MEMBINGKAI PERBEDAAN DALAM KESEMPURNAAN BERKURBAN

Oleh Nur Haris Ali

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta, benda dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS At Taubah [9:20])

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah (menyembelih hewan qurban dan mensyukuri nikmat Allah) “ (QS. Al Kausar [108:1-2])

Saat ini, kita masih dalam suasana Idul Adha 1431 Hijriyah. Bulan Haji atau bulan Dzulhijjah ini memang termasuk dalam jajaran bulan yang dimuliakan oleh Allah Swt. Dalam bulan tersebut ada sebuah peristiwa besar, namun tidak sedikit dari kita yang—mungkin—lupa: pengurbanan agung yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as. terhadap puteranya Ismail dalam rangka memenuhi perintah Allah Swt.

Setiap ibadah pasti ada hikmahnya, meskipun, tidak semua orang melalui penalaran dan akal- pikirannya dapat mengetahui hikmah tersebut. Pada tahun ini, hikmah ibadah tersebut dapat kita ambil dari balik perbedaan penetapan hari raya Idul Adha, 10 dzulhijjah, yang dikeluarkan oleh dua ormas (organisasi masyarakat) besar, sorotan negeri ini: Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Umat Muhammadiyah, tahun ini, menjalankan Sholat Ied sesuai keyakinan dan maklumat Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Selasa (16/11) kemarin, lebih awal satu hari dibanding umat Nahdlatul Ulama’ (seterusnya dibaca kaum Nahdliyin) yang menjalankan Sholat Ied pada Rabu (17/11) kemarin.

Beberapa hikmah yang dapat kita ambil dari perbedaan penetapan tersebut adalah sebagai berikut: pertama, menjadikan umat muslim sadar (rumongso: Jawa) akan pentingnya hari qurban ini. Biasanya, sejauh pengamatan penulis, jika penetapan jatuhnya hari raya terjadi secara bersamaan—tidak berbeda penetapan—tak banyak masyarakat yang bertanya kepada para ahli terkait kapan jatuhnya hari qurban itu. Artinya, jika terjadi dua perbedaan penetapan hari qurban seperti saat ini, maka minimal publik akan bertanya dan tentu sadar, “Sebenarnya kapankah jatuhnya hari qurban tahun ini?” Pertanyaan yang demikian inilah yang juga saya alami sendiri ketika ditanya oleh salah seorang sabahat saya terkait kapan jatuhnya hari qurban tahun ini. Mau tidak mau, saya pun harus mencari sumber literarur untuk menjawab—dan  bertanggung jawab—atas jawaban yang saya berikan kepada sahabat saya tersebut. Sehingga, secara tak langsung hal itu membuat saya sadar akan pentingnya hari qurban ini.

Selanjutnya, hikmah kedua yang dapat kita petik dari perbedaan penetapan di atas adalah memberikan jangka waktu yang lebih lama dari biasanya bagi umat Muslim yang ingin menikmati hasil ibadah penyembelih hewan qurban. Yang biasanya hanya menikmati hewan qurban cuma dalam waktu 4 hari, maka tahun ini pun bisa lebih lama. Tentu dengan niatan yang tepat dan tak melarang syari’at-syar’iat Islam.  

Selain selain dua di atas, hikmat ketiga—menurut Profesor Azyumardi Azra—ialah  ibadah kurban merupakan sebuah ibadah yang sesuai dengan kandungan makna qurban itu sendiri: bertujuan membuat seseorang lebih qarib, dekat dengan Tuhannya, sekaligus dengan manusia lainnya. Hewan sembelihan kurban mendekatkan hubungan dan ikatan batin mereka yang berharta dengan orang-orang tak berpunya, yang—mungkin—makan daging hanya sekali dalam setahun ketika diberi daging kurban saja. Di luar hikmat itu semua, masih banyak hikmah-hikmah lain yang dapat kita ambil seperti dari sisi sosial kemasyarakatan, yang berdampak sangat dalam. Terlihat ketika pelaksanaan pemotongan hewan qurban: Para mustahik yang akan menerima daging-daging kurban pun berkumpul. Mereka satu sama lainya meluapkan rasa kegembiraaan dan sukacitanya lebih lama dari biasanya, dalam bingkaian persatuan: berqurban. Yang kaya dan yang miskin saling berpadu, bertemu dan berinteraksi sesamanya. Yang biasanya hanya berkumpul 4 hari, maka semakin panjang dengan tambahan satu hari yaitu hari tasyrik terakhirnya versi Pemerintah (ulil amri). Semuanya hikmat di atas, tidak mungkin kita dapatkan jika tidak didasari atas rasa kebersamaan dan kecintaan dengan sesama muslim: boleh berbeda tapi tetap dalam bingkaian persatuan: berqurban.
 
Dari Perbedaan Menuju Kesempurnaan Berqurban
Secara etimologi, qurban atau kurban berarti mendekatkan diri. Secara terminologi kurban berarti berjuang secara benar atas dasar taqwa dan sabar, baik harta, tenaga, maupun jiwa dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah serta memperoleh keridhaan-Nya (republika.com 16/11). Kerapkali harta, tenaga dan jiwa yang menjadi ‘korban’, belum menjadi ‘kurban.’ Hal ini bisa jadi, karena ketika dikeluarkannya properti tersebut bukan / tidak atas dasar taqwa, sabar dan ikhlas kepada Allah Swt.

Beberapa persyaratan untuk menuju kesempurnaan berqurban adalah sebagai berikut: Pertama, secara fisik hewan kurban yang disembelih adalah binatang ternak yang sehat, sempurna jasadnya dan cukup usianya. Kedua, penyembelihan dilakukan dengan cara yang sebaik-baiknya—sesuai syarat Islam dalam penyembelihan—sehingga hewan yang disembelih tidak tersiksa dan sia-sia. Ketiga, daging kurban harus dibagikan kepada orang-orang sekitar secara merata. Keempat, dan ini yang paling penting, kurban dilaksanakan dengan ikhlas karena iman dan taqwa kepada Allah Swt. Hal itu ditegaskan dalam Al-Qur’an surah Al Hajj (22 : 36-37) : “Dan Telah kami jadikan untuk kamu unta-unta itu sebahagian dari syi'ar Allah, kamu memperoleh kebaikan yang banyak padanya, Maka sebutlah olehmu nama Allah ketika kamu menyembelihnya dalam keadaan berdiri (dan telah terikat). Kemudian apabila telah roboh (mati), Maka makanlah sebahagiannya dan beri makanlah orang yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami telah menundukkan unta-unta itu kepada kamu, Mudah-mudahan kamu bersyukur [36] Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.[37].”

Akhirnya, sebagai penutup tulisan ini, saya mengajak, mari kita semua untuk saling menjaga toleransi atas terjadinya perbedaan penetapan hari raya qurban tahun ini. Setiap ibadah dan ketetapan yang diputuskan pasti mengandung hikmah. Tak baik bila kita mencari perselisihan diantara sesama muslim, apalagi membesar-besarkannya. Lebih baik kita berdoa: semoga keikhlasan mereka yang berqurban tahun ini, karena mengikuti sunnah nabi Ibrahim as. bisa menjadi teladan bagi kita semua, dan, kita pun mendapat kesempurnaan dalam menjalankan ibadah Idul Adha tahun ini. Amin. Wallahu ’alam bis showaab.

--Terbit di buletin Al Lu'lu' Pondok Pesantren Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, Jum'at (19/11)--

1 komentar:

  1. Mari berqurban dengan hewan qurban yang memenuhi syrat sah, sehat, gemuk dan tidak cacat, harus dipahami dengan baik, semoga qurban ini bermanfaat dan memberi manfaat kepada sesama dan bernilai ibadah mulia

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini