Lebih dari 30 menit hukuman itu dilakukan di lantai empat gedung Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB). Para maba-miba yang dianggap melanggar itupun hanya bisa menunduk. Diam. Mematuhi perintah para “eksekutor” berjaz almamater biru itu.
Setelah meninjau tempat hukuman yang sunyi itu, pimpinan fakultas pun berujar, “Saya merasakan (ada) situasi psikologis yang tidak nyaman. Kok memilihnya di tempat yang agak sunyi itu, saya tidak tahu apa maksudnya.”
Apakah yang sebenarnnya terjadi di Serumpun 2010 FPSB?
Oleh Nur Haris Ali*
Sore itu, Minggu (8/8), saya sedang berjalan melintas depan hall Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya (FPSB) Universitas Islam Indonesia (UII). Para mahasiswa-mahasiswi baru (maba-miba) dari fakultas yang memiliki jurusan psikologi, ilmu komunikasi, dan D3 bahasa Inggris ini sedang siap-siaga mematuhi perintah yang diberikan panitia. Serumpun (Semarak Ta’aruf Penuh Makna) 2010 adalah tulisan yang terpampang di atas panggung itu. Para pemakai jaz almamater biru dengan bawahan celana jeans itu pun terlihat sedang sibuk menyisir barisan maba-miba.
“Maba-miba!! angkat tinggi-tinggi papan jama’ah kalian!! Cepaaat!!.” Suara teriakan itu menyerbu setiap terlinga manusia yang ada di situ. Ya! Satuan Penertib Lapangan (SPL) sedang melakukan aksinya kepada maba-miba setelah jam istirahat sholat ashar. Suara keras dengan nada membentak itupun kembali kejar-kejaran menelusuri setiap sudut fakultas yang ada di belakang masjid itu. SPL, mahasiswa UII mana yang tak kenal nama itu. Adalah tim yang terdiri dari beberapa orang (biasanya lebih dari 10), yang biasanya identik dengan melakukan perpeloncoan, kekerasan, pembentakan, penghinaan, dan sejenisnya.
Maba-miba hanya bisa menunduk diam. Tak berani melawan perintah pimpinan SPL yang memberikan komando dari atas panggung itu. Para anggota SPL memutar, mengelilingi maba-miba. Menyebar. Menyisir dan membentak. Muka mereka serius sambil memelototi maba-miba.
Seperti biasa, dengan membawa kamera dan surat tugas dari KOBARkobari untuk meliput berita ospek. Saya mendekat ke barisan. Bersiap siaga mengambil gambar dalam aksi SPL.
“Mas…mas…maaf mas, tolong mas, kalau moto (memotret.red) agak mundur mas!,” kata panitia ospek itu kepada saya dengan tiba-tiba. Kalimat itu yang sering dikeluarkan panitia Serumpun 2010 FPSB ketika saya mencoba untuk mengambil gambar berjalannya ospek di fakultas ini. “Ada apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa harus ada jarak selagi tak mengganggu kegiatan panitia?,” dugaan buruk itu mulai menjemput hati saya.
Anehnya, tidak sekali dua kali. Panita berjaz almamater biru UII itu sangat sering menegur saya. Wah…wah…wah…jika terus seperti ini, saya sendiri menganggap, panitia terlalu menghalang-halangi kebebasan saya yang sedang mencoba untuk menjadi seorang jurnalis dalam meliput berita.
Hal inipun rupanya juga dialami oleh teman-teman saya sesama anggota pers mahasiswa dari Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) lain; Feri dari LPM Kognisia dan Sulis dari Red-Aksi. Kami bertiga, sama sekali tak diperbolehkan memotret aksi SPL dengan jarak dekat. Saya pun ambil suara, “Memang kenapa mas nggak boleh memotret dengan jarak dekat?,” panitia hanya bisa menjawab dengan ungkapan tidak tahu. “Maaf mas, saya cuman diperintah atasan saya,” katanya. “Lalu?,” timpal saya. “Ya saya hanya menjalankan tugas dari atasan saya mas,” jawabnya.
Menjalankan tugas? Apakah mereka pikir, saya ini juga tidak sedang menjalankan tugas? Ada apa ini? Apa yang sebenarnya terjadi?? Kok tidak seperti tahun-tahun sebelumnya, yang memberikan kebebasan kepada kami (anggota pers mahasiswa yang bebas—tapi bertanggung jawab—meliput berjalan ospek di fakultas ini).
Dari situ, terjadilah negosiasi panjang antara kami bertiga dengan panitia yang memegang handy talky (HT) itu, hingga akhirnya tim SPL pun selesai melakukan aksinya. Wajar saja, saya sendiri merasa tidak terima dengan perlakuan panitia yang seolah-olah mengekang kebebasan pers (dan kami untuk belajar sebagai seorang jurnalis). Jika alasannya mengganggu berjalannya acara, apakah benar hal itu bisa dibuktikan oleh panitia? Mengganggu yang seperti apa? Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah mereka takut dengan berita yang akan kami tulis??. Tanda tanya besar sudah mulai timbul di hati saya.
Dari tempat itu, kami melihat beberapa panitia dan SPL lari terbirit-birit—seolah-olah takut wajah mereka dikenali para maba-miba—menuju lantai empat gedung FPSB UII. Kami bertiga kemudian bergegas menuju ke tempat di mana SPL berkumpul. Terkejut!! adalah kesan yang timbul di hati saya. Tampak beberapa maba dan miba sedang menunduk-diam, diinterogasi oleh mereka (SLP.red). Kami kemudian mencoba untuk masuk ke dalam, namun dihadang oleh panitia. “Maaf mas, mbak, dari mana?,” tanya panitia berambut ombak itu kepada kami. “Saya dari LPM Himmah, ini teman saya dari LPM Kognisia, dan Red-aksi, kami mau meliput berita ospek,” jawab saya. Setelah panitia itu menanyai kami, panitia yang memegang HT itu pun lantas berkata, “Sebentar, saya lapor pimpinan saya dulu.” Panitia itu kemudian masuk ke dalam (tempat dimana maba-miba diinterogasi).
Beberapa menit kemudian, Tharen, ketua tim advokasi keluar menghampiri kami. Di kertasnya terdapat lembaran bertuliskan peraturan dan tata tertib. “Maaf mas, mbak. Lembaga Pers Mahasiswa hanya boleh masuk satu orang saja!,” katanya sambil menunjukkan peraturan tertulis itu kepada kami.
Lantas bagaimana? Kami bertiga terdiri dari tiga lembaga pers yang berbeda. Setelah bernegosiasi panjang lebar. Singkat cerita, akhirnya kami berhasil. Panitia memperbolehkan kami masuk satu persatu, dengan catatan alokasi waktu maksimal (hanya) lima menit. Luar biasa benar panitia ini! Meliput hanya dalam waktu lima menit bisa dapat apa? Aneh!!.
Tak sempat wawancara. Panita mengelak!. Mereka sibuk dengan interogasi yang dilakukannya kepada maba-miba di tempat suram itu. Saya sendiri cuma bisa memotret. Itu pun selalu dihalang-halangi oleh sliwar-sliweran (mondar-mandirnya.red) panitia.
“Mas, maaf mas. Waktunya sudah habis. Silakan keluar!,” kata panitia itu mengingatkan saya. Hebat betul panitia ini!!. Seperti apa saja? Kenapa mereka begitu membatasi kami??
Saya kemudian keluar dengan rasa jengkel. Dalam hati timbul tanda tanya yang lebih besar dari sebelumnya. “Jangan-jangan adanya SPL di FPSB ini, tak diketahui pimpinan fakultas? Kenapa kami seolah-olah dilarang meliput secara lebih mendalam dipelaksanaan Serumpun FPSB ini? Apakah mereka takut atas apa yang mereka lakukan di tempat tertutup dan suram itu???,” dugaan saya terus mengambang.
Beberapa menit kemudian, panitia berslaiyer warna merah bertuliskan OC di lengan kanannya itu mendekati kami dan berkata, “Mas, mbak, sudahkan?. Silakan sekarang tidak di lantai empat ini!,” perintahnya kepada kami.
Teman saya, Sulis dari Red-Aksi menjawab, “Memang kenapa mas, kami tidak boleh di sini?”
“Ya…biar sama-sama enak aja mbak”
“Enak? Enak gimana mas?”
Panitia yang memegang HT itu tak bisa menjawab.
***
Langit mendung berwarna gelap. Air hujanpun turun dengan memberikan suasana mencekam. Detik demi detik telah berlalu. Hujan pun reda. Tapi bekas air hujan itu masih memadati setiap tanah di muka bumi manusia itu. Suara tetesan air hujan menjadi rintikan kecil. Gerimis. Sunyi. Seram.
Ketika itu, saya melihat jam di handphone yang telah lama ada digenggaman saya. Waktu menunjukkan 16.24 wib. Hampir 30 menit maba dan miba itu diinterogasi. Luar biasa benar panitia ini!! Lama sekali mereka memberikan hukuman. Apa kesalahan maba-miba itu, sehingga lama sekali dalam memberikan hukuman?? Terlihat dari kejauhan muka maba-miba itu berkaca-kaca. Seperti mau menangis.
Saya kemudian mencari-cari nomor seseorang di kontak HP saya. Ketemu. Sus Budiharto. Saya menelfon dekan FPSB itu. Bertanya, apakah beliau mengetahui adanya SPL di kepanitian Serumpun ini atau tidak. Pak Sus, sapaan akrab dekan itu menjawab, “Itu bukan wewenang saya mas. Coba tanyakan ke mbak Sukma mas, ketua SC,” tuturnya.
Lebih lanjut, dekan FPSB itu menjelaskan, bahwa telah ada perjanjian yang sudah ditandatangani oleh pihak rektorat, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Universitas (LEM-U), dan Dewan Perwakilan Mahasiswa Universitas (DPM-U) untuk tidak melakukan kekerasan fisik dan psikis dalam pelaksanaan ospek tahun ini, tidak melakukan hal-hal yang melanggar norma asusila, dan tidak bertentangan dengan nilai-nilai islam.
Jika demikian jawaban pimpinan fakultas itu, bolehkah saya menganggap bahwa, panitia Serumpun FPSB tahun ini telah melanggar perjanjian yang telah disepakati bersama oleh petinggi-petinggi mereka: LEM-U, DPM-U, dan pihak rektorat untuk tidak ada kekerasan (fisik maupun psikis). Karena mereka (SPL.red) telah “menyerang” psikis dari miba yang saya ketahui menangis tersedu-sedu setelah keluar dari tempat suram itu.
Hal itupun semakin diperkuat dengan pernyataan Sus Budiharto, yang merasakan suasana tidak nyaman ketika meninjau lokasi tempat hukuman itu berada. “Saya merasakan (ada) situasi psikologis yang tidak nyaman,” papar Sus Budiharto kepada kami. Secara eksplisit, Sus sendiri juga mengaku bahwa dirinya tidak setuju jika ada kekerasan psikis dalam pelaksanaan ospek kali ini. “Kalau dalam untuk penertiban, dalam rangka untuk kreatifitas sesuai dengan temanya, saya kira itu ndak apa-apa, tapi kalau sudah melanggar etika islam, melanggar kesusilaan, terus ada kekerasan, saya kira itu yang saya tidak setuju,” papar Sus Budiharto lebih lanjut.
Sementara itu, hingga tulisan ini saya kirimkan ke KOBARkobari, panitia masih belum bisa dimintai kejelasan akan hal tersebut di atas. Saya hanya bisa bertanya dan bertanya lagi. Ada apakah yang sebenarnya terjadi?**
*Penulis adalah reporter KOBARkobari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini