Menulislah dengan Emosi, Bukan Pikiran!

Time reading 7-10 menit

Belakangan terakhir seorang adik angkatan mengeluhkan, bahwa dirinya tidak bisa menuliskan sebuah pengalaman pribadi. Alasannya cukpul simple. Karena ia merasa tak memiliki dua hal. Katanya,  “menulis itu butuh bakat dan kreativitas, dan aku tidak mempunyai salah satu dari keduanya”.

Saya bilang, semua itu berawal dari hal yang sederhana, didukung dengan doa, dibumbui oleh mimpi dan dikerjakan dengan sepenuh hati—kata saya mengutip pernyataan yang pernah diungkapkan Dharma Satriadi, mahasiswa Indonesia peraih penghargaan L’Oreal estrat Challenge di Paris, April 2006 lalu.

Seperti yang pernah saya tulis di blog pribadi saya: www.haris-berbagi.co.cc bahwa menulis cerita atau sebuah karya itu tidak harus berawal dari apa yang kita pikirkan, tapi marilah kita coba untuk memulai menulis dengan apa yang kita rasakan, artinya mulailah menulis itu dengan sebuah emosi. Kemudian menuangkannya dalam secarik kertas (kalau sekarang ya di laptop bisa).Karena menurut saya, jika kita memulai menulis dengan apa yang kita rasakan, kita mulai menulis dengan emosi kita sendiri, maka itu artinya tulisan kita akan bisa terus mengalir. Tidak buntu di tengah-tengah jalan saat menulis.

“Sulit banget. Rasanya di fikiran penuh dengan inspirasi, tapi tangan tak bisa bergerak untuk menuliskan semua yang ada di fikiran,” jawab adik angkatan saya itu, mengomentari saran yang saya berikan.

Lalu saya katakan kepadanya, “Menulisnya dengan emosi, Nduk. Bukan dengan fikiran” (Saya panggil ia nduk karena ia sering dipanggil nduk juga oleh ayahnya. Kan katanya, suara saya mirip ayahnya. He2…kok bisa :D).

 "Tapi tetep aja sama mikir, kan? He2 #ngeyel," jawabnya. Adik angkatan saya ini sepertinya memang tak mau menulis.

"Aku nyerah. Nggak jadi nulis," eh ternyata benar. Selang satu hari saya jelaskan menulis dengan emosi, Ia malah nyerah tak jadi nulis (waduh :D)
Bila ada case semacam begini, biasanya saya diamkan dulu. Saya tak mau berdebat panjang jika memang tidak mau.Tapi, selang beberapa menit, ia mengirim sebuah massage kepada saya.

"Mas Haris..." panggilnya lewat sebuah pesan singkat.

"Dalem..." jawab saya.

"Menulis dengan emosi itu bagaimana, seperti apa...?"

Hey, hey! Saya senyum-senyum sendiri merasakan adik angkatan saya ini. Saya yakin, sebenarnya ia juga penasaran, bagaimana sebenarnya cara menumbuhkan kemauan untuk menulis itu. Menulis dengan emosi. Hehe…Kenak ya, Nduk? :D

Saya katakan kepadanya.

"Menulis dengan emosi itu ibarat kita menulis di buku diary kita masing-masing, Nduk," saya mengawali.

"Lewat buku harian, yang kita anggap wilayah pribadi itu, ranah sosial terekam. Di sana, kita bisa menulis soal wajah bangsa dan masyarakatnya. Di sana pula, kita akan menemukan perjumpaan antara pikiran, perasaan  dan realita dunia yang terkadang akan melahirkan tulisan-tulisan yang tidak hanya begitu menyentuh, tapi juga bisa menjadi inspirasi bagi orang ramai bila kita mau menuliskannya. Untuk bersama-sama kemudian melaburi dunia itu dengan rasa dan empati yang kita rasakan. Ayo nulis, Nduk," panjang lebar saya jabarkan makna menulis dengan emosi ini kepadanya.

Dan, apa yang ia katakan? Selang beberapa menit, ia menyampaikan.

"Ralat,  nggak jadi nyerah. Makasih, Mas Haris. Aku sekarang mau nulis. Sekarang aku mau ngelanjutin. Hampir selesai tulisanku,”

"Mantab!" apresiasi saya kepadanya.

So, kawan semua. Cerita di atas adalah nyata. Tidak saya karang. Menulis memang susah-susah gampang. Tapi mana bisa kita menulis bila kita tidak mulai dari apa yang kita rasakan? Mana bisa menulis bila kita tidak mulai dari sekarang? Jadi, mari kita menulis dengan emosi, bukan pikiran. Percayalah bahwa cerita kita bisa menginspirasi orang lain. Meminjam istilah Iman Usman—Presiden Indonesian Future Leader (IFL), Mahasiswa Berprestasi UI 2012—Jangan takut untuk mulai (menuliskan) cerita, jika cerita anda bisa membuat orang lain lebih baik, dan jauh lebih kuat. Jangan takut untuk berbagi, dan jangan pernah menunggu untuk berbagi, jika anda bisa melakukannya sekarang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini