Kasus kekerasan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia belakangan terakhir telah menjadi sorotan sebagian umat Islam Indonesia. Mayoritas umat muslim mengaharapkan, agar Jemaat Ahmadiyah menghentikan aktifitas ibadah dan tidak menyebarkan pahamnya itu.
Oleh: Nur Haris Ali
Oleh: Nur Haris Ali
Menanggapi polemik kekerasan Ahmadiyah belakangan terakhir itu, Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia (PPUII) melalui Organisasi Pondok Pesantren UII (OSPP UII), Sabtu (26/2), mengadakan acara Diskusi Publik yang dibuka untuk umum.
Tema diskusi "Menalaah Kasus Ahmadiyah dari Multiperspektif," itu dibuka secara resmi oleh Pengasuh PPUII Ust. Dr. Muhammad Roy, MA. Dalam sambutannya, Ust. Roy mengatakan, kekerasan antar agama sudah berlangsung lama. Katanya, jika tidak diselesaikan akan berakibat perpecahan diantara masyarakat dan menjadikan negara Indonesia dilanda krisis iman dan moral karena mengedepankan kekerasan bukan fikiran.
Acara yang dimulai tepat pukul 09.15 wib itu menghadirkan tiga narasumber: Simon Ali Yaser, petinggi Ahmadiyah Lahore, Ust. Irfan S. Awwas, sekjen Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) dan Dr. Yusdani, M.Ag, pakar hukum Islam dan pemikir liberal. Sementara yang bertindak sebagai moderator adalah Ari Wibowo, SH.,SH.I, alumni PPUII dan juga mahasiswa pascasarjana Hukum Islam UII.
Tiga Perspektif
Bertempat di aula utama PPUII Condongcatur, Narasumber pertama, Simon Ali Yaser dalam uraiannya mengatakan, Ahmadiyah di Indonesia terbagi menjadi dua: Lahore dan Qodliyan. "Untuk Lahore, itu tidak menganggap bahwa Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan mujadid. Sementara yang Qodliyan, menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yang tidak membawa syariat," katanya.
Ust. Dr. Muhammad Roy, ikut menikmati diskusi sampai selesai acara (foto: haris) |
Kubu Majelis Mujahidin Indonesia, Ust. Irfan S. Awwas, dalam uraiannya lebih menekankan bahwa kasus Ahmdiyah ini bukan persoalan absennya negara dalam melindungi warganya. Ia lebih menyoroti bahwa adanya kekerasan Ahmadiyah ini bisa muncul karena jemaat Ahmadiyah mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi terkhir setelah Nabi Muhammad SAW. "Begitu ia (Mirza Ghulam Ahmad) mengaku sebagai nabi terakhir, baru para muslim ini merasa tersinggung. Itu penistaan agama namanya."
Salah satu peserta dari mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Jogja sedang mengajukan pertanyaan. (foto: haris) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini