Suatu ketika, berkerumunlah para warga nahdliyin—sebutan untuk warga Nahdlatul Ulama’—di parkir timur Senayan, Jakarta. Pengaruh “lapangan” yang begitu terbuka, luas, panas terik matahari dan desak-mendesak itu, membikin kesan “kehebohan” di semua peristiwa ke-NU-an sebelumnya.
Adalah Emha Ainun Najib yang pada waktu itu memimpin warga nahdliyin dengan jumlah begitu banyak. Dengan penuh gairah, ia berteriak “Allahu Akbar…!”
Semangat hadirin yang jelas bergelora jiwanya itu pun menjawab dengan ucapan serupa, “Allahu akbar…!” Hiruk pikuk suara itu menggelora, mengisi ruang-ruang yang kosong di “lapangan” itu.
Cak Nun, begitu Emha Ainun Najib biasa disapa, melanjutkan dengan pidato. Ia mem(p)esona. Tapi, ia sadar bahwa kerumunan seperti itu, secara psikologis, sangat tidak cocok untuk disuguhi sebuah pidato. Ia sadar karena massa mungkin tak akan tertarik. Tak sempat, atau tak bisa berkonsentrasi mendengarkannya. Tetapi, entah apa sebabnya, ketika sosok yang juga dikenal sebagai budayawan itu berpidato, walaupun di bawah terik matahari yang begitu menyengat, suasana pun langsung hening. Semua hadirin terdiam. Mendengarkan suara Cak Nun.
Cak Nun tahu persis bagaimana psikologi massa serta cara strategis dan halus buat mengendalikan massa agar mereka tetap berada di bawah “wibawa”-nya. Seperti hampir setiap saat dia manggung, pendengar pasti “terkendali.”
Siang itu, di tengah keringat yang mengucur, suasana penuh kepengapan, hawa yang panas, hadirin pun “tergoda” untuk tidak lagi berfokus mendengarkan pidatonya. Ada yang mulai bising, maka Cak Nun pun, mulai mengalihkan perhatian mereka ke shalawat badar, “Shalatullaah…salaamullaah….” dengan fasih, khas suara orang pesantren.
Terdengar gairah sambutan massa, yang tiba-tiba juga menjadi khusyu’. Hal itu pun kemudian membuktikan bahwa: orang NU, secara mudah memang mudah di urus. Orang Nu—kaum nahdliyin—adalah gambaran mudah untuk menjelaskan implementasi dari psikologi massa. Setidaknya, hal itu benar menurut Mohammad Sobary, jika dilihat dari:
Pertama, orang NU memiliki sikap ta’dzim dan tawadlu’ serta manut kepada para kyai dan sesepuhnya. Sehingga, psikologi massa mereka pun dengan gampang bisa digerakkan. Cukup dengan satu komando: sholawat. Hanya suasana psikologi NU yang menyerupai ABRI, dengan semangat “patuh” kepada komando itu, namun tidak dibarengi dengna sikap anarkis.
Kedua, warga nahdliyin tak suka meminta atau berharap terlalu banyak. Jika mereka disuguhi shalawat badar, maka bangkitlah semangat keagamaan mereka yang membara itu. Dengan sholawat, mereka “lupa” banyak hal. Lupa akan panasnya terik matahari. Lupa akan pengapnya suasana. Lupa akan keringat yang mengucur. Tapi tidak lupa akan siapa Ilahi nya. Shalawat bagi mereka adalah pesona rohaniyah tapi memiliki ruh dan tidak bisa dijelaskan dengan penalaran singkat.
“Wakullimujaa…hidilillaah…bi ahlil badri yaa…Allah…” shalawat terus bersambung. Tiap saat Cak Nun mulai dari awal sampai akhir. Dan mulai lagi, “Shalaatullah…salaamullah…”
“Jiwa” warga nahdliyin terkendali di “tangan” Cak Nun. Dia pun dengan manis melanjutkan pidatonya. Dan warga nahdliyin kembali menyimak. Kemudian terdengar ucapan terima kasih, disusul salam, disusul shalawat nabi lagi. Dan pelan-pelan, Cak Nun meninggalkan podium tanpa terasa.
Diramu dengan sedikit perubahan dari judul “Ar Rapatu Al Akbaru: Rapat Akbar Sejuta Warga NU”—“Jejak Guru Bangsa,” Mohammad Sobary, pg. 103-105.
mohon maaf apakanh logo nu diatas sudah benar ? tlg di cek terimakasih
BalasHapus