Sepotong Cerita Lembut Tentang Seorang Ibu: Coretan Refleksi dari Novel Negeri 5 Menara

Ada potongan cerita menarik dari sebuah novel Negeri 5 Menara buah karya A. Fuadi. Potongan cerita itu ada di halaman 137. Kurang lebih ceritanya demikian:

Alif, tokoh utama dalam cerita Negeri 5 menara, memiliki seorang ibu yang biasa ia panggil dengan sebutan
amak.

Amak
adalah seorang perempuan berbadan mungil tapi punya idealisme raksasa.

Amak
yang kesehariannya mengajar SD di desanya itu, tidak hanya sosok guru yang datang tepat waktu, tapi juga awal waktu. Amak adalah satu-satunya guru yang selalu datang paling pagi. Bahkan, mengalahkan Ajo Pian, penjaga sekolah. Sehingga, amak tidak jarang datang ke sekolah dengan membuka sendiri pintu pagar dan kelas-kelas. Sambil menunggu guru lain dan para murid datang, ia sibuk mematangkan buku persiapan mengajarnya.

Sementara di rumah,
amak adalah seorang ibu yang sangat perhatian. Suatu kali, Alif pulang bermain bolah di sawah yang baru saja dipanen. Mukanya centang perenang, rambut awut-awutan dan badannya kotor seperti kebau dari kubangan. Matanya bengkak dan bibirnya luka biru karena bacakak—berkelahi setelah main bola. Amak tidak marah-marah.

“Apakah kawan-kawan yang main dan bekelahi tadi orang Islam?,” tanya
amak lembut.
Alif mengangguk sambil memajukan bibirnya. Merengut.

“Apa perintah Nabi kita kepada sesama muslim?”


“Memberi salam.”


“Yang lain?”


“Tersenyum.”


“Yang lain?”


“Bersaudara.”


“Nah, bersaudara itu berteman, tidak berkelahi, saling menyayangi. Itulah perintah Nabi kita. Mau ikut Nabi?”


“Mau.”


“Jadi harus bagaimana ke kawan-kawan?” Kali ini
amak bertanya sambil tersenyum lembut. Damai.

“Bersaudara dan tidak berkelahi,” kata Alif spontan

“Itu baru anak amak dan umat Nabi Muhammad,” kata amak sambil merengkuh kepalanya dan menyuruhnya mandi.

Begitulah sepotong cerita yang membuatku menarik. Menarik karena potongan cerita itu mampu mengingatkan kita—setidaknya untuk aku sendiri—akan keramahan dan kelembutan seorang ibu kepada anaknya. Di saat hati seorang buah hati sendang rusuh dan nyeri, ia selalu datang dengan membawa sepotong senyuman dan merawat hatinya yang buncah. Senyumannya adalah obat yang sejuk bagi anaknya.



Kawah Condrodhimuko UII 01.07, waktu Ashar.


—coretan ini sebagai obat hati penulis atas kerinduannya kepada seorang ibundanya tercinta—

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini