Mahasiswa Berprestasi, Antara Gelar dan Kualitas

Menjadi mahasiswa berprestasi—selanjutnya disebut mapres atau mawapres—dua kali secara berturut-turut di tahun 2011 dan tahun 2012 itu bukan cita-cita saya selama kuliah di Universitas Islam Indonesia (UII). Awal pertama kali diajak kuliah di Jogja oleh kakak saya, M. Najib Yuliantoro—Mapres UGM bidang publikasi, kemudian dikenalkan oleh seorang “teman” yang kemudian jadi kakak ipar saya, Prenali Dwisthi Sattwika Yuliantoro—Mapres UGM bidang penelitian, saya benar-benar tidak mengharapkan apa lagi punya bayangan untuk jadi mapres. Jujur, kedua kakak saya inilah yang kemudian menginspirasi saya untuk ikut seleksi pemilihan mapres di tingkat fakultas kemudian berlanjut tingkat universitas di tahun 2011 dan 2012.

Menjadi mapres memang bukan sekedar pencapaian meraih gelar belaka. Berat menurut saya tanggung jawab ketika sudah dapat “gelar” mapres tersebut. Selain karena amanah yang disandang, ia juga akan jadi sorotan bagi adik-adik angkatannya. Melalui karya dan pemikirannya, mapres ibarat kunang-kunang yang bersinar di malam hari, yang dituntut harus menyebarkan “sinar-sinar inspiratif” kepada lingkungan di sekitarnya.

Ada sebuah pertanyaan yang tidak bisa saya jabarkan ketika pagi ini seorang adik angkatan bertanya: memang mahasiswa berprestasi itu apa, mas?

Nah, loh. Ada yang bisa bantu jawab? :D

Selama ini, mapres (di)identik(an) dengan mahasiswa yang memiliki segudang aktifitas sosial, setumpuk prestasi akademis maupan prestasi non-akademis, kefasihan dalam berbahasa asing, jago dalam bidang penelitian serta punya Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang cukup tinggi. 

Bagi saya, mapres itu tergantung bagaimana kita mau mengartikan atau memaknai. Mapres tidak melulu adalah mahasiswa dengan IPK yang bagus dan segudang aktifitas di berbagai organisasi. Bukan, menurut saya bukan itu. Kita mau berbagi ilmu, mengawali berbuat sesuatu untuk kebaikan di lingkungan sekitar dan mau mendengarkan cerita adik angkatan kita, itu sudah termasuk kategori mapres—versi saya. Justru yang demikian inilah yang malah masuk kategori berkualitas mapres. Sekali lagi, berkualitas mapres. Berkualitas mapres lebih baik daripada sekedar dapat gelar mapres, bukan?

Memang tidak dipungkiri, banyak mahasiswa yang menganggap menjadi mapres adalah sebuah impian karena ia dinilai bagus pada bidang akademik maupun non akademiknya. Ada prestos tersendiri saat ia dapat gelar mapres. Ya whatever lah, semuanya itu tergantung orang menilai. But, remember, guys! Prestasi tidak sebatas hanya berbicara pada ranah akademik atau non akademik saja. Faktor sosialisasi juga tak kalah diperhitungkan. Dan ia—faktor sosialisasi itu—amat sangat penting. Faktor sosialisasi ini yang kemudian bisa jadi prestasi tersendiri bagi masing-masing individu. Dari sosialisasi inilah kita jadi punya banyak kawan, kita jadi punya banyak relasi.

“Kuliah bukan sekedar belajar, namun juga bagaimana mengembang kapasitas diri, serta relasi,” Anies Baswedan, Ph.D, Penggagas Indonesia Mengajar

Apa artinya sebuah gelar, jabatan, status, prestasi, jika tidak dibarengi dengan kualitas diri untuk memperbaiki lingkungan. Sementara memperbaiki lingkungan sangat mustahil bila tanpa adanya sosialisasi. Dan sosialisasi sangat erat kaitannya dengan relasi. So, siapapun yang menyandang gelar mapres, idealnya juga berkualitas mapres. Dan sekali lagi, yang terpenting itu bukanlah gelar mapresnya, tapi adalah bagaimana kita memaknai mapres itu sendiri. Bagaimana agar kita bisa berkualitas mapres, bukan kita bergelar mapres.

Untuk bisa berprestasi, kita tidak harus memenangkan ajang pemilihan mapres. Ya…seperti yang saya sebutkan di atas, cukup dengan kita mau berbagi ilmu, mengawali berbuat sesuatu untuk kebaikan di lingkungan sekitar dan mau mendengarkan cerita adik-adik angkatan kita, itu sudah merupakan karya terbaik kita yang menginspirasi bangsa.

“Saya percaya bahwa inspirasi bisa datang dari mana saja. Saya bisa menginspirasi, anda juga bisa. Tidak perlu menunggu menjadi seperti Oprah Winfrey ataupun Andy F Noya, untuk menginspirasi orang lain. Perjuanganmu melewati masa lalu yang sulit, dan bangkit dari kegagalan atau bahkan keberhasilanmu menaklukkan ketakutan, meraih mimpi, bisa jadi sumber inspirasi. Bukan hanya untukmu sendiri, bukan hanya untuk anak dan cucu, tapi juga bagi masyarakat Indonesia,”  Muhamad ImanUsman (20), Pendiri dan Presiden Indonesian Future Leaders, Mapres UI 2012.

Kuncinya satu: pada manfaat yang kita berikan. Boleh saja kita berjuang untuk meraih status mapres, namun jangan berhenti pada itu saja. Kita wajib menciptakan dampak postif dari status mapres kita. Semoga siapapun yang menyandang gelar mapres benar-benar merupakan insan unggulan yang mampu bermanfaat bagi sesama, yang mampu berkualitas mapres, bukan sekedar dapat gelar mapres. Itu! 



2 komentar:

  1. ada gelar atau tidak, saya percaya samean bisa memberikan manfaat kepada orang banyak..

    BalasHapus
  2. Alhamdulillahirabbil 'aalamiin...terimakasih Mas Asy'ari. Semoga kita sama-sama memberikan manfaat untuk orang lain.. Aamiin...

    Terima kasih sudah sempat berkunjung blog saya :-)

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini