REVIU ARTIKEL SUWARDJONO "REVOLUSI PARADIGMA PEMBELAJARAN PERGURUAN TINGGI: DARI PENGULIAHAN KE PEMBELAJARAN”

Prolog
Hari ini (Rabu, 24/11) saya teringat dengan pertemuan awal di semester lima kelas Bu Ike Agustina, dosen saya, mata kuliah Asesmen Bakat dan Kognitif (ASBAK) beberapa bulan lalu. Seperti biasa, pertama kali masuk, Mbak Ike, begitu dosen saya itu biasa di sapa dengan akrab, menjelaskan silabus perkuliahan dan beberapa kontrak belajar yang harus dipenuhi dan disepakati selama perkuliahan ASBAK di kelasnya nanti berjalan. Saya, yang dulu pernah bertemu di kelas lain dengan Mbak Ike karena beliau menggantikan dosen yang berhalangan hadir, sedikit lebih tahu bagaimana dosen saya itu mengajar.

Dalam tulisan saya ini, saya tidak sedang (atau akan) membicarakan bagaimana dosen saya itu mengajar. Tapi, dari pertemuan pertama mata kuliah ASBAK itu, ada satu hal yang menurut saya  "harus" saya share-kan kepada Anda. Satu hal itu adalah tugas dari Mbak Ike untuk membaca dan mereviu artikel dari seorang Guru Besar di Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc.


Kenapa saya mengatakan "harus" saya share-kan kepada Anda?


Saya tanya dahulu Anda, "Apakah Anda mahasiswa?."

Jika Anda menjawab, "Ya. Saya mahasiswa" maka saya akan mengatakan:


"Selamat! Anda beruntung membaca dan menemukan tulisan saya ini." 

Begini, dalam tulisan saya ini, saya akan mengajak Anda untuk juga mereviu tulisan Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc. yang saya maksudkan di atas. 

Anda penasaran dengan artikel itu? Tenang. Artikel asli dari Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc. juga bisa Anda click, Anda unduh (kemudian Anda baca sendiri) di beberapa link yang telah saya buat di bawah ini. Dan, inilah reviu yang saya buat atas artikel Prof. Dr. Suwardjono, M.Sc. tersebut.

***

Membaca makalah Suwardjono ini sangat menggugah motivasi saya. Ini benar-banar makalah yang menarik dan patut untuk dijadikan bahan diskusi sebelum mahasiswa tersebut mengenyam pendidikan di bangku kuliah lebih dalam. Suwardjono dalam artikelnya tersebut memberikan sebuah gagasan baru dalam melalukan perubahan pemahaman tentang arti kuliah dan belajar di perguruan tinggi. Ia ingin menciptakan citra (image) baru tentang belajar di perguruan tinggi yang sakarang ini, di matanya, mengalami disfungsi. Suwardjono juga menginginkan untuk menghilangkan kesenjangan harapan antara peserta didik dan dosen/institusi pendidikan sehingga kuliah (dalam arti yang sebenarnya) merupakan kegiatan yang menyenangkan tanpa meninggalkan semangat dan kegigihan ilmiah atau profesional (scientific or professional vigor and rigor)

Menjawab pertanyaan pertama dalam artikel tersebut "Apakah perilaku yang digambarkan dalam artikel ini merefleksi anda atau komunitas di sekitar anda?" maka jawaban saya adalah iya. "Mengapa demikian?" banyak sarjana baik selama belajar maupun setelah lulus dari perguruan tingginya, belum memiliki empat hal dasar yang telah dikemukakan oleh Suwarjono: berbicara (speak), mendengarkan (listen), menulis (write). dan membaca (read).(hear) dan bincang (talk). Kebanyakan dari mereka masih pada taraf dengar

Di samping itu, jika mahasiswa tidak bersedia untuk membaca agar tahu sesuatu, maka proses pembelajaran sebenarnya tidak akan pernah terjadi. Hal inilah yang paling sering menjadi hambatan dalam proses pembelajaran di negara kita. Sebagian pembelajar (mungkin termasuk penulis) tidak membaca materi sebelum temu kelas dan sangat menggantungkan penjelasan dari dosen. Ini yang saya maksud bahwa artikel Suwardjono ini merefleksi kepada saya atau komunitas di sekitar saya.

Lebih lanjut Suwardjono juga mengatakan bahwa, kondisi belajar-mengajar di perguruan tinggi sampai saat ini belum dapat mengubah secara nyata wawasan dan perilaku pembelajar. Hal ini dapat dibuktikan dengan kualitas penalaran dan pemahaman mahasiswa pada saaat diuji dalam pendadaran atau ujian komprehensif. Ada kemungkinan bahwa pada saat mahasiswa lulus dari perguruan tinggi, mereka hanya bertambah atributnya (seperti gelar) dan sedikit keterampilan. Bila keadaan ini yang memang terjadi, lanjut Suwardjono, maka perguruan tinggi akan menjadi sekadar tempat antre untuk memperoleh tiket masuk ke arena belajar yang yang sesungguhnya yaitu praktik di dunia nyata. Dengan kata lain, mereka yang telah lulus sebenarnya belum pernah menjalani proses belajar seorang sarjana selama menjadi mahasiswa, tetapi hanya pernah hidup sebagai mahasiswa.

Selanjutnya, menjawab pertanyaan kedua dalam artikel tersebut, "Dapatkan perilaku belajar anda berudah radikal (paling tidak dalam program yang sekarang sedang anda ambil)?"ini. Paling tidak, adanya artikel ini mampu menggugah semangat saya untuk kembali memahami bagaimanakah sebenarnya menjadi seorang mahasiswa yang paham akan tujuan belajar dan aspek pembelajaran di perguruan tinggi. maka saya jawab, ya, dapat. Saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan artikel membangun seperti

Kemudian, jawaban saya atas pertanyaan ketiga dalam artikel tersebut, “Apa yang paling mengusik pikiran anda dari gagasan dalam artikel ini?,” saya kira, justru malah semangat menggebu-gebu yang muncul. Saya yakin, ketika mahasiswa manapun yang selesai membaca artikel Suwardjono ini mampu tergugah motivasinya untuk segera bangkit menjadi mahasiswa yang sebanarnya: paham akan tujuan belajar dan proses pembelajaran.

Kemudian pertanyaan yang terakhir, “Seperti apakah dosen yang paling cocok dengan harapan anda?,” maka saya mengharapkan dosen itu mampu memberikan yang terbaik kepada mahasiswanya. Apa yang diketahuinya bisa ditransfer kepada mahasiswanya, di samping mahasiswa itu sendiri juga mencari pengetahuan yang tidak ditransfer oleh dosennya, agar nanti terjadi verifikasi yang tepat, saling mengisi kekosongan yang ada. Dosen itu juga mampu bersikap jujur, misal, jika tidak ahli di bidangnya maka mengatakan yang sejujurnya, dan lagi, dosen itu mampu memberikan suasana hati yang damai ketika para mahasiswanya mengikuti perkuliahannya.
                                                    
Epilog
Sebagai mahasiswa yang awam, saya sangat bersyukur bisa dipertemukan dengan artikel membangun ini. Setidaknya, artikel ini telah memberikan makna tersendiri bagi saya serta menyadarkan saya, bahwa kuliah itu bukan hanya sekedar duduk diam lalu mengandalkan kepada pemberian pengetahuan oleh dosen. Bukan, bukan demikian. Mahasiswa harus memiliki budaya untuk membaca, menulis, berbicara, dan mendengar. Empat hal ini adalah dasar yang harus dimiliki oleh setiap pembelajar di perguruan tinggi. Di samping itu, mahasiswa harus memiliki kemampuan skill di bidang bahasa (inggris, misalnya). Mahasiswa juga harus (setidaknya) memiliki bahan-bahan kuliah seperti buku penunjang. Buku hendaknya diperlakukan sebagai teman atau kekasih sejati: buku harus diajak berdialog. Kemampuan berbahasa merupakan dasar yang sangat penting untuk dapat memahami pengetahuan yang kompleks dan konseptual. 

Akhirnya, reviu ini saya tutup dengan mengutip perkataan Suwardjono dalam artikelnya yang menurut saya sangat memotivasi saya. Banyak jalan menuju sukses pribadi. Perguruan tinggi paling tidak memberi jalan dan kotribusi yang berati untuk menuju sukses pribadi sekaligus suskses bagi masyarakat.Sekian, Terima kasih. [Haris]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini