Yai, Dalem Kangen: Mengenal Sosok KH. Ali Shodiq Umman # (Part 1)



Jujur, saya akhir-akhir ini sedang dilanda rindu oleh seseorang. Seseorang yang dimata saya, ia sangat berharga bagi saya. Ia telah menginspirasi saya. Melalui ia saya bisa seperti sekarang, bisa sedikit mengaji, bisa sedikit ngerti ilmu agama, bisa sedikit baca kitab kuning, bisa sedikit baca Al Qur'an dan bisa sedikit memimpin tahlil. Dan yang paling excited—setidaknya  bagi saya sendiri—bisa lolos buat baca kitab kuning untuk masuk Universitas Islam Indonesia (UII) melalui scholarship full study program Mahasiswa Unggulan (MU) tahun 2008 lalu.

Meski tak diajarkan langsung oleh beliau, tapi saya merasakan betul, bahwa ini semua adalah buah didik beliau pada santri-santri beliau dulu, hingga sekarang santri-santri beliau mengajarkannya kepada saya. Menjadi ustadz saya. Gara-gara itu pula saya pun akhirnya bisa menjuarai pertama untuk lomba baca kitab kuning kitab tafsir Jalalin, tingkat wustho (menengah), se-Kabupaten Tulungagung. Bisa lolos Musabaqoh Syarkhil Qur’an (MSQ) pada MTQ tingkat kabupaten dan bertanding di MTQ tingkat propinsi Jawa Timur 2008 lalu. Semuanya itu, secara tak langsung, saya yakini karena adanya ilmu berkah, yang Allah berikan kepada beliau, Hadorotus Syaikh Romo Yai Ali Shodiq Umman, yang kemudian diajarkan kepada santri-santrinya hingga menurun kepada saya. 

Saya baru sadar, sudah 3 kali peringatan Haul beliau saya absen. Absen pertama karena saya waktu itu masih di Pare, Kediri, ujian TOEFL untuk kuliah UII dan seleksi program MU. Absen kedua karena waktu itu saya masih ada kompetisi di Bandung, dan absen ketiga, karena waktu itu saya masih harus mengasistensi dosen saya yang sedang S3 di Leipzig University Jerman, dan melalukan penelitian di Indonesia.

Hari ini, detik ini, saya merasakan betul bahwa rasa rindu ini sudah hampir meledak. Sudah sangat membuncah. Kangen sama beliau, ingin berkunjung ke makam beliau. Ingin tahlil untuk beliau. Aku ingin mendekat di makam beliau. Ya Allah.....hamba kangen beliau.....!!.

Apakah ini yang kemudian menyebabkan nama Ali, diakhir nama saya, menjadi perantara adanya semacam titik resonansi diantara kami?

Cerita abah tujuah tahun silam, yang waktu itu pernah bilang kepadaku waktu aku mau pindah dari SMP Islam Sunan Gunung Jati—Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut, untuk studi SMA.

“Le, onone jeneng Ali neng akhire jenengmu kuwi, mbiyen, abah pengen awakmu iso koyo mbah Yai Ali. Abah remen karo mbah Yai Ali.” (Nak, adanya nama Ali di akhir namamu itu, itu karena abah ingin kamu bisa seperti mbah Yai Ali. Abah suka dengan Mbah Yai Ali)

Huffh…(tarik nafas dalam, hembuskan….)

Baiklah, sepertinya, aku harus membaca lagi biografi singkat beliau. Aku ingin menuliskannya di sini. Aku ingin mengenang, membayangkan, dan merasakan kehadiran beliau di sini. Di ruang ini.  

Abah Yai, dalem kangeeen! :’(

Ilaa hadloroti habiibina, wa syafi’ina, sayyidinaa wamaulaana muhammdin salllahu ‘alaihi wassalam, wa ilaa jami’il ambiya’ wal mursalin, wa jami’il auliya’i wasshoolihin, wa ilaa jami’i masyaaaikhinaa, khususon Syaikh Ali Shodiq Umman, wa ilal abi wal ummi, wa jami’i ustadiii….syai ulillahi lana…walahumul faaaatihaaah……

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini