Sahabat, Motivasi, Mimpi, Kebersamaan, dan Skenario Tuhan

Tulisan ini adalah bingkain uraian uneg-uneg saya. Uneg-uneg perspektif saya. Tentang sebuah persahabatan, sebuah motivasi, sebuah mimpi, sebuah kebersamaan dan....
sebuah skenario Tuhan.

Oleh Nur Haris Ali

Kalau boleh bicara idealisme, maka bagi saya, bisa kumpul dengan orang-orang yang expert di bidangnya itu adalah sebuah kebanggaan tersendiri. Sebuah opportunty tersendiri. Karenanya maka orang lain bisa maju. Karenanya maka orang lain bisa termotivasi, juga karenanya orang lain bisa merasakan suasana baru. Dan karenanyalah, orang lain bisa terinspirasi dan bergerak untuk tak berhenti melangkah.

Siang hari ini, Sabtu (25/6), dengan sengaja saya mengikuti acara seminar bertajuk "Dari Jogja untuk Indonesia" yang rencana awalnya mau diisi oleh Prof. Dr. Amien Rais.  Dilanjutkan kemudian di session keduanya, acara roadshow Parlemen Muda Indonesia (Youth Parliament Indonesia)—Parlemen Muda adalah sebuah sidang parlemen bagi pemuda di Indonesia yang tidak hanya mempertemukan 33-66 pemuda dari seluruh Indonesia, tetapi juga memfasilitasi konferensi tahunan supaya mereka dapat saling bertukar pikiran mengenai isu-isu penting di tanah air ini.

Jujur, meski pembicara pertama, Prof. Dr. Amien Rais, tak jadi hadir pada acara seminar yang digelar di FISIPOL UGM itu, yang penting apa yang saya inginkan dari mengikuti acara itu telah tercapai. Bagi saya, tak masalah Prof. Dr. Amien Rais berhalangan hadir karena harus ke Jakarta 5 menit sebelum acara dimulai. Pun tak masalah—seperti tadi—acara Seminar “Dari Jogja untuk Indonesia” ditiadakan. Tapi sekali lagi, bagi saya, yang penting saya bisa ketemu dengan sosok yang satu ini, inspirator anak muda Indonesia, Direktur Program Parlemen Muda yang juga pendiri Indonesian Future Leaders (IFL).

Adalah Muhammad Iman Usman, sosok anak muda yang menjadi jawaban atas pertanyaan, mengapa saya ikut acara roadshow Parlemen Muda Indonesia siang itu. Awalnya, saya kurang begitu mengenal siapa sosok anak muda satu ini. Waktu itu, saya diceritakan kawan saya, Yasser Azka (peserta AFS JENESYS 2007, student exchange ke Jepang), bahwa ia punya sahabat yang dulu pernah sama-sama ikut student exchange ke Jepang dengannya, telah mendapatkan penghargaan dari UNESCO.

Sekarang dia di UI, Mas, kata Yaser waktu itu. Orangnya emang total mas, kalau kerja. Yaser menambahi.

Yah, hari berlalu begitu saja. Dan saya tidak lagi tahu apalagi sampai mengingat persis, apa yang pernah diceritakan Yaser Azka, kawan yang kini dapat Scholarship Full Study Program for Outstanding Students di UII bersama saya itu.

Namun, hari ini, detik ini, memori saya berputar mencoba-coba mengigat cerita itu setelah siang hari ini saya bertemu dengan Iman Usman. Nama anak muda itu kembali mencuat—paling tidak, demikian menurut saya. Lebih-lebih saat ia, Muhammad Iman Usman, menggantikan sosok Alanda Kariza buat jadi keynote speech di acara Leader Future Summit (FLS) 2011, yang diadakan 22 Mei lalu di Undip Semarang. Sejak saat itulah saya jadi lebih sering tahu mahasiswa Hubungan Internasional UI itu di mana-mana. Saya jadi lebih tahu, siapa Iman Usman ini sebenarnya. Bahkan, kalau saya boleh jujur lagi, setelah membaca profilnya di website http://futureleadersummit.wordpress.com/keynote-speaker/, ada perasaan iri tersendiri bagi saya. Rasa salut, kagum, bertanya-tanya pun ikut hadir dalam hati saya. Sampai-sampai muncul perasaan “tidak terima,” kok bisa-bisanya, sosok Alanda Kariza—yang saya tahu ceritanya di situs http://alandakariza.com/ibu/ tentang cita-cita dan Ibunya telah banyak membikin hati publik trenyuh dan membikin kita semua bertanya-tanya tentang makna keadilan di negeri ini—kemudian digantikan oleh seorang remaja, usia 19 tahun yang diketahui kemudian pernah penerima penghargaan Pemimpin Muda Indonesia 2008, Ashoka Young Changemaker Award 2010, penerima penghargaan 1 dari 10 anak di dunia UN Youth Achiever Recognition Award dari PBB, British Council’s Global Changemaker 2010, Global Teen Leaders 2011. Dan Baru-baru ini, pemilik website pribadi http://imanusman.com/ itu dikabarkan menerima beasiswa 5 minggu full scholarship untuk Winter Course Program, Study of US for Student Leaders on Religious Pluralism on USA. Sederet penghargaan membanggakan telah diraih anak muda ini!

Setelah saya baca profilnya, dalam hati saya bergumam: Oh, ya pantas. Sudah sejak usia 10 tahun Iman meniti passion-nya di bidang sosial. Kini ia pun mampu memetik jeri payahnya. Kalau sudah begini, maka Indonesia harus berbangga punya generasi muda semacam Iman Usman ini. Indonesia harus bangga!

Dunia ini memang sempit: Dari Iman Usman Ke Indah Gilang

Ah, lagi-lagi kehidupan itu penuh dengan skenario Tuhan. Penuh dengan rahasia Tuhan. Apakah ini sebuah kebetulan?

Saya pikir bukan!

Iman Usman, yang belum lama saya kenal lewat kiprahnya di dunia pemuda dan bidang sosial itu, rupanya adalah kawan sekelasnya kawan saya: Indah Gilang Pusparani.

Indah Gilang? Siapa lagi tu?

Saya mengenal Indah Gilang Januari lalu. Lewat situs jejaring sosial facebook.  Awalnya, saya yang meng-add dia. Karena saya tahu di salah satu group International Event, satu-satunya nama yang muncul dari Indonesia adalah dirinya. Lalu pertemanan diantara kami pun terjalin, hingga detik ini.

Indah Gilang bagi saya juga merupakan anak muda inspiratif yang masih dan akan terus dimiliki Indonesia. Ia pernah mengharumkan nama Indonesia di ajang Harvard World Model United Nations (World MUN) 2011, Singapore pada 14-18 Maret 2011 lalu. Dari ajang itu, Ia mendapatkan penghargaan “Best Diplomacy Award". Mengalahkan 2.255 delegasi 266 universitas  dari seluruh dunia yang dibagi ke dalam 23 komite.

Tak berhenti sampai di situ. Indah lagi-lagi mengejutkan saya sekaligus memacu motivasi saya untuk lebih mendekatkan diri pada mimpi-mimpi saya. Di tahun yang sama, selain penghargaan Best Diplomacy Award, Ia, Indah, juga lolos untuk program Study in United States Institute for Student Leaders (SUSI) 2011, Summer Programs, di Ball State University, Muncie, Indiana, United States of America.

You know what? Indah dikabari tentang lulusnya beasiswa ini dari US Embassy, sehari sebelum keberangkatan Indah ke Singapura untuk Harvard World MUN dan Indah lagi beres-beres berkas untuk beasiswa exchange ke National University of Singapore. Haaaa….lemes. Ga bisa ngomong, ga masuk kuliah, mandi, solat, baru nangis pas telepon orang tua di rumah.” Ceritanya waktu saya dimintanya membuka web pribadinya http://pusparaniology.wordpress.com/.

Kapan ia berangkat USA?

Sekarang!

Waktu saya menulis tulisan ini, sahabat super saya itu sedang dalam pesawat, perjalanan menuju Amrik. Tepatnya, sekitar jam 8 malam ini tadi ia terbang. Selama kurang lebih  5 minggu, ia akan belajar di negara Raden Kang Mas Obama itu.

Lagi-lagi saya pun harus mengatakan, semua hal yang ada di dunia ini memang sempit. Penuh rahasia. Penuh skenario Tuhan. Bukan faktor kebetulan!

Si Indah Gilang pun rupanya masih satu almamater, dulu ketika SMA, dengan dua sahabat super saya, Khalifatul Ardl Moekti dan Mumtaz Afridah. Mereka bertiga dulu mengenyam bangku SMA di SMA Negeri 2 Cirebon. Hal ini saya ketahui kemudian sesaat setelah saya crosscheck di situs facebook (lagi):

“Ow, ow, ow. Ternyata, ternyata, kalian itu satu almamater ya, dulu. Wah, wah, wah, nggak nyangka :D. Cc: Indah Gilang Pusparani, Adin Cocolatoz (Mumtaz Afridah), Khalifatul Ard Moekti” tulis saya di update-tan status kala itu.

“Waw, kenal khalif? iyah, beda satu taun. dia pindah dari brunei waktu indah kelas satu. dan kita sering lomba bahasa inggris bareng waktu sma. adiknya yang di UII juga sekelas sama Indah.” Jelas Indah, mengomentari status saya.

Pada intinya. Semuanya serba penuh rahasia. Semuanya serba penuh skenario Tuhan. Allah memang Tuhan Yang Maha Pintar. Pintar dalam men-setting siklus kehidupan ini. Siapa sangka juga Indah Gilang adalah sahabatnya Iman Usman. Siapa sangka juga Iman Usman adalah Sahabatnya Yasser Azka. Siapa sangka juga Yasser Azka kini satu atap dengan saya. Siapa sangka juga Indah Gilang, Khalifatul Arld, Mumtaz Afridah, adalah satu almamater. Siapa bisa menyangka juga Mumtaz Afridah adalah sahabat terbaik saya di Psikologi UII. Kehidupan ini memang sempit. Memang penuh rahasia. Penuh skenario Tuhan!

"Terima kasih temanku haris! saling berjuang saling mendoakan.." kata Indah waktu itu. Kemudian, saya pun mengamininya, "Benar katamu, Indah. Pasti mimpi itu akan datang dan menjadi kenyataan."

"Iya, kita terus berdoa bersama, berjuang bersama.. jangan pernah cepet puas dengan pencapaian kita.. persistent!" (Indah Gilang)

“Terus semangat ris. Targetin mimpi setinggi apapun, seliar apapun, tetap istiqomah. Ini namanya pendakian." (Indah Gilang)

"Mudah2an jadi inspirasi buat temen-temen semua. Bahwa kalau kita punya mimpi, kejer terus sampe...mati. Pemuda Indonesia sedang butuh suntikan semangat, di tengah-tengah pemberitaan yang kadang bikin kecewa dan pesimis." (Indah Gilang)




Yai, Dalem Kangen: Mengenal Sosok KH. Ali Shodiq Umman # (Part 5)


Setelah menunaikan ibadah haji yang ke tiga kali, tahun 1997 kondisi kesehatan K.H Ali Shodiq Umman sering terganggu. Maklum, usia beliau mulai beranjak sepuh.

Sementara tugas sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu tenaga dan fikiran beliau. Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kyai mulai menurun, sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga untuk menjalankan tugas sehari-harinya: memberi pengajian, menjadi imam sholat jama'ah, beliau harus dipapah oleh satu atau dua orang santri.

Akan tetapi berkat kesabarannya, hari-hari beliau yang panjang itu dilalui dengan tabah, malahan beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban. Beliau tetap mengabdi untuk umat, tetap mengisi pengajian seperti biasa.

Sabtu Kelabu
Pada hari jum'at 23 Juli 1999, K.H Ali Shodiq Umman jatuh sakit. Cukup parah. Beliau kemudian dibawa ke RSI ORPEHA Tulungagung. Beliau dirawat di Pavilium Arafat. Perawatan intensif terus menerus dilakukan, namun keadaan pun tak semakin membaik. Akhirnya atas kesepakatan keluarga dan saran dari pihak kedokteran RSI ORPEHA, pada Rabu 10 Agustus 1999, beliau dibawa ke RS. DARMO Surabaya. Selama 4 hari beliau menjalani opname di rumah sakti Surabaya itu. Namun kondisi beliau pun tak kunjung membaik.

KH. Ali Shodiq pun tetap dengan tabah mengahadapinya. Aku teringat, abahku pernah bercerita. Ketika itu, abah dengan beberapa temannya berkunjung, menjenguk Mbah Yai. Sambil menenteskan air mata, abah bertanya.

“Pripun kewontenanipu, Yi?” (bagaimana, keadaannya, Yai?)

Apa jawab Mbah Yai?

“Wis, aku rapopo, ra usah nggeloni aku. Ikhlas wae, Kim” (Sudah, aku tidak apa-apa, tidak usah merasa sedih begitu, Hakim—nama abahku).

Perawatan pun tetap terus berjalan. Namun, harapan untuk kesembuhannya pun kian menipis, hingga pada hari Sabtu, 14 Agustus 1999, sekitar pukul 10.00 wib (pagi) Allah swt, telah menggariskan untuk memanggil beliau.

K.H Ali Shodiq Umman wafat. Innalillahi Wa Inna Ilaihi Roji'un….

Beliau wafat pada usia 71 tahun dengan meninggalkan seorang istri (yang pada akhirnya 7 bulan kemudian menyusul*), 9 putra putri (6 pitra dan 3 putri), serta 12 cucu laki-laki dan perempuan.


Berita wafatnya K.H Ali Shodiq Umman diterima keluarga di Ngunut pukul 11.00 pagi lewat telfon. 30 menit kemudian, orang-orang yang melayat mulai berdatangan. Mereka menuggu kedatangan jenazah K.H Ali Shodiq Umman sambil berdzikir, jenazah tiba di Ngunut pukul 16.00 BBWI.

Keesokan harinya (Ahad) pukul 10.00 BBWI, setelah dilakukan sholat jenazah sebanyak 47 kali, lalu jenazah beliau dimakamkan di makam keluarga, sebelah barat Masjid Sunan Gunung Jati, asrama saya.

Sampai di liang lahat, jenazah beliau disambut oleh menantu beliau KH. Darori Mukmin, KH. Mahrus Maryani, dengan disertai putra beliau KH. Badrul Huda Ali, KH. Ibnu Shodiq Ali, KH. Minanurrohman Ali, serta KH. Minanurrohim Ali.

Jasad beliau pergi meninggalkan kita untuk selama-lamanya, menggoreskan kenangan, meninggalkan sebongkah jasa untuk kita, untuk saya, dan untuk santri-santrinya, beliau menuju alam damai dan abadi.

Ya Allaah Gustiiii….mugi Panjengenan paring ridlo kagem beliau, paring lapang kadem kuburipun, beliau waliyullah, Gusti. Beliau tiyang sae, Gusti.…amiin, amiin, amiin….

*Catatan:
Menurut cerita Gus Ghulam, cucu dari KH. Ali Shodiq, kepergian istri yai, Hj. Siti Fatimatuzzahro, itu karena beliau diajak oleh Yai. Allahu ‘alam…

Yai, Dalem Kangen: Mengenal Sosok KH. Ali Shodiq Umman # (Part 4)


Waktu itu, pesantren Ngunut sedang mengadakan sebuah acara. Acara itu dihadiri langsung oleh guru beliau, KH. Mahrus Ali Lirboyo. Kejadian itu bermula saat guru beliau, KH. Mahrus Ali, sedang berkenan ke kamar kecil. Ketika melintas, menuju ke kamar kecil, Mbah KH. Mahrus Ali melihat masyarakat di sekitar pesantren Ngunut banyak yang mengganggu acara tersebut. Mereka mengusik dengan santet, mengganggu jalannya pengajian para santri, lantas kemudian, Mbah KH. Mahrus Ali berkata.

“Mbok dihizib nashor wae, ben ndang bar.” (Sebaiknya di-hizib nashor—semacam didoa-wiridkan—agar mereka tidak mengganggu lagi).

Namun, apa jawab Ali Shodiq?

“Ingkang kawulo rantos anak putu nipun, Yi" (Yang saya tunggu anak cucu mereka, Yai)

Dialog antara Ali Shodiq dengan gurunya, KH. Mahrus Ali, di atas membuktikan bahwa, Ali Shodiq ingin tetap memperjuangkan agama Allah. Meski banyak masyakarat di sekitarnya yang tidak suka dengan dakwah beliau, tapi beliau tetap sabar, mengunggu anak cucu masyakaratnya agar kelak, mau diajak masuk Islam.

Dengan diikuti 50 santri dari Lirboyo, pengajian pasan (pengajian pada bulan puasa) pertama di laksanakan dengan penuh hidmah (khusu’. red). Hingga 4 tahun kemudian beliau berhasil menamatkan kitab 'Ihya Ulumuddin buah karya Hujjatul Islam Imam Ghozali.

Pada bulan Syawal di tahun yang sama, pengajian sistem klasikal dan non klasikal mulai di terapkan, meski dengan materi pelajaran yang masih sangat sederhana—sesuai dengan kemampuan santri yang ada. Pada tahun berikutnya, jumlah santri di pesantren Ngunut bertambah, terutama santri senior Lirboyo dan dari daerah Ngunut dan sekitarnya. 

Melihat jumlah santri di pesantrennya kian hari semakin meningkat, maka K.H Ali Shodiq menetapkan tanggal 1 Januari 1967, bertepatan dengan tanggal 21 Rajab 1368 H, dijadikan sebagai hari berdirinya Pondok Pesantren HIDAYATUL MUBTADIIEN Ngunut, sebuah nama yang diambil dari Ponpes Lirboyo, dengan niat tafa'ulan (ngalap ketularan: biar tertular barokahnya.red). Sejak saat itulah, sistem pendidikan di Ponpes Hidayatul Mubtadiien ini mulai ditata dan bisa berjalan sampai sekarang.

Tingkatan pendidikan pun mulai ditata di pondok Mbah Ali—sebutan untuk pesantren Ngunut ini. Jenjang pendidikan di bagi menjadi dua tingkatan, ibtida'iyah  (dasar) dan tsanawiyah (menengah).

Salah satu gedung Asrama Putra Sunan Gunung Jati
Waktu pun terus berjalan. Zaman semakin berkembang. Ilmu dan pengetahuan pun semakin canggih, namun di lain fihak dengan perkembangan ini, timbul pergeseran nilai dalam kehidupan masyarakt. Untuk itu, dibutuhkan generesi Islam yang intelek dan berwawasan luas. Hal itu kemudian yang membuat KH. Ali Shodiq Umman disamping mengembangkan lembaga pendidikan agama yang sudah ada, beliau juga mendirikan pondok kanak-kanak dengan pendidikan formal Sekolah Dasar Islam (SDI) Sunan Giri berlokasi di Asrama Putri  dan Kanak-kanak Sunan Giri, Sekolah Menengah Pertama Islam (SMPI) Sunan Gunung Jati berlokasi di Asrama Putra Sunan Gunung Jati (untuk santri laki-laki) dan Asrama Putri Sunan Pandanaran (untuk santri putri). Hingga akhirnya karena perkembangan IPTEK semakin pesat dan tak dapat dibendung, KH. Ali Shodiq Umman, dengan dibantu oleh para santri-santrinya, ikut mendirikan SMA Islam Sunan Gunung Jati. Langkah ini yang diambil K.H Ali Shodiq Umman ini lantas mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Terbukti semakin banyak masyarakat yang menyekolahkan dan memondokkan putra-putrinya di lembaga yang di asuh oleh beliau ini. 

Lambang Yayasan Sunan Giri, PPHM-Ngunut
Begitulah perjuangan beliau yang tak kenal lelah, guna mempersiapkan generasi-generasi muslim yang menghadapi tantangan zaman. Bukan hanya pendidikan saja yang beliau perhatikan, namun dalam tuntunan hidup sehari-hari pun, beliau juga sering memberikan mau'idzoh hasanah, dengan tutur bahasa yang khas.

"Cho neng ngendi wae awakmu manggon, ojo lali karo pesenku: (1) Akhlaqul Karimah, (2) Pinter-Pinter Ndelehno Awak, (3) Ngekeh-Ngekehno Bali Mari Allah. Fafiru illallah…”

Pesan itu selalu beliau sampaikan setiap kali selesai mengaji kitab bersama santri-santrinya.

Beliau yang juga dikenal sangat sabar dan istiqomah dalam mendidik santri-santrinya, setiap pagi selalu dengan halus membangunkan santri-santi beliau. Dari satu kamar menuju ke kamar lainnya.

“Tangi cho, sholat jama'ah shubuh.”

Beliau paham betul bahwa, membina santri-santri adalah tugas moral untuk mengabdikan kepada masyakarat. Lebih-lebih untuk menekankan sholat jama'ah.

Salah satu pesan Al Maghfurlah KH. Ali Shodiq Umman, ketika masih sugeng


Sholat Jama'ah dengan Di Papah
Setelah menunaikan ibadah haji yang ke tiga kali, tahun 1997 kondisi kesehatan K.H Ali Shodiq Umman sering terganggu. Maklum, usia beliau mulai beranjak sepuh.

Sementara tugas sebagai pengasuh yang kian berkembang pesat cukup menyita waktu tenaga dan fikiran beliau. Akan tetapi yang cukup menyedihkan kesehatan kyai mulai menurun, sehingga kaki beliau tak lagi berfungsi sebagaimana mestinya. Sehingga untuk menjalankan tugas sehari-harinya: memberi pengajian, menjadi imam sholat jama'ah, beliau harus dipapah oleh satu atau dua orang santri.

Akan tetapi berkat kesabarannya, hari-hari beliau yang panjang itu dilalui dengan tabah, malahan beliau tidak pernah meninggalkan tugas yang beliau emban. Beliau tetap mengabdi untuk umat, tetap mengisi pengajian seperti biasa.

Sabtu Kelabu
Pada hari jum'at 23 Juli 1999, K.H Ali Shodiq Umman # Bersambung di part 5... 

Mimpi Bertemu Gus Dur

Bismillaahirrahmaanirraahiim....

Siang hari ini (21/6), setelah dzuhur, saya bermimpi bertemu sama beliau, Al Maghfurllah KH. Abdurrahman Wachid (Gus Dur). Cucu Al Maghfurlah KH. Hasyim Asy'ari itu tidak sendirian. Beliau ditemani oleh sang istri, Ibu Hj. Siti Nuriyah. Dalam mimpi saya itu, saya bisa melihat persis tempat pertemuan kami bertiga. Yaitu di teras-emperan madrasah di desa saya, yang biasanya buat saya ngaji dulu ketika masih usia SD. Sambil menghadap ke arah utara, beliau berdua berpapasan dengan saya yang sedang mau masuk ke kantor madrasah. Dialog singkat dalam mimpi itu pun terjadi.

"Ya Allah...Gus...." Kata saya kaget, karena tak menyangka bertemu dengan beliau.

"Ealah, Ris. Tibae ketemu di sini." Jawab istri beliau, Ibu Hj. Sinta Nuriah.

Saya kaget bukan main. Bagaimana tidak, masak iya beliau tahu nama saya? ketemu saja belum pernah.

Posisi Gus Dur waktu itu ada di samping kanannya Ibu Sinta. Gus Dur memakai baju batik, dan memakai kompyah khasnya Gus Dur yang selalu dipasang menceng. Sementara, Ibu Sinta memakai baju sama: batik, dengan dipadu kerudung ala beliau : sedikit terlihat rambutnya.

"Sehat, Gus?" tanya saya, sambil cepat-cepat meraih tangan Gus Dur, untuk mengecupnya, bersamalan.

"Alhamdulillah..." jawab Gus Dur.

"Sampean, gimana?" lanjut Gus Dur, "mbok yao sana, dolan ke rumah saya."

"??" saya bertanya-tanya. Ada apa? Saya mengernyitkan dahi. Bingung.

"Rumah yang mana, Gus?" saya mencoba untuk bertanya. "Jakarta nopo..."

"Ya rumah Jombang sana, Ris" jawab Ibu Sinta. Polos.

"Sudah ya, saya mau pamit dulu." Gus Dur melanjutkan.

"Assalamu'alaikum..."

"Wa'alaikum salam..." jawab saya, sambil bingung memikirkan.

Sesaat setelah itu, saya langsung bangun dari tidur saya itu. Saya bertanya-tanya. Apakah maksud dari mimpi ini??



Yai, Dalem Kangen: Mengenal Sosok KH. Ali Shodiq Umman # (Part 3)


Hadlorotusy Syaikh KH. Ali Shodiq Umman
Sewaktu beliau, Ali Shodiq, masih nyantri di Pesantren Jampes, Kediri, beliau meminta kepada ibu angkat beliau, Mbah Urip, untuk mendirikan sebuah langgar (mushola.red) kecil di rumahnya, yang kelak kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiien Ngunut (PPHM-Ngunut).

Dari Lirboyo Menuju ke Pelaminan
Menurut Mbah K.H Ihsan (Pengasuh Pondok Pesantren Abul Faidl, Bakalan, Wonodadi, Blitar) setelah K.H Ihsan Jampes wafat sekitar tahun 1952, Ali Shodiq pindah ke Pesantren Lirboyo yang waktu itu masih diasuh oleh K.H Abdul Karim. Waktu Ali Shodiq mondok di sinilah, ada peristiwa yang penting, yakni sekitar tahun 1958, ada seorang Kyai dari Mbaran, Kediri, K.H Umar Sufyan yang mencari beliau untuk dinikahkan.

Ali Shodiq waktu itu, karena sami’na wa ‘atho’na dengan guru, beliau mau saja untuk dijodohkan. Tak disangka, rupanya beliau dijodohkan oleh putri kandung dari KH. Umar Sufyan sendiri, yakni Auliyah (setelah ibadah haji di ganti menjadi Hj.Siti Fatimatuzzahro'). Padahal, Auliyah ini, waktu itu masih berumur 7 tahun. Namun, akad nikahpun akhirnya tetap dilaksanakan secara sederhana.

Hari bahagia nan penuh berkah, akad nikah seorang calon kyai dengan putri seorang kyai pun berlangsung jua. Dengan diantar beberapa santri Lirboyo, beliau berangkat dari Pondok Pesantren (ponpes) Lirboyo menuju Mbaran, Kediri.

Ali Shodiq, Santri Yang Tekun
Di mata kawan sesama santri, termasuk KH. Mushtofa Bisri (Gus Mus), Ali Shodiq muda dikenal sebagai santri yang tekun, cerdas dan sangat ta'dzim (hormat) kepada guru-guru beliau. Hingga beliau menjadi Kyai kharismatik di wilayah Tulungagung pun, beliau masih ta'dzim kepada dzuhrriyah (keluarga.red) guru-gurunya. Meski mereka sudah berada di alam kubur, namun Ali Shodiq bahkan ketika sowan-ziyarah ke makam guru-guru beliau pun, selalu melepas sandal dan berjalan jongkok.

Ali Shodiq juga dikenal ketika setiap kali mbalah (mengaji kitab.red) selalu mencari waktu yang tidak bersamaan dengan qori' atau pengkaji yang lain, yaitu di atas jam 12.00 malam. Bertempat di panggung lama atau di Al-Ikhwan (nama tempat. red). Beliau tahu betul, jika pengajian dilakukan secara bersamaan, maka qori’ yang lain akan sepi pengikut.

Ali Shodiq juga di kenal sebagai Ahli Tahqiq, sebab setiap kali akan mbalah, jika belum memahami apa yang akan dikaji, beliau tidak jadi melakukan dan menunggu sampai faham betul terhadap hal-hal yang akan dikaji oleh beliau tersebut. Juga, beliau sering mengikuti satu kitab secara berulang-ulang, dengan setiap ikut kitabnya selalu baru.

Menurut Pak Ghufron, salah seorang teman sekaligus santri beliau, ketekunan Ali Shodiq ini sulit digambarkan, sehingga tidak pernah diketahui kapan beliau tidur. Seakan-akan waktu hanya dicurahkan untuk mathala'ah  (belajar.red) yang bahkan beliau sering ketiduran dalam keadaan mathala'ah tersebut.

Kesibukan Ali Shodiq selain mbalah, beliau juga menyoroki (mengajarkan membaca.red) Al Qur'an kepada para santri-santrinya. Cukup sederhana, beliau menyoroki hanya bertempat di kamar beliau sehabis jama'ah maghrib sampai lonceng sekolah malam berbunyi.

Hari-hari senantiasa beliau dilewati dengan berpuasa. Dan beliau juga seorang qona'ah, terbukti dengan makan beliau sedikit dan seadanya sesuai dengan yang disajikan oleh juru masak beliau. Sampai-sampai dalam akivitas sehari-seharinya, beliau memakai bengkungan di perut yang sangat kencang, dikarenakan sedikitnya makan, meski menurut beliau, ia sering juga diberi uang saku oleh keluarga.

Satu hal lagi yang menunjukan ketekunan dan himmah beliau dalam tholabul ‘ilmi adalah meski beliau sudah menikah, tapi beliau tetap mukim di ponpes Lirboyo, sebab di samping untuk memperdalam ilmu tenaga dan fikiran, beliau masih diperlukan di sana. Ali Shodiq bahkan pernah menjadi kepala Ponpes Lirboyo, waktu itu. Hanya saja, jika memasuki bulan Ramadlan, beliau mengadakan pengajian pasan di Mbaran, Kediri, rumah mertua beliau.

Sekitar tahun 1958, pengajian pasan pertama yang diadakan di Mbaran diikuti oleh 7 orang santri Lirboyo. Dan pada tahun berikutnya, diikuti oleh 40 santri. Hal ini berlangsung selama beberapa tahun hingga tahun 1966. Selama itu pula, beliau telah menamatkan kitab Sirojut Tholibin buah karya K.H Ihsan Jampes, Kediri, yang merupakan guru beliau sendiri dan beberapa kitab kuning lain karya ulama terkenal lainya.

Ada fakta menarik, yaitu beliau, Ali Shodiq Umman, karena sangking sukanya akan ilmu dan baca kitab kuning, beliau pernah membaca kitab Muhadzdzab, yang khatamnya jatuh bertepatan pada tanggal 1 Syawal, pukul 1 siang.

Mendirikan Pondok Pesantren
Pada tahun 1967, Ali Shodiq Umman dengan berat hati pindah ke Ngunut, Tulungagung, meninggalkan Mbaran untuk mengemban amanat dan tugas dari guru beliau sewaktu nyantri di Lirboyo, yakni K.H Marzuqi Dahlan dan K.H Mahrus Ali. Waktu itu, guru beliau itu meminta agar Ali Shodiq mengembangkan ilmunya dan mendidik langsung masyarakat Ngunut yang waktu itu masih belum mengenal ajaran Islam (abangan).

Pondok Pesantren Hidayatul Mubtadiine Ngunut (PPHM-Ngunut)

Pada masa perintisan aktivitas dakwah, Ali Shodiq dipusatkan di sebuah langgar  (mushola.red) kecil yang telah didirikan Pak Tabut—Langgar  ini kemudian dijadikan pesantren Ngunut. Di samping itu, Ali Shodiq juga ikut mengajar di PGA Ngunut (sekarang berubah nama menjadi SMP Negeri 1 Ngunut).

Tantangan dan rintangan datang silih berganti, terutama dari masyarakat sekitar yang masih buta agama. Teror fisik atau teror yang bersifat non fisik atau rohani (seperti jengges dan santet) tak henti-henti berdatangan. Tetapi dengan penuh kesabaran, beliau Ali Shodiq, tetap menyiarkan agama Allah.

Bukti kesabaran beliau terlintas dalam sebuah kejadian. Waktu itu, pesantren Ngunut sedang mengadakan sebuah acara. Acara itu dihadiri langsung oleh guru beliau, KH. Mahrus Ali Lirboyo. Kejadian itu bermula saat guru beliau, KH. Mahrus Ali, sedang berkenan ke kamar kecil. Ketika melintas, menuju ke kamar kecil, Mbah KH. Mahrus Ali melihat masyarakat di sekitar pesantren Ngunut banyak yang mengganggu acara tersebut. Mereka mengusik dengan santet, mengganggu jalannya pengajian para santri, lantas kemudian, Mbah KH. Mahrus Ali berkata.

“Mbok dihizib nashor wae, ben ndang bar.” (Sebaiknya di-hizib nashor—semacam didoa-wiridkan—agar mereka tidak mengganggu lagi).

Namun, apa jawab Ali Shodiq?...Bersambung di Part 4