BANDUNG-Jum’at 20 Mei 2011.
Suara speaker itu terdengar keras. Membuatku jadi terbangun dari tidur. Tanganku bergerak ke arah saku celanaku, bermaksud mengambil Hape. Melihat jam.
Pukul 05.30. “Sedikit molor dari jadwal.” Kataku dalam hati. Mengernyitkan dahi.
Rupanya aku dan teman-temanku: Rendy, Egum, Sinta, dan Dian, sudah sampai di tempat tujuan. Stasiun Bandung, Jawa Barat.
“Eh, sampai-sampai, ayo turun!” Sintawati, berteriak membangunkan diantara kami yang belum bangun. Kamipun kemudian berbegas mengambil barang-barang bawaan kami. Turun dan keluar dari kereta Lodaya Malam—nama kereta itu. Kereta bisnis yang telah mengangkut kami dari Jogja sejak pukul 21.27 semalam.
“Alhamdulillah… Bandung… :).” 5 SMS kukirimkan bersamaan ke 5 orang yang tahu akan keberangaktan kami, dari Jogja. Meng(k)abari bahwa kami sudah sampai di Bandung dengan selamat.
“Oke, yuk kita cari tempat duduk dulu, ntar kita bicarain tempat penginapan.” Kataku pada teman-teman. Kami kemudian duduk di tempat penungguan. Menaruh tas. Barang-barang bawaan di atas kursi penungguan. Dan tidak ketinggalan, tetap berfoto-foto. Hee..
Setelah kami ber-SMS-an ke LO kami, Dewi, terkait informasi penginapan. Akhirnya kamipun tahu, nama dan tempat penginapan yang akan kami tempati dua hari kedepan. Sukamekar namanya. Berlokasi di jalan Sukamekar 2 nomer 14.
“Mbak di situ saja, nanti teman saya yang bagian akomodasi yang akan jemput mbak. Jangan kemana-mana ya. Maaf atas ketidaknyamanan ini.” Kata Dian, membaca SMS dari LO kami itu.
Misi perjalanan kali ini boleh dibilang cukup berat, penuh perjuangan, termasuk masalah urusan dana dan yang lainnya. Aku jadi teringat cerita Egum waktu di kereta semalam.
***
Jogja, jam 21.35 wib, di dalam kereta menuju Bandung.
“Eh, kita dalam satu hari ini kayaknya bener-bener dimudahkan Allah ya?” Rendy memulai pembicaraan di dalam kereta. “Khususnya masalah perizinan praktikum.”
“Betul banget. Aku aja, tadi sampai ketemu Pak Rektor gitu.” Egum nyahut.
“Pak Rektor? Maksudmu, Prof. Edy, Gum?” aku penasaran, ikut menyahut. “Beneran po? Apa katanya, Gum?” Lanjutku. Dan akhirnya Egum pun bercerita.
“Iya…bener. Jadikan, tadi itu pas Egum ke ruang sekretaris rektor, nggak sengaja ketemu Pak rektor. Terus di tanya-tanya gitu.” Egum memulai.
“Oh, dalam rangka apa, Mbak?” tanya Prof. Edy Suandi Hamid, rektor kami, 8 jam sebelum keberangkatan kami—ketika Egum mau ngambil dana dari rektorat.
“Dalam rangka Psychology Competition, Pak. Di Maranatha Bandung.” Egum membalas sopan, disertai senyum.
“Oh, semangat ya! Titip nama UII ya, Mbak.” Prof. Edy ikut tersenyum. Membalas singkat. Menyemangati.
Aku yang mendengar cerita Egum itupun ikut terharu. “Misi kita besar, kawan!” kataku dalam hati. Kami berenam—satu lagi Yanti, berangkat dari Bogor—merasakan betul bahwa kompetisi kali ini boleh dibilang cukup alot dan penuh perjuangan. Mulai dari pembentukan kelompok. Tidak sinkronnya waktu diantara kami untuk bisa belajar bersama sebelum keberangkatan. Tak adanya dosen yang mendampingi kami sejak awal. Dan yang terakhir, hingga masih sampai saat ini, kendala terkait minimnya dana yang kami miliki.
Tapi tak apa.
“Sabar…sabar…sabaaaaar, Haris. Sabar juga ya, kawan-kawanku. Insya Allah Allah pasti dengar kok doa kita,” kataku dalam status Facebook.
Bagiku sendiri, ini memang bukan kali pertamanya datang ke Bandung. Untuk teman-temanku, mungki juga begitu. Sepertinya mereka juga bukan kali pertama. Wajar jika kami berenam sempat shock karena dana yang turun waktu itu hanya 800ribu. Itupun hanya bisa kami alokasikan untuk pendaftaran. Dua tim. Masing-masing 400ribu. Belum dana untuk transport, penginapan, dan yang lainnnya. Apalagi ini tempatnya di Bandung, yang jika di Jogja uang 1000 rupiah saja bisa dapat cat rice (nasi kucing ala Angkringan). Di Bandung? Aku pikir tak akan semurah dan semeriah di Jogja.
Kamipun akhirnya masih tetap bimbang, antara berangkat atau tidak. Sempat aku usulkan, bagaimana kalau dimargin jadi satu tim saja.
“Dan uang yang 400ribu di tim yang batal ikut, ntar dialihkan ke tim satunya yang ikut.” Kataku, melogikan kondisi keuangan.
“Terserah kalian keputusannya mau bagaimana, aku ngikut saja.” Kata Yanti waktu itu, yang sebenarnya tidak ingin kami cuma satu tim saja, melainkan tetap dua tim berangakat.
Tak disangka dan tak dinyana, pertolongan itupun terus mengalir. Tuhan sepertinya benar-benar mendengar doa kami dan mengetahui kondisi kami saat itu. 10 jam sebelum keberangakatan, selesai kuliah Deteksi Dini Dalam (D3) Perkembangan, aku dipanggil Bu Rina, dosen kami. Sempat aku kaget, apa kaitannya beliau memanggilku kali ini?
Selidik punya selidik, rupanya Bu Rina tahu kondisi kami.
“Ini ada 200ribu, pakai aja.” Kira-kira begitu, kata beliau. Bu Rina kemudian mengusulkan, kenapa tidak minta tambah lagi saja dari dekanat. Usul Bu Rina kami sepakati. Kami laksanakan, dan setelah melalui proses yang cukup panjang, dibantu oleh teman-teman dari LEM-F, dekanat pun akhirnya menambah dana pada proposal yang pernah kami ajukan sebelumnya: 700ribu.
Alhamdulillah….makasih ya Allah.
Tak berhenti sampai di situ. Malamnya sebelum kami berangkat, bu Rina meng-SMS-ku, menanyakan nomer rekening Mandiri. Aku sedikit curiga.
“Untuk apa?” hati ini terus bertanya-tanya. Ah, mungkin hanya sekedar bertanya saja. Tapi masak iya, kalau Bu Rina mau membantu sampai segitu??
Aku bingung, siapa yang punya. Aku kemudian meng-SMS ke 5 temanku itu.
“Ada yang punya no.rekening Mandiri?” terkirim. 5 SMS secara bersamaan ke Rendy, Dian, Sinta, Egum dan terakhir, Yanti.
10 menitan aku menunggu balasan.
1 SMS masuk. Bertuliskan nama Sinta.
“Yanti ini yang punya itu, mas Haris” aku kemudian langsung meng-SMS (lagi) Yanti dan menanyakan nomer rekening Mandiri lagi. Lama benar menunggu balasan SMS dari Yanti ini. Mungkin karena memang sedang sibuk. Tapi aku masih tetap berharap, ia membalas dengan memberikan nomer rekeningnya.
10 menit berlalu. Yanti tidak membalas.
1 SMS masuk. Bertuliskan nama Egum.
“Mas, dana dari rektorat sudah turun satu jutaaa….”
1 SMS lagi menyusul masuk, dari Bu Rina
“Aku talangin dulu deh, dananya, besok aku kirim. Ada nggak norek Mandirinya?
Subhanallah….!
Aku merinding. Allah memang maha mendengar. Tak dikira, ternyata Ibu Rina berencana mau memberikan bantuan talangan dana sementara kepada kami. Kali ini aku sendiri merasakan betul, bahwa Allah terus mendampingi setiap perjalanan kami. Kabar bahwa Ibu Rina ikut membantu kami pun akhirnya semakin menambah semangat kami. Kami berenam, merasa bersyukur sekali. Alhamdulillahirabbil ‘aalamiin Ya Allah....
“Insya Allah lancar, dan sukses jadi juara satu,” SMS Bu Rina menutup percakapan via sms.
***
Kampus Maranatha, pukul 16.16 wib
Seperti yang pernah aku katakan. Berkunjung ke Bandung memang bukan kali pertamanya bagiku. Meski masih dua kali ini aku ke Maranatha Bandung, tapi kali ini, ditempat ini, memori setahun silam itu tetap tak bisa terhapuskan dari kepalaku. Puluhan warna-warni jas almamater mahasiswa-mahasiswi Psikologi Indonesia--termasuk aku dan 2 temanku, Wening dan Adin yang didampingi Pak Sonny Andrianto, M.Si, dosen kami, waktu itu--ikut berkumpul jadi satu di sini. Merasakan suasana kekeluargaan secara bersama-sama, susana keakraban, dan suasana kebanggaan diantara kami. Rasa keharmonisan itu benar-benar bisa aku rasakan kembali di sini, di moment ini.
“Hebat!” kata itu yang bisa aku sematkan untuk teman-teman panitia Psychomp Maranatha yang sudah lima kali mengadakan event seperti ini.
Harus aku katakan bahwa, bagiku, ini bener-bener event nasional dimana kami semua, ratusan mahasiswa-mahasiswi Psikologi Indonesia dari segala penjuru, bisa datang berkumpul jadi satu di tempat ini, dan bisa merasakan rasa kekelurgaan secara bersama-sama—terlepas apakah kami nanti bakalan juara atau tidak—yang ingin aku katakan di tulisan ini adalah: adanya kompetisi-kompetisi seperti ini, akan semakin membikinku—dan mungkin juga ke teman-temanku, delegasi Psikologi UII—benar-benar merasakan kebanggaan tersendiri pada satu bidang ilmu ini. Membikin semangat kami terus berkoar, menggebu-gebu untuk tidak berhenti, tidak cepat puas dan terus belajar. Sampai kami menemukan hal lain dari apa yang tidak kami temukan di kelas terkait bidang ilmu ini.
”I LOVE YOU AND PROUD YOU, PSYCHOLOGY!!”
Bandung, kota pemilik bahasa terhalus kedua setelah jawa—menurutku.
Haris
wah wah keren keren,,,sayang aku belum masuk hehehe,,,,jadinya juara berapa mas??
BalasHapus