyai kharismatik di wilayah Tulungagung pun, beliau masih ta'dzim kepada dzuhrriyah (keluarga.red) guru-gurunya. Meski mereka sudah berada di alam kubur, namun Ali Shodiq bahkan ketika sowan-ziyarah ke makam guru-guru beliau pun, selalu melepas sandal dan berjalan jongkok.

Ali Shodiq juga dikenal ketika setiap kali mbalah (mengaji kitab.red) selalu mencari waktu yang tidak bersamaan dengan qori' atau pengkaji yang lain, yaitu di atas jam 12.00 malam. Bertempat di panggung lama atau di Al-Ikhwan (nama tempat. red). Beliau tahu betul, jika pengajian dilakukan secara bersamaan, maka qori’ yang lain akan sepi pengikut.

Ali Shodiq juga di kenal sebagai Ahli Tahqiq, sebab setiap kali akan mbalah, jika belum memahami apa yang akan dikaji, beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampai faham betul terhadap hal-hal yang akan dikaji oleh beliau tersebut. Juga, beliau sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya selalu baru.

Menurut Pak Ghufron, salah seorang teman sekaligus santri beliau, ketekunan Ali Shodiq ini sulit digambarkan, sehingga tidak pernah diketahui kapan beliau tidur. Seakan-akan waktu hanya dicurahkan untuk mathala'ah  (belajar.red) yang bahkan beliau sering ketiduran dalam keadaan mathala'ah tersebut.

Kesibukan Ali Shodiq selain mbalah, beliau juga menyoroki (mengajarkan membaca.red) Al Qur'an kepada para santri-santrinya. Cukup sederhana, beliau menyoroki hanya bertempat di kamar beliau sehabis jama'ah maghrib sampai lonceng sekolah malam berbunyi.

Hari-hari senantiasa beliau dilewati dengan berpuasa. Dan beliau juga seorang qona'ah, terbukti dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang disajikan oleh juru masak beliau. Sampai-sampai dalam akivitas sehari-seharinya, beliau memakai bengkungan di perut yang sangat kencang, dikarenakan sedikitnya makan, meski menurut beliau, ia sering juga diberi uang saku oleh keluarga.

Satu hal lagi yang menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ‘ilmi adalah meski beliau sudah menikah, tapi beliau tetap mukim di ponpes Lirboyo, sebab di samping untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran, beliau masih diperlukan di sana. Ali Shodiq bahkan pernah menjadi kepala Ponpes Lirboyo, waktu itu. Hanya saja, jika memasuki bulan Ramadlan, beliau mengadakan pengajian pasan di Mbaran, Kediri, rumah mertua beliau.

Sekitar tahun 1958, pengajian pasan pertama yang diadakan di Mbaran diikuti oleh 7 orang santri Lirboyo. Dan pada tahun berikutnya, diikuti oleh 40 santri. Hal ini berlangsung selama beberapa tahun hingga tahun 1966. Selama itu pula, beliau telah menamatkan kitab Sirojut Tholibin buah karya K.H Ihsan Jampes, Kediri, yang merupakan guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning lain karya ulama terkenal lainya.

Ada fakta menarik, yaitu beliau, Ali Shodiq Umman, karena sangking sukanya akan ilmu dan baca kitab kuning, beliau pernah membaca kitab Muhadzdzab, yang khatamnya jatuh bertepatan pada tanggal 1 Syawal, pukul 1 siang.

Mendirikan Pondok Pesantren
Pada tahun 1967, Ali Shodiq Umman dengan berat hati pindah ke Ngunut, Tulungagung, meninggalkan Mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di Lirboyo, yakni K.H Marzuqi Dahlan dan K.H Mahrus Ali. Waktu itu, guru beliau itu meminta agar Ali Shodiq mengembangkan ilmunya dan mendidik langsung masyarakat Ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran Islam (abangan).

Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiine Ngunut (PPHM-Ngunut)

Pada masa perintisan aktivitas dakwah, Ali Shodiq dipusatkan di sebuah langgar  (mushola.red) kecil yang telah didirikan Pak Tabut—Langgar  ini kemudian dijadikan pesantren Ngunut. Di samping itu, Ali Shodiq juga ikut mengajar di PGA Ngunut (sekarang berubah nama menjadi SMP Negeri 1 Ngunut).

Tantangan dan rintangan datang silih berganti, terutama dari masyarakat sekitar yang masih buta agama. Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik atau rohani (seperti jengges dan santet) tak henti-henti berdatangan. Tetapi dengan penuh kesabaran, beliau Ali Shodiq, tetap menyiarkan agama Allah.

Bukti kesabaran beliau terlintas dalam sebuah kejadian. Waktu itu, pesantren Ngunut sedang mengadakan sebuah acara. Acara itu dihadiri langsung oleh guru beliau, KH. Mahrus Ali Lirboyo. Kejadian itu bermula saat guru beliau, KH. Mahrus Ali, sedang berkenan ke kamar kecil. Ketika melintas, menuju ke kamar kecil, Mbah KH. Mahrus Ali melihat masyarakat di sekitar pesantren Ngunut banyak yang mengganggu acara tersebut. Mereka mengusik dengan santet, mengganggu jalannya pengajian para santri, lantas kemudian, Mbah KH. Mahrus Ali berkata.

“Mbok dihizib nashor wae, ben ndang bar.” (Sebaiknya di-hizib nashor—semacam didoa-wiridkan—agar mereka tidak mengganggu lagi).

Namun, apa jawab Ali Shodiq?...Bersambung di Part 4

1 komentar:

  1. Mau nonton rekaman Group Sholawat Abul Faidl?, mau nostalgia, mengingat masa lalu, mau mendengarkan sholawat merdu enak silahkan kunjungi Nurul Huda

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini