gambar dari google.com |
Dan, seperti janji saya ketika lunching “rumah” ketiga saya ini, saya akan men-data base-kan semua hal yang perlu saya data base-kan di sini.
Inilah tulisan saya itu:
***
Enam bulan sudah saya belajar di semester 4 Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia. Artinya satu semester telah terlewati. Ada banyak hal yang saya dapati di semester 4 ini, baik itu terkait persoalan mata kuliah maupun hal lainnya.
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin membicarakan dua hal, yaitu mata kuliah dan dampaknya terhadap diri saya. Tulisan ini akan lebih menitikberatkan pada refleksi saya, setelah mengikuti perkuliahan Filsafat yang diampu oleh dosen Alif Lukmanul Hakim, M.Phil. Semoga bermanfaat!
Berfilsafat dengan Mata kuliah
Selama semester 4 ini, ada beberapa mata kuliah baru yang menurut saya menarik, diantaranya adalah Psikolgi Islami dan Filsafat. Kedua mata kuliah ini bertepatan berada di hari dan ruangan yang sama, hari Senin, ruang 03.09. Letak perbedaan dari kedua mata kuliah ini adalah, masalah waktu dan pembahasannya. Jam 07.00 untuk Psikologi Islam, dan jam 13.00 untuk Filsafat.
Psikolgi Islam berbicara mengenai bagaimanakah pandangan Islam tentang objek-objek psikologi, atau bisa juga diartikan sebagai sebuah ilmu tentang manusia yang kerangka konsepnya benar-benar dibangun dengan semangat Islam, yaitu al Qur’an dan Sunnah Nabi (al Hadits) dengan memenuhi syarat-syarat ilmiah. Demikian salah satu pandangan tentang konsepsi Psikologi Islam sebagaimana diungkapkan oleh Prof. Dr. Djamaluddin Ancok dan Fuad Nashori dalam bukunya Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi (p.147). Dari konsepsi ini, saya merasa cukup jelas dan tidak mempersoalkan kembali apa itu Psikologi Islam, walaupun sebenarnya banyak perdebatan di dalamnya, terkait islamisasi ilmu, lebih mengkrucut lagi islamisasi psikologi.
Ya! Secara pribadi saya merasa memang demikian, ada islamisasi psikologi di tubuh Psikologi Islam. Dalam prosesnya, Psikologi Islam memiliki beberapa fase yang meyakini bahwa psikologi modern benar-benar dapat menjelaskan kondisi dan ajaran Islam secara ilmiah. Ada kecenderungan untuk menyesuaikan teori Islam dengan teori barat atau menyebut teori psikologi Barat adalah teori Psikologi Islam. Dalam buku Agenda Psikologi Islam karangan Fuad Nashori, fase ini disebut dengan fase terpesona (p.35), dan hal inilah yang menurut saya kemudian, ada proses islamisasi psikologi di dalam tubuh Psikologi Islami itu sendiri.
Berbeda dengan mata kuliah yang kedua, yaitu Filsafat. Banyak pertanyaan yang muncul di otak saya terkait mata kuliah yang “berat-keras” ini. Dalam tulisan ini, saya mencoba untuk keluar dari definisi Filsafat seperti yang diungkapkan oleh para ahli. Karena filsafat, ia berbicara dalam konteks yang lebih luas. Tidak sebatas hanya sebagai ilmu saja, akan tetapi ia memiliki bagian-bagian tersendiri.
Saya akan mengawali pembicaraan ini dengan sebuah pertanyaan tentang arti penting dari sebuah Filsafat. Ketika itu, saya bertanya kepada dosen saya, “Berarti Pak, Filsafat itu ilmu?,” dosen saya menjawab, “Lebih dari sekedar itu, Filsafat itu ibarat polisi yang mengatur lalu lintas sains, apakah ilmu itu melanggar etika, atau berjalan sesuai pada relnya. Filsafat juga mengkaji sesuatu secara mendalam, sehingga Filsafat itu selalu ragu, bertanya-tanya, heran, dan kritis.”
Di satu sisi saya bisa memahami penjelasan yang disampaikan dosen saya di atas, namun di sisi lain, pikiran abstrak masih terbang melayang bebas di kening saya. Hal itu kemudian yang memaksa saya untuk terus “mengembara” mencari konsepsi yang tepat tentang Filsafat, hingga suatu hari, di pertemuan kuliah yang selanjutnya, dosen saya membagi tiga poin penting—menurut saya—tentang arti dari Filsafat. Pertama, Filsafat adalah disiplin ilmu. Saya mengartikan disiplin ilmu ini sebagai wadah dari sebuah kajian, karena dalam ilmu itu, akan dibahas persoalan demi persoalan. Kedua, Filsafat adalah metode berfikir, yaitu memikirkan sesuatu dengan atau secara mendalam, ia memiliki beberapa metode, seperti metode analisis abstraksi dan masih banyak lagi yang lainnya. Kemudian yang terakhir, ketiga, Filsafat adalah alat uji untuk ilmu-ilmu lain, apakah, misal, Psikologi itu sudah sesuai dengan jalannya atau belum.
Beberapa penjelasan di atas rupanya belum membuat saya puas. Hal ini kemudian yang membuat saya untuk mencari kembali arti penting di balik kata Filsafat. Mungkin karena hal itulah, penampilan saya sedikit—sebenarnya banyak—yang bilang berubah, seperti rambut gondrong dan seterusnya. Tapi hal itu saya anggap sebagai lalu lalang saja.
Berfilsafat dari Buku ‘babon’
Ketika teman saya presentasi di depan kelas, ada salah satu teman saya yang duduk di dekat kursi saya mengeluarkan satu buku tebal berwarna putih buram, buku itu berjudul Persoalan-persoalan Filsafat. Kata dosen saya, buku itu sangat penting dan bagus, buku itu adalah buku ‘babon’ dari Filsafat. Mendengar dosen saya berkata demikian, akhirnya buku itu saya pinjam diesok harinya, lalu saya fotocopy, kemudian saya coba untuk mencari arti lain Filsafat dari buku itu. Hingga akhirnya, saya (merasa) menemukan satu konsepsi, yang menurut kata hati saya, sangat tepat, yaitu:
“Filsafat adalah satu bagian dari keyakinan-keyakinan yang menjadi dasar dari perbuatan seseorang (p.26). Dan Filsafat adalah usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan (p.12).”
Dari konsepsi ini, maka Filsafat berusaha untuk meng(k)ombinasikan hasil bermacam-macam sains dan pengalaman kemanusiaan sehingga menjadi pandangan yang konsisten. Demikian ‘segelintir’ gambaran Filsafat sebagaimana dituliskan oleh Harold H. Titus, Marilyn S. Smith, dan Richard T. Nolan, pengarang buku Persoalan-persoalan Filsafat tersebut.
Kita Berfilsafat dengan Kajian Filsafat (Filsafati)
Menurut beberapa ahli, sebenarnya banyak cara untuk berfilsafat kalau kita menginginkannya. Salah satunya seperti yang diungkapkan oleh Will Durant dalam “The Story of Philosophy” (1926) sebagaimana diterangkan dosen saya dalam perkuliahan Filsafat, yaitu kita bisa berfilsafat dengan:
1. Logika (ilmu tentang berfikir valid)
2. Estetika (filsafat keindahan, seni)
3. Etika (filsafat moral)
4. Politika (studi organisasisosial yang ideal, yaitu monarki, demokrasi, dan lain-lain)
5. Metafisika (studi tentang hal-hal di belakang yang nampak, fisik)
Secara singkat, saya mengartikan berfilsafat dengan kajian filsafat adalah kita berfilsafat, namun dengan menggunakan cabang-cabang utama filsafat sambil tetap mempertimbangkan cabang-cabang yang khusus. Lima cabang di atas adalah filsafati Filasaf yang umum dan juga khusus, sementara cabang yang hanya khusus saja diantaranya adalah Filsafat Ketuhanan, Filsafat Sejarah, Filsafat Umum, Filsafat Politik, Filsafat Hukum, Filsafat Bahasa, dan Filsafat Komunikasi. Tiap ilmu yang dikaji secara mendalam akan memperlihatkan bahwa di dalamnya terdapat problema filsafat, dan berawal dari situlah maka kita bisa berfilsafat.
Dampak Berfilsafat
Kalau boleh jujur, dari kedua mata kuliah di atas, saya cenderung lebih menyukai untuk mata kuliah yang disebutkan terakhir. Kenapa demikian? karena saya merasa banyak manfaat yang saya peroleh. Mungkin karena saya—dengan tidak bermaksud untuk sombong—telah berfilsafat, yang mencoba untuk terus kagum, ragu, heran, dan merasa tidak puas dengan apa yang saya peroleh di mata kuliah kedua ini. Secara tidak sadar, saya sebenarnya telah mengiyakan manfaat mempelajari Filsafat sebagaimana diungkapkan oleh dosen saya, “Manfaat (mempelajari) Filsafat; anda akan kritis terhadap permasalahan sehari-hari, peka terhadap persoalan-persoalan kemanusiaan, melatih curiosity, dan membimbing (Anda terhadap) sikap hidup keagamaan.”
Namun, saya kurang bisa begitu memahami ketika saya mencoba untuk meng-cross check pemahaman yang saya peroleh ini dengan pemahaman yang diterima oleh beberapa teman saya. Dari beberapa teman yang saya ajak berdiskusi terkait Filsafat, mereka mengatakan, “Paham, tapi sedikit bingung.” Dari jawaban ini, muncul tanda tanya besar dalam benak saya, “Apakah ini kemudian yang membuat mereka berbicara sendiri di dalam kelas ketika perkuliahan Filsafat?,” karena ada sebagain teman yang mengaku demikian. Saya hanya bisa berkata, “Mungkin mereka sedang berfilsafat.” Karena sebenarnya, setiap orang memiliki filsafat sendiri-sendiri, walaupun mungkin mereka tidak sadar akan hal tersebut. Entahlah, saya tidak tahu.
Hal di atas bisa jadi dikarenakan hobi dan minat masing-masing mahasiswa berbeda-beda. Karena sejauh yang saya ketahui, setiap manusia itu unik, sebagaimana al Qur’an telah merekamnya dalam surah al Mu’minuun ayat 14:
“...Kemudian Kami jadikan dia (manusia) makhluk yang unik. Maka Maha Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.”
Kata kholqon aakhor dalam surah di atas, saya similarisasikan dengan kata “berbeda-beda” dan tentu, hobi serta minat teman-teman saya untuk masing-masing mata kuliah juga berbeda-beda. Sehingga, hal itulah yang mempengaruhi perilaku mereka dan saya dalam berfilsafat.
Akhirnya, manfaat dari mata kuliah ini sangat terasa bagi saya pribadi. Hal ini tentu tak terlepas dari sosok seseorang yang telah mendidik saya, Alif Lukmanul Hakim, M.Phil. Terima kasih Pak :-)
Bahan Bacaan
Ancok, Djamaludin & Fuad N.S. 2008. Psikologi Islam: Solusi Islam atas Problem-problem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Departeman Agama RI. 1978. Al Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama
Magee, Bryan. 2008. The Story of Philosophy (Marcus Widodo, Hardono Hadi—penerj.) Yogyakarta: Kanisius
Nashori, F. 2002. Agenda Psikologi Islami. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Titus, Harold H., Marilyn S. Smith & Richard T. Nolan. 1984. Living Issues in Philosophy (Pesoalan-persoalan Filsafat—Rasjidi.penerj). Jakarta: Bulan Bintang
Makasih ya Mas Haris..Izin share ya Mas haris yg cerdas, alim, dan baik hati..
BalasHapus