Oleh Nur Haris Ali
RABU (18/8) kemarin tidak sengaja saya membaca koran Kompas halaman lima. Tulisan besar yang terpampang dalam koran terbitan sejak tahun 1965 itu berjudulkan Pidato Kenegaraan: Reformasi Gelombang Kedua. Saya hanya tercengung saja membaca tulisan di koran itu. Saya juga baru tahu, ternyata Kompas melalui tim litbangnya begitu sangat memperhatikan setiap kata yang diucapkan (dikeluarkan.red) oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika pidato kenegaraannya Senin(16/8) kemarin.
Dalam sambutannya, Presiden SBY dianggap tidak banyak merespons persoalan-persoalan politik dan hukum yang kini tengah berkembang di masyarakat. SBY malah dianggap lebih memberikan porsi besarnya kepada uraian prestasi pemerintah serta visi jangka panjang pemerintah ke depannya nanti seperti apa. Pidato presiden SBY di hadapan para parlemen kemarin itu juga dinilai tidak menjawab keresahan masyarakat yang tengah berkecamuk. Presiden hanya fokus pada isu ekonomi yang makro, yang tidak berpengaruh langsung kepada rakyat. Sehingga, ia terkesan melupakan polemik yang belakangan terjadi di Tanah Air.
Hal itupun rupanya diakui oleh banyak kalangan. Salah satunya adalah Irgan Chairul Mahfiz, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan yang berpendapat bahwa pidato kenegaraan presiden kemarin itu telah melewatkan sejumlah isu yang belakang terjadi di negeri ini. Lebih lanjut, Irgan memberikan contoh hal-hal yang tidak disinggung oleh presiden antara lain seperti moralitas beragama, khususnya tentang anarkisme yang dilakukan kelompok massa tertentu. Pidato kenegaraan presiden kemarin juga mendapat sorotan dari anggota DPR bahwa SBY sama sekali tidakmenyinggung persoalan pendidikan di negeri ini.
Lihat saja kata yang digunakan presiden SBY dalam pidatonya senin kemarin. Beberapa tekanan yang disampaikan presiden antara lain adalah refleksi tentang kemerdekaan (5 menit), pencapaian sepuluh tahun reformasi (8 menit), dan yang terutama adalah rencana dan visi pembangunan selama tak kurang 17 menit. Sehingga total durasi waktu yang dihabiskan presiden SBY dalam pidato kenegaraannya adalah 42 menit. Hal itu rupanya lebih pendek dibanding pidato tahun sebelumnya(55 menit) (Sumber data: Kompas 18/8)
Secara garis besar, pidato kenegaran presiden SBY kemarin itu memang lebih menekankan bahwa bangsa Indonesia akan memasuki era reformasi gelombang kedua, yang menurut SBY, memiliki karakter tantangan lebih intrinsik. Saya sepakat dengan pernyataan tersebut memang. Karena seperti kita ketahui sendiri, tantangan Indonesia saat ini—walaupun sudah 65 tahun merdeka—tidak malah lebih ringan, justru sebenarnya bangsa ini masih dijajah. Ya! dijajah oleh para kapitalis. Dijajah dengan tindakan-tindakan korupsi, diskriminasi, tindakan anarkisme, ekstrimisme, dan juga terorisme.
Dengan mencoba keluar dari apa yang saya baca di atas, sebenarnya saya juga sedikit mempertanyakan dengan pidato kenegaraan tersebut. Jika tim litbang Kompas dan para kalangan atas (seperti anggota DPR.red) saja menilai bahwa pidato presiden SBY kemarin kurang begitu merespons hal-hal yang dianggap krusial, bagaimanakah dengan respon masyarakat bawah? maka seyogyanya, presiden SBY harus lebih memperhatikan aspek-aspek yang dinilai lebih penting itu. Bukankah pidato kenegaraan seharusnya bisa menyentuh semua permasalahan bangsa yang tengah terjadi?
Presiden SBY seharusnya sangat bisa memperhatikan hal itu. Lebih-lebih persoalan yang baru saja terjadi: ledakan gas elpiji, yang tak sedikit memakan korban, dan penangkapan tiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia di wilayah Indonesia.
Di balik 65 tahun kemerdekaan Indonesia, masih banyak tugas yang tengah menanti. Rakyat harus tetap mendapatkan sentuhan lembut-membahagiakan dari pemerintah. Sentuhan itu harus mengena ke lapisan masyarakat terpencil sekalipun. Bukan hanya sekedar rencana dan visi pembangunan ke depan (yang mungkin hanya janji-janji belaka saja).
Semoga, suara-suara rakyat kecil yang hanya bisa berceloteh ini dapat didengarkan dengan pendengaran yang baik oleh pemerintah. Demikian, bagaiamana menurut anda? []
RABU (18/8) kemarin tidak sengaja saya membaca koran Kompas halaman lima. Tulisan besar yang terpampang dalam koran terbitan sejak tahun 1965 itu berjudulkan Pidato Kenegaraan: Reformasi Gelombang Kedua. Saya hanya tercengung saja membaca tulisan di koran itu. Saya juga baru tahu, ternyata Kompas melalui tim litbangnya begitu sangat memperhatikan setiap kata yang diucapkan (dikeluarkan.red) oleh presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika pidato kenegaraannya Senin(16/8) kemarin.
Dalam sambutannya, Presiden SBY dianggap tidak banyak merespons persoalan-persoalan politik dan hukum yang kini tengah berkembang di masyarakat. SBY malah dianggap lebih memberikan porsi besarnya kepada uraian prestasi pemerintah serta visi jangka panjang pemerintah ke depannya nanti seperti apa. Pidato presiden SBY di hadapan para parlemen kemarin itu juga dinilai tidak menjawab keresahan masyarakat yang tengah berkecamuk. Presiden hanya fokus pada isu ekonomi yang makro, yang tidak berpengaruh langsung kepada rakyat. Sehingga, ia terkesan melupakan polemik yang belakangan terjadi di Tanah Air.
Hal itupun rupanya diakui oleh banyak kalangan. Salah satunya adalah Irgan Chairul Mahfiz, Sekjen Partai Persatuan Pembangunan yang berpendapat bahwa pidato kenegaraan presiden kemarin itu telah melewatkan sejumlah isu yang belakang terjadi di negeri ini. Lebih lanjut, Irgan memberikan contoh hal-hal yang tidak disinggung oleh presiden antara lain seperti moralitas beragama, khususnya tentang anarkisme yang dilakukan kelompok massa tertentu. Pidato kenegaraan presiden kemarin juga mendapat sorotan dari anggota DPR bahwa SBY sama sekali tidakmenyinggung persoalan pendidikan di negeri ini.
Lihat saja kata yang digunakan presiden SBY dalam pidatonya senin kemarin. Beberapa tekanan yang disampaikan presiden antara lain adalah refleksi tentang kemerdekaan (5 menit), pencapaian sepuluh tahun reformasi (8 menit), dan yang terutama adalah rencana dan visi pembangunan selama tak kurang 17 menit. Sehingga total durasi waktu yang dihabiskan presiden SBY dalam pidato kenegaraannya adalah 42 menit. Hal itu rupanya lebih pendek dibanding pidato tahun sebelumnya(55 menit) (Sumber data: Kompas 18/8)
Secara garis besar, pidato kenegaran presiden SBY kemarin itu memang lebih menekankan bahwa bangsa Indonesia akan memasuki era reformasi gelombang kedua, yang menurut SBY, memiliki karakter tantangan lebih intrinsik. Saya sepakat dengan pernyataan tersebut memang. Karena seperti kita ketahui sendiri, tantangan Indonesia saat ini—walaupun sudah 65 tahun merdeka—tidak malah lebih ringan, justru sebenarnya bangsa ini masih dijajah. Ya! dijajah oleh para kapitalis. Dijajah dengan tindakan-tindakan korupsi, diskriminasi, tindakan anarkisme, ekstrimisme, dan juga terorisme.
Dengan mencoba keluar dari apa yang saya baca di atas, sebenarnya saya juga sedikit mempertanyakan dengan pidato kenegaraan tersebut. Jika tim litbang Kompas dan para kalangan atas (seperti anggota DPR.red) saja menilai bahwa pidato presiden SBY kemarin kurang begitu merespons hal-hal yang dianggap krusial, bagaimanakah dengan respon masyarakat bawah? maka seyogyanya, presiden SBY harus lebih memperhatikan aspek-aspek yang dinilai lebih penting itu. Bukankah pidato kenegaraan seharusnya bisa menyentuh semua permasalahan bangsa yang tengah terjadi?
Presiden SBY seharusnya sangat bisa memperhatikan hal itu. Lebih-lebih persoalan yang baru saja terjadi: ledakan gas elpiji, yang tak sedikit memakan korban, dan penangkapan tiga anggota patroli pengawas perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia di wilayah Indonesia.
Di balik 65 tahun kemerdekaan Indonesia, masih banyak tugas yang tengah menanti. Rakyat harus tetap mendapatkan sentuhan lembut-membahagiakan dari pemerintah. Sentuhan itu harus mengena ke lapisan masyarakat terpencil sekalipun. Bukan hanya sekedar rencana dan visi pembangunan ke depan (yang mungkin hanya janji-janji belaka saja).
Banyaknya kritikan atas pidato kenegaraan presiden SBY tersebut, seharusnya menjadi cambuk bagi SBY untuk tidak hanya berapologi. Presidien SBY bersama paramenterinya harus segera bergegas. Merespon kritik dan saran yang bermunculan dengan strategi dan implementasi yang jelas.
Semoga, suara-suara rakyat kecil yang hanya bisa berceloteh ini dapat didengarkan dengan pendengaran yang baik oleh pemerintah. Demikian, bagaiamana menurut anda? []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini