Niat ingin nonton ini sudah jauh-jauh hari saya pendam sebelum keberangkatan saya ke Semarang, acara Psychobate 2011 dan sebelum Ujian Akhir Semester (UAS) tahun ini. Alhamdullillah, meski tidak sesuai rencana, keinginan saya untuk nonton pun ter-turuti. Awalnya sih, ingin tonton film Kentut—denger-dengar katanya bagus. Tapi, setelah melihat tlailer-nya, saya kok jadi memilih film Serdadu Kumbang ya daripada film Kentut yang diperankan Dedy Miswar itu. Apa pasal? Ini dia alasannya…
Serdadu Kumbang: Film Pendidikan, Cita-cita dan Karakter.
Film ini diambil dari beberapa kisah nyata ber-setting pendidikan, karakter dan cita-cita anak bangsa. Dengan disutradari oleh Ari Sihasale, film ini mengambil lokasi di daerah Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ceritanya ada tiga anak berusia sekolah dasar, yaitu Amek, Umbe, dan Acan yang berusaha keras ingin merintis cita-cita mereka meski dengan berbagai keterbatasan yang mereka miliki.
Kisah nyatanya berangkat dari pengalaman tahun lalu yang hampir seluruh siswa-siswa Indonesia tidak lulus Ujian Nasional (UN). Berbekal dari pengalaman itu, guru-guru di sekolah tiga anak itu semakin memperketat sistem belajar dan mengajar. Setiap ada siswa yang datang terlambat ke sekolah selalu dihukum oleh Pak Alim, guru dalam kisah di film itu. Push-up, shit-up, mengelilingi lapangan dan jenis-jenis hukuman fisik lainnya dipercaya mampu memberikan kedisplinan bagi siswa-siswa di sekolah ini. Alasannya satu: siapa yang tidak mematuhi peraturan, maka ia harus dihukum. Dengan hukuman-hukuman seperti itu, maka diharapkan tahun depan, siswa-siswa di sekolah itu bisa lulus UN 100 %.
Sementara itu, si tokoh utama, Amek, merupakan salah satu murid dari sekian banyak murid di sekolah itu yang tidak lulus UN tahun lalu. Sebenarnya Amek adalah anak yang baik, tapi sifatnya yang introvert, keras hati dan cenderung suka jahil, membuat ia sering dihukum oleh guru-gurunya di sekolah. Setiap kali ditanya cita-cita, Amek tidak mau menjawab, bahkan oleh gurunya sendiri. Ia semakin malu dengan keterbatasan bibir sumbing yang dimilikinya sehingga menjadi bahan lelucon bagi teman-temannya. Namun di balik kekurangan yang dimilikinya itu, Tuhan memberikan Amek banyak kelebihan, salah satunya ia mahir berkuda.
Amek tidak sendirian, ia hidup di sebuah desa bernama Mantar yang terletak dipuncak bukit, jauh dari perkotaan bersama anggota keluarga yang lengkap. Ibunya bernama Siti dan ayahnya bernama Zakaria yang sudah tiga tahun tidak pulang-pulang apalagi mengirimi uang dari hasil perantauannya. Semua anggota keluarga menginginkan Amek menjadi orang yang baik dan punya cita-cita. Lebih-lebih kakaknya, Minun, yang sangat menyayangi Amek. Minun yang kini duduk di bangku SMP dan sering menjuarai lomba matematika sekabupaten itu menginginkan Amek bisa tumbuh besar dan mandiri. Tak henti-hentinya Minum terus memacu Amek agar bisa lulus UN di tahun berikutnya. Minun kemudian menjelma menjadi malaikat tersendiri bagi Amek ketika kuda kesayangan Amek kembali dari tangan Ruslan karena kecerobohan ayah Amek. Minun adalah kakak terbaik yang pernah dimiliki Amek. Sederet piala dan sertifikat berjejer di ruang tamu rumah mereka. Namun sayang, Minun yang juga menjadi ikon sekolah, malaikat bagi Amek, kebanggaan keluarga dan masyarakat di kampung itu harus meninggalkan Amek selama-lamanya.
Beberapa hal yang bisa saya petik dari film ini adalah. Pertama, ia mengenalkan daerah lain di Indonesia yang kini belum terjamah, yaitu Sumbawa. Tak kalah dengan film Laskar Pelangi yang mengenalkan indahnya pulau Belitong, dalam film Serdadu Kumbag ini, penonton akan dikenalkan oleh keindahan bumi Sumbawa yang merupakan penghasil susu kuda liar.
Kedua, jika dilihat memakai kacamata educational psychology, maka kita akan menemukan adanya pendidikan karakter yang ditanamkan oleh tokoh-tokoh pembantu dalam film itu. Seperti halnya, kejujuran, empati, dan tidak mengumbar kesombongan, karakter-karakter semacam itu akan kita temukan di film ini.
Ketiga, bagi saya, film ini mampu menyuguhkan potret sistem pendidikan Indonesia yang kini memang harus masih dibenahi. Penegakan kedisiplinan tidak harus dengan memberikan hukuman fisik pada siswa-siswa peserta didik. Tapi bagaimanakah memacu mereka untuk bisa belajar lebih serius dan mengasyikkan agar mereka bisa lulus UN tahun depan. Selain, setiap guru pun juga harus memahami perkembangan psikologis di setiap anak didiknya.
Meski ada sedikit miss dalam film yang juga diproduseri oleh Ari Sihasale ini—seperti tokoh Minun, yang harusnya bisa dieksplor lebih dalam—namun bagi saya, film Serdadu Kumbang ini bisa menjadi alternatif referensi untuk menanamkan value-value pada anak-anak bangsa dan orang tua di tanah air ini bahwa: yang namanya semangat belajar untuk meraih cita-cita, itu harus tetap digaungkan dan terus ada. Meski dalam keadaan apapun, meski dalam keterbatasan apapun. Selamat menyaksikan! [Haris]
Note:
*Saya masih penasaran dengan dua film yang belum sempat saya tonton: Kentut dan Merah Putih III. Ada yang mau ngajak saya nonton satu dari dua film itu? hee..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini