Oleh Nur Haris Ali
PENGANTAR
Berbagai isu sosial yang terjadi di tanah air saat ini sepertinya tidak dapat dilepaskan dari peranan pendidikan. Isu mengenai korupsi, kekerasan, penipuan dan yang lainnya, sepertinya sudah begitu merebak hingga memunculkan pemakluman. Anehnya, masyarakat sendiri tidak memahami bahwa mereka terlalu sering mengkonsumsi tontonan isu moral negatif tersebut di media massa.[1]
Pendidikan seharusnya mampu menghasilkan manusia yang bermoral atau memiliki budi pekerti. Hal ini dikatakan Driyarkara, seorang Yesuit, beberapa tahun silam. Pendidikan seharusnya mampu merangsang seseorang berpikir kritis dan mampu memilih alasan yang tepat dalam setiap aktivitasnya. Pendidikan harus mampu membentuk karakter setiap pribadi siswa/pelajar.
Siapa yang tidak mengelus dada melihat pelajar yang tidak punya sopan santun, suka tawuran, bagus nilainya untuk "pelajaran" pornografi, senang narkotika, dan hobi begadang dan kebut-kebutan[2]. Jelas hal yang demikian ini terjadi karena adanya kesalahan dalam memberikan pendidikan karakter pada peserta didik. Penulis menebak, hal ini terjadi karena muatan-muatan pendidikan yang diberikan telah mengesampingkan sisi psikologis dan moral dari pendidikan itu sendiri.
Dalam makalah ini, penulis akan membahas salah satu sisi pendidikan karakter yang seringkali terlewatkan dalam perencanaan, pengembangan dan evaluasi program pendidikan karakter, yaitu mengembangkan budaya sekolah yang berjiwa pembentukan karakter psikologis. Secara lebih khusus, penulis akan membahas bagaimana mengembangkan kultur akademik dalam lingkungan sekolah, memahami tantangan, mencari implementasi strategi efektif bagi pengembangan kultur tersebut bagi pembentukan karakter bangsa.
URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER
Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.[3]
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia.
Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama. Karakter sangat erat dengan sikap dan pilihan cara bertindak. Oleh karena itu, maka Pendidikan karakter harus diberikan sedini mungkin kepada setiap orang.
TIGA BASIS PSIKOLOGIS-AKADEMIS
Usulan tentang perlunya pembangunan karakter memang bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan, menurut Azyumardi Azra, sebelum pelajaran agama menjadi mata pelajaran wajib, dalam rencana pelajaran pada tahun 1947, yang ada hanyalah mata pelajaran “didikan budi pekerti yang bersumber dari nilai-nilai tradisional, khusunya yang terdapat dalam cerita pewayangan.[4] Hal ini membuktikan bahwa, sesungguhnya pendidikan karakter ini telah lama dicanangkan.
Namun, pendidikan karakter yang selama ini sering dibicarakan, umumnya hanya selalu pendidikan karakter berbasis kelas saja. Karena itu, debat yang selalu muncul biasanya adalah hanya berkutat pada tataran perlu tidakkah membuat mata pelajaran baru untuk mengintegrasikan pendidikan karakter dalam kurikulum. Debat seperti ini sebenarnya hanya memotret salah satu basis bagi pengembangan pendidikan karakter, yaitu pendidikan karakter berbasis kelas saja[5].
Jika ingin efektif dan utuh, pendidikan karakter menurut Albertus (2010) mestinya menyertakan tiga basis desain dalam pemrogramannya. Tanpa tiga basis itu, program pendidikan karakter, sepertinya hanya menjadi wacana semata. Tiga basis yang dimaksud adalah[6]:
1. Berbasis Kelas
Desain pendidikan karakter berbasis kelas. Desain ini berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar di dalam kelas. Konteks pendidikan karakter adalah proses relasional komunitas kelas dalam konteks pembelajaran. Relasi guru-pembelajar bukan monolog, melainkan dialog dengan banyak arah sebab komunitas kelas terdiri dari guru dan siswa yang sama-sama berinteraksi dengan materi. Memberikan pemahaman dan pengertian akan keutamaan yang benar terjadi dalam konteks pengajaran ini, termasuk di dalamnya pula adalah ranah noninstruksional, seperti manajemen kelas, konsensus kelas, dan lain-lain, yang membantu terciptanya suasana belajar yang nyaman.
2. Berbasis Kultur Sekolah
Desain pendidikan karakter berbasis kultur sekolah. Desain ini mencoba membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa. Untuk menanamkan nilai kejujuran tidak cukup hanya dengan memberikan pesan-pesan moral kepada anak didik. Pesan moral ini mesti diperkuat dengan penciptaan kultur kejujuran melalui pembuatan tata peraturan sekolah yang tegas dan konsisten terhadap setiap perilaku ketidakjujuran.
3. Berbasis Komunitas
Desain pendidikan karakter berbasis komunitas. Dalam mendidik, komunitas sekolah tidak berjuang sendirian. Masyarakat di luar lembaga pendidikan, seperti keluarga, masyarakat umum, dan negara, juga memiliki tanggung jawab moral untuk mengintegrasikan pembentukan karakter dalam konteks kehidupan mereka. Ketika lembaga negara lemah dalam penegakan hukum, ketika mereka yang bersalah tidak pernah mendapatkan sanksi yang setimpal, negara telah mendidik masyarakatnya untuk menjadi manusia yang tidak menghargai makna tatanan sosial bersama.
Pendidikan karakter hanya akan bisa efektif jika tiga desain pendidikan karakter di atas dilaksanakan secara simultan dan sinergis. Tanpanya, pendidikan di Indonesia hanya akan bersifat parsial, inkonsisten, dan tidak efektif. Sehingga, yang muncul pun adalah tokoh-tokoh “ternama” seperti Gayus Tambunan, Miranda Gultom, Ariel-luna atau kasus kekerasan jemaah Ahmadiyah dan yang sejenisnya.
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Apapapun program, desain dan metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi yang berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi misi antara anggota komunitas sekolah dan kebijakan sekolah itu sendiri. Selain di sekolahpun, pemberian pendidikan karakter juga harus tetap perlu diberikan di lingkungan keluarga.
Mengembangkan basis psikologis-akademis, dimana integasi akademis merupakan jiwa (soul) bagi setiap kinerja lembaga pendidikan, tetap menjadi tantangan besar bagi pembentukan karakter bangsa. Dan satu lagi yang tidak kalah penting selain tiga basis di atas, maka persoalan evaluasi pun harus tetap dilakukan. Evaluasi bisa dilakukan secara integral antara pihak sekolah dengan pihak orang tua. Semakin sering evaluasi dilakukan, maka semakin sedikit kesalahan yang dilakukan. Pepatah lama mengatakan[7] “the experience is the best teacher in life,” pengalaman adalah guru terbaik dalam kehidupan.
--------------------------------------------
[1] Angkasa, Ig Kingkin Teja. 2010. Merealisasikan Pendidikan Karakter. Artikel Opini Koran Kompas. Available at http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/16/1611285/Merealisasikan.Pendidikan.Karakter. diakses pada 13 Februari 2011pukul 15.34 wib
[2] Ya’kub, M. Edi. 2010. 'Quo Vadis' Pendidikan Karakter?. Artikel Opini Koran Kompas. Available at http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/16/1611285/Merealisasikan.Pendidikan.Karakter. akses pada 13 Februari 2011 pukul 17.07 wib
[3] Suyanto. 2009. Urgensi Pendidikan Karakter. Artikel Opini di situs resmi Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional. Available at http://www.mandikdasmen.depdiknas.go.id/web/pages/urgensi.htm. Akses pada 13 Februari 2010 pukul 16.50 wib
[4] Zuriah, Nurul. 2007. Pendidikan Moral dan Budi Pekerti dalam Perspektif Perubahan. Bumi Aksara: Jakarta. 117
[5] Albertus, Doni Koesoema. 2010. Mengembangkan Kultur Akademik Bagi Pembentukan Karakter Bangsa. Makalah Konferensi Asosiasi Psikologi Pendidikan. Malang: Program Studi Psikologi Universitas Malang
[6] Albertus, Doni Koesoema. 2010. Pendidikan Karakter Integral. Artikel. available at http://www.pendidikankarakter.org/index.php?p=2_2 akses pada 15 Februari 2011 pukul 21.02 wib
[7] Arifin, Zaenal. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Hal. 293
*Makalah ini disampaikan pada Seminar Psikologi Pendidikan, Rabu 16 Februari 2011 di Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini