Jurnalisme Damai Dalam Perdebatan

Oleh Nur Haris Ali

Mengikuti perkembangan di dunia jurnalisme, sepertinya tidak akan ada habisnya. Ada saja suatu perubahan yang mengikuti. Layaknya sebuah perubahan, maka sering kali ada penganut jurnalisme yang setuju, pun ada pula sebaliknya: menolak mentak-mentah. Salah satu perkembangan di dunia jurnalisme yang saya diminta untuk menuliskannya di rubrik ini adalah jurnalisme damai.

Apa itu jurnalisme damai?

Tunggu. Ada sejarah di sana. Jurnalisme damai ini sebenarnya bukanlah “barang” baru. Ia tidak bisa terlepaskan—dan sering disandingkan—dengan jurnalisme perang. Keduanya mungkin merupakan suatu pendekatan. Layaknya sebuah pendekatan, maka ia ada yang memulai dan menggagas.

Adalah Johan Galtung, seorang profesor ahli pembangunan pada tahun 1970-an, yang menggagas jurnalisme damai (peace journalism) ini. Waktu itu, Galtung merasa miris melihat pemberitaan pers yang mendasarkan pada kerja jurnalistik hitam putih: kalah vs. menang.

Galtung—yang kemudian diikuti Annabel McGoldricik dan Jake Lynch—juga melihat, pola pemberian informasi kepada khalayak yang dilakukan para jurnalis sudah terlalu vulgar dan sensasional. Hal itu yang kemudian menyeret gerakan pers menjadi semacam kegemaran tersendiri bagi jurnalis untuk menyampaikan informasi secara provokatif dan intimidatif. Dalam cara pemberitaan, misalnya, berita-berita yang berjenis kekerasan dan konflik (action news), berita kegemparan (crisis news), kejadian-kejadian panas (spot news) dan berita-berita yang menakutkan (hard news) sengaja sering di-angel-kan dengan kejadian-kejadian yang menegangkan, pemilihan diksi yang terlalu berlebihan dan cenderung mendramatisir. Akbibarnya, mencemaskan khalayak!

Contoh Lagi. Penganut jurnalisme yang menolak mentah-mentah adanya jurnalisme damai ini, dalam memberitakan kerusuhan atau yang sejenis misalnya, seringkali menyajikan informasi secara bombastis. Jika ditanya, "Mengapa berita yang disajikan selalu heboh?" Jawabannya singkat, "Ya itu memang yang senyatanya". Inilah kemudian yang disebut oleh Galtung (1998) sebagai jurnalisme perang. Penganut jurnalimse perang, ia tidak hanya meng(k)orbankan konflik, tetapi juga memotret informasi yang dapatnya secara telanjang. Mereka bahkan cenderung terfokus pada kekerasan sebagai penyebab. Enggan menggali asal-usul struktural sebuah konflik secara mendalam. Terlalu berkonsentrasi pada efek-efek yang terlihat, seperti korban tewas, korban terluka, kerusakan material, dan ironisnya, tidak mem(p)erdulikan sisi psikologis dari si korban. Jelas yang demikian sudah beralih dari tujuan awal adanya jurnalisme.

Tujuan jurnalisme ada, adalah untuk memenuhi kebutuhan informasi. Agar masyarakat dapat hidup bebas dan dapat mengatur dirinya sendiri. Ia dipandang sebagai sebuah kebenaran ketika informasi yang disampaikan menggunakan standar dan metode yang objektif. Sekali lagi objektif. Bukan berpretensi pada keinginan si jurnalis atau visi misi medianya. Obyektifitas dalam metode berguna demi terciptanya akurasi dan validasi data. Dengan cara check and balance, cover both side bahkan cover all sides. Dan melakukan kroscek, hingga tripel cek. Ini adalah wujud tanggung jawab jurnalis(me) pada khalayak. Sebagai tujuan utama adanya jurnalisme.


Antitesis dan Posisi Media

Sebagai antitesis dari jurnalisme perang, maka hadirlah jurnalisme damai. Muhammad Ali (2005) pernah menuliskan bahwa, sesuai dengan istilah yang dipakai, maka jurnlisme damai lebih mengarah pada penyamaian informasi yang berdampak pada perdamaian. Ia bisa digunakan untuk membedakan dengan jurnalisme perang. Yakni ketika jurnalis(me) perang meng(k)orbankan "peperangan" untuk menyampaikan informasi secara provokatif dan intimidastif. Maka bagi penganut jurnalisme damai, ia akan menyampaikan informasi secara positif, menggunakan diksi yang tepat dan objektif, sehingga tidak memancing bahkan sampai menimbulkan konflik. Bagusnya lagi, jurnalis(me) damai bahkan mampu memberikan alternatif ketika informasi itu membutuhkan suatu pemecahan masalah.

Secara teoritis, ada tiga posisi media, menurut Yasraf Amir Pilliang (2001), dalam memberitakan konflik. Pertama, media sebagai issue intensifier, dimana media berposisi sebagai penguat munculnya isu atau konflik, serta mempertajamnya. Isu yang diangkat akan menampakkan dimensi-dimensi secara tajam. Dan dengan posisi sebagai intensifier, maka media mem-blow-up realitas yang jadi isu, sehingga seluruh dimensi isu menjadi transparan.

Kedua, media sebagai conflict diminisher. Yakni media menenggelamkan suatu isu atau konflik. Secara sengaja, media meniadakan isu tersebut. Terutama bila menyangkut kepentingan media bersangkutan, entah kepentingan ideologis atau pragmatis.

Dan ketiga, media juga bisa berfungsi menjadi pengarah conflict resolution. Yakni menjadi mediator dengan menampilkan isu dari berbagai perspektif, dan mengarahkan pihak yang bertikai pada penyelesaian konflik. Dengan peliputan media semacam ini, pihak yang terlibat diharapkan memahami sudut pandang pihak lain, mengatasi prasangka dan kecurigaan, serta mengevaluasi ulang sikap dasar yang terbentuk semula. Pola peliputan yang semacam inilah yang kemudian dikenal dengan jurnalisme damai. Tugas utamanya adalah memetakan konflik, mengindentifikasi pihak-pihak yang terlibat, menganalisis tujuan-tujuan mereka dan membicarakan informasi yang mereka sediakan dalam agenda khusus buat mereka.

Jurnalisme damai, menurut Yasraf Amir Pilliang (2001), memang hanya sekedar opsi. Jurnalis(me) bisa mengadopsi atau bahkan mengabaikannya. Namun harus diingat, keberadaan pers bukanlah sekedar sebagai mirror of reality, tetapi juga molder of reality (pembentuk rupa) masyarakat. Jika keberadaan jurnalis(me) adalah dalam rangka menjalankan fungsi pembentuk rupa masyarakat, maka seyogyanya jurnalisme damai menjadi opsi yang tak terelakkan.

Jurnalisme damai, menurut Suko Widodo (2008), diharapkan menjadi salah satu referensi bagaimana seorang jurnalis dituntut untuk mampu mentransformasikan fakta dan realitas konflik sebagai realitas media. Guna menjadi bank data wacana yang tidak menciptakan potensi menggagas konflik dan perpecahan dalam jangka pendek maupun panjang. Jurnalisme damai bisa dilaksanakan dengan standar jurnalisme modern, yaitu memegang asas imparsialitas dan faktualitas, dengan prinsip-prinsip menghindarkan kekerasan.

Akhirnya, tulisan ini saya tutup dengan mengutip apa yang dikatakan Parni Hadi, mantan Pemimpin Umum Republika bahwa, "Pers harus bisa menerapkan jurnalisme damai dengan mengutamakan pemecahan masalah, dan bukannya memperkeruh suasana." Fakta memang sesuatu yang sakral dan suci bagi kalangan jurnalis. Namun, seorang jurnalis harus cerdas dalam menyampaikan fakta tersebut. Ada tanggung jawab sosial baginya atas dampak informasi yang disampaikan. "Pers harus mencari solusi dan tidak menampilkan hal-hal yang bisa menimbulkan konflik horizontal,” demikian.

*Dirangkum dari berbagai sumber
**Pernah disampaikan pada 26 Maret 2010 , diskusi Lembaga Pers Mahasiswa HIMMAH UII

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini