Siang itu, (Minggu, 13/3), matahari tampak tidak memberikan sinarnya yang panas. Ia tetutup oleh mendung. Rintikan tipis hujan pun ikut melengkapi. Hawa dingin pun menyelimuti. Sekitar 17 orang berada di ruangan itu. Ruangan tempat anak-anak UII belajar jurnalistik. Ruangan yang telah berusia 44 tahun. Ruangan yang dulu bernama Muhibbah dan sekarang berganti nama menjadi Himmah.
kantor Himmah, dulu Muhibbah Jalan Cik Ditiro No.1 |
Semua pada mengerubung. Mata tertuju pada satu titik: tumpeng.
Tepat jarum jam menunjuk pukul 12.55 wib, disambut dengan suara petikan gitar yang pelan. Syahdu. Hening. Acara siang itu akhirnya dimulai.
Duduk di sebelah kiri kipas angin: Njep, memulai acara |
Njep, pemimpin Umum Himmah, membuka acara siang itu.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi bawarokaatuh…”
“Wa’alaikum salam…warahmatullahi wabarokaatuh..” 16 orang menjawab. Hampir bersamaan
“Terima kasih teman-teman telah meluangkan waktu untuk datang ke sini, ke Himmah,” Njep memulai. 16 orang lainnya merespon ada yang disambi membaca majalah, megang hape, dan juga seperti saya: diam. Membisu.
“Seperti yang telah kita tahu, tepat 11 Maret kemarin, Himmah ulang tahun yang ke 44. Dengan usianya ini, Himmah bukanlah persma yang paling baik. Namun Himmah….” Njep berkata dengan suara pelan. Serius.
Seketika itu, aku pun larut dalam suasana keheningan. Teman-temanku pun demikian. Semua mendengarkan. Serius. Tetap Hening. Dalam hati, saya baru mengerti, Himmah rupanya sudah berkepala 4.
“Himmah juga mengalami pasang surut. Dan….” Aku benar-benar trenyuh mendengar Njep bilang kata itu. Kata pasang dan surut.
“Dan…kita…mencoba bangkit dari keterpurukan.” Njep lagi-lagi membuat aku dan 16 orang di ruangan itu ikut terhanyut dalam keheningan.
“Tapi, alhamdulillah kita masih bisa merayakan ultahnya Himmah, walaupun secara sederhana. Sejak 2007, kita tidak pernah merayakan ultahnya Himmah besar-besaran. Mengundang teman-teman persma yang lain. Rame-rame.”
“Ya…harapannya, kita coba bangkitkan kembali posisi Himmah di puncak. Kalau kata Zimam, alumni, ‘kita boleh mengembalikan Himmah seperti dulu tapi jangan dibayangin seperti yang dulu.’ Itu kata Zimam.”
Kalimat terakhir ini, bagi kami anak Himmah, langsung bisa dimengerti. Muhibbah, nama Himmah yang dulu, pernah masuk pada posisi atas dalam jajaran pers mahasiswa Indonesia. Ia tidak hanya mengkritik isu-isu di perguruan tingginya, tapi juga mengkritik pemerintah pada waktu itu. Itu kemudian yang menyebabkan Muhibbah pun pada akhirnya harus dibredel oleh zaman orde baru. Itulah kenapa kemudian Muhibbah pun pernah masuk di jajaran persma kampus untuk menjadi rujukan oleh persma-persma lain di Indonesia.
“Selanjutnya, giliran kamu dong, Ma, yang ngomong ,” Njep mengakhiri uneg-unegnya dengan menunjuk ke Rama.
Rama adalah anak komunikasi, tapi bergerak di bidang PSDM (Pengembangan Sumber Daya Manusia).
“Ayo, Ma, kamu ngomong, apa harapan kamu buat Himmah,” Njep mengulang, karena Rama masih diam saja.
Dia, Rama, adalah orang yang pertama kali aku kenal sejak masuk di Himmah ini, selain Wening—pemimpin redaksi Himmah yang juga teman satu jurusan: psikologi, denganku.
“Ya…apa yak,” Rama memulai.
“Biasanya sih, kalau ngrayain itu kita sambil launching majalah Himmah. Ya…bener apa yang dikatain Njep, kita biasanya ngundang temen-temen persma lain. Ya…temen-temen mungkin bisa ngerasain kan, bagaimana kondisi kita saat ini. Bagaimana perasaan kita saat ini. Ya….mudah-mudahan kita, Himmah, lebih bisa berkarya lagi....terus...Kalau aku masih di Himmah bukan apa-apa. Aku masih di Himmah...karena ada kalian yang siap menjadi penerus Himmah.”
Mendengar uneg-uneg Rama, aku bisa memahami, bagaimana perasaan kami masing-masing.
“lanjutnya, lo, Den,” Rama menunjuk ke Deden.
Deden adalah mahasiswa teknik, satu angkatan masuk di Himmah dengan aku. Dia awalnya pengen masuk fotografi, tapi "terseret" di redaksi.
“Hmmm….apa yak…," Deden memulai.
"Sama sih, kalau aku, semoga himmah bisa lebih berkarya lagi," Deden menutup singkat.
“Haris…,” Rama menunjuk ke aku.
“Hmm…..kalau baca tulisannya mas Andreas Harsono di blognya,”
Setelah kusebut nama Andreas Harsono, respon 16 orang di ruangan itu semakin serius. Diam. Mendengarkan.
“Waktu ia diculik dari Keadilan menuju Balairung – B21,” hampir semua mata menatap ke arah aku.
“Ada tiga lembaga persma yang disebut di sana. Kata mas Andreas ‘tempat ini sudah tidak asing lagi bagi saya. Dulu, waktu saya masih jadi anggota persma, sering main ke tempat ini. Balairung. Pun sering juga main ke Keadilan dan Himmah Universitas Islam Indonesia.’ Maksud aku…mas Andreas pun, ia tahu Himmah sejak dulu. Ya..harapannya, semoga Himmah bisa berada di garda depan,” harapanku menutup uneg-uneg.
Selanjutnya, giliran teman-teman yang lain, salah satunya ada Ayu.
“Ya….apa ya…sama sih, kayak yang lain. Kita juga nggak mau, kan, kalau Himmah mati gara-gara kita atau di tangan kita. Jadi ya…..tetap terus di Himmah dan bisa berkarya lagi aja.”
Sekarang giliran Udi yang bilang.
“Kalau gua, semoga rajin beribadah. Rajin belajar. Kan, Himmah itu forum iman, ilmu dan amal. Jadi, rajin belajar aja. Jangan dianggap Himmah itu tugas. Kalau lagi liputan ya…dianggap belajar liputan. Kalau lagi nulis…ya…anggap belajar nulis…motret ya anggap belajar motret. Itu kalau gua lebih enteng nganggepnya dari pada tugas.”
Selesia Udi berkata seperti itu, teman-teman termasuk aku, pada menganggukkan kepala.
Benar apa kata Udi. Sering ada pertanyaan, Himmah itu (si)apa? Himmah itu gimana?
Jawabnya, Himmah itu forum. Forum iman, ilmu, dan amal. Ini sesuai dengan lambang Himmah.
Terkadang, banyak orang yang tidak tahu (si)apa Himmah itu. Termasuk—jujur—aku sendiri. Terkadang “lupa” dengan tiga kata kunci itu: forum iman, ilmu, dan amal. Lupa karena sangking sibuknya. Lupa karena sangking egoisnya. Lupa karena sangking tak pedulinya. Dan lupa karena yang lainnya.
Selamat ulang tahun Himmah!
Semoga dengan usiamu yang ke 44 ini, engkau semakin mengepakkan sayap-sayapmu ke dunia. Teruslah berkarya. Teruslah berkarya. Dan Teruslah berkaya.
Semoga dengan usiamu yang ke 44 ini, engkau semakin mengepakkan sayap-sayapmu ke dunia. Teruslah berkarya. Teruslah berkarya. Dan Teruslah berkaya.
Himmah! Forum iman, ilmu, dan amal.
Njep, PU Himmah, memotong tumpeng |
Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini