Berbicara mengenai rendahnya minat mahasiswa dalam berorganisasi di kampus, saya teringat buku karangan Fuad Nashori (2010) yang bersubtemakan Menjadi Mahasiswa Sukses. Mahasiswa yang jumlahnya kian hari semakin banyak, dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan. Trow dan Clark (Nashori, 2010) mengelompokkan menjadi empat kelompok berdasarkan subkultur atau kebiasaan hidup.
Pertama, subkultur akademik. Mereka mempunyai ciri berorientasi hidup selaras dengan tujuan perguruan tinggi. Kehidupan mereka ini, lebih banyak berada di ruang kuliah, laboratorium, dan perpustakaan. Sebagain dari mereka menyempatkan waktu untuk mengikuti kegiatan-kegiatan non akademik dengan tujuan pengembangan diri. Mereka kurang menyukai kegiatan hura-hura karena dianggapnya cuma membuang-buang waktu.
Kelompok kedua, subkultur vokasioanl. Kelompok ini memandang perguruan tinggi (PT) hanya sebagai ‘tangga’ untuk memasuki dunia kerja, karena mendambakan adanya mobilitas sosial ekonomi yang lebih baik. Yang menjadi sasaran mahasiswa semacam ini adalah cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan dengan gaji dan kedudukan yang memuaskan. Beda dengan kelompok yang pertama, kelompok kedua ini tidak memprioritaskan peningkatan kualitas intelektualitasnya.
Kelompok ketiga, subkultur kolegiat. Mahasiswa kelompok ini amat menyukai kegiatan yang berbau hura-hura, olahraga, kesenian, dan banyak terlibat dalam kegiatan sosial walaupun mungkin hanya sebagai ‘penggembira’ saja. Aspek intelektual dan acara-acara serius tak begitu diminati. Untuk masalah kuliah nilai pas-pasan cukup bagi mahasiswa semacam ini.
Kelompok keempat, golongan subkultur non-konformis. Mungkin ini kelompok yang agak langka. Masa kuliah digunakan untuk mengejar hasrat pribadi dalam memahami bidang keilmuan. Mereka memiliki keluasan wawasan. Mempunyai kegandrungan intelektual yang besar. Mempunyai kiat-kiat tersendiri dalam menguatkan kompetensi keilmuan, terutama melalui jalur informal. Justru hal yang formal kurang disukainya. Mahasiswa semacam ini akan mencari pengalaman sebanyak mungkin yang digemarinya. Biasa terlibat dalam organisasi kemahasiswaan di kampus dan cenderung menjadi tokohnya.
Tipe Mahasiswa Paling Sukses
Pertanyaan selanjutnya, kelompok mana yang paling sukses? ada dua ukuran yang dapat digunakan untuk menilai apakah seorang mahasiwa itu telah berhasil atau tidak. Parameter pertama adalah prestasi akademik yang terlihat dari tinggi indeks prestasi (IP) yang dicapai. Benar adanya bahwa mahasiswa yang mempunyai kebiasaan selaras dengan tujuan perguruan tinggi adalah peraih IP tertinggi. Dari hasil penelitian Hodgins dengan menggunakan teori Trow dan Clark (Akhson, 1991: Nashori 2010) diungkap bahwa urutan peraih IP tertinggi adalah kelompok non-konformis, kelompok akademik, kelompok vokasional, dan kelompok kolegiat. Mengapa mahasiswa non-konformis mempunyai IP yang lebih tinggi dibanding mahasiswa akademik?
Di atas telah penulis kemukakan bahwa mahasiswa non-konformis memiliki kecenderungan intelektual yang tinggi. Mereka menempuh cara-cara mendapatkan ilmu secara “luwes”. Mempunyai peluang yang lebih untuk memahami materi kuliah secara mendalam melalui berbagai sumber. Keunggulan kelompok non-konformis ini akan lebih optimal jika dosen menggunakan pendekatan SCL (student centered learning). Karena metode belajar yang bervariasi dalam SCL sangat dirasa mampu menyesuaikan dengan kebiasaan mahasiswa non-konformis. Sehingga dikatakan mahasiswa non-konformis unggul dibanding yang lain, terutama bila pengukuran IP lebih menekankan logika (rasio) dan bukan semata-mata kemampuan ingatan (hafalan). Lain halnya dengan mahasiswa akademik yang hanya tergantung dan mengandalkan pada materi yang diberikan diruang kuliah saja.
Parameter kedua, yaitu dengan melihat kesuksesan hidup. Berbagai studi yang dilakukan para ahli mengungkapkan bahwa prestasi yang tinggi belum tentu berkorelasi dengan kesuksesan di dunia kerja. Sebuah penelitian ditunjukkan oleh Daniel Goleman terhadap 81 orang lulusan paling top dari sejumlah SMTA di Illionois, Amerika Serikat. Penelitian ini mendapati beberapa hal yang baru, diantaranya saat kuliah mereka memperoleh nilai yang memuaskan. Akan tetapi, menjelang usia 30 tahun, dalam kiprah kariernya, tingkat kesuksesannya biasa-biasa saja. Sepuluh tahun setelah lulus SMTA, hanya seperempat dari mereka yang mencapai puncak tangga profesi untuk tingkat usia mereka. Mengapa? Goleman meyakini bahwa kecerdasan akademik perlu ditunjang oleh bekal ‘kecakapan untuk hidup.’ Secara emosional mereka belum cukup dewasa, bahkan masih sering direpotkan oleh pertentangan dalam diri sendiri. Sehinggga, fokus pada pekerjaan kacau, berpikir pun bak ‘benang kusus.’ Kecerdasan emosional yang dimiliki seseorang diperoleh melalui latihan dan pengalaman. Dan ‘orang’ non-konformis, yang gandrung akan keintelektualan, gemar berorganisasi dan mencari pengalaman, dapatlah dipandang mempunyai kemungkinan yang lebih besar menjadi manusia-manusia sukses di masa mendatang.
Mahasiswa dan Kedudukannya di Masyarakat
Mahasiswa menempati kedudukan yang khas (special position) di masyakarat, baik dalam artian masyarakat kampus maupun di luar kampus. Kekhasan ini tampak pada serentetan atribut yang disandang mahasiswa misal: intelektual muda, kelompok penekan (pressure group), agen perubahan (agent of change), dan kelompok anti status quo.
Memang boleh dikatakan bahwa tugas awal mahasiswa adalah menekui bidang keilmuan tertentu dalam lembaga pendidikan formal. Sehingga, tidak jarang kelompok ini sering disebut sebagai ‘golongan intelektual muda’ yang penuh bakat dan potensial. Namun, posisi (dan status) yang demikian itu sudah barang tentu bersifat sementara karena kelak dikemudian hari mereka tidak lagi mahasiswa dan justru menjadi pelaku-pelaku inti dalam kehidupan suatu negara atau masyarakat. Dengan demikian, penulis rasa tak cukup mahasiswa hanya sekedar duduk manis mendengarkan dosen ceramah di kelas. Sudah saatnya mahasiswa mampu menjadi—meminjam istilah Mario Teguh—pribadi-pribadi yang unggul. Hal itu bisa ia lakukan dengan ikut bergabung dalam organisasi-organisasi di kampus. Karena di sanalah, tempat yang dianggap tepat sebagai ‘kawah condrodhimuko’ untuk sekedar sebagai batu loncatan awal. Menjadi mahasiswa sukses. Demikian. Bagaimana menurut Anda?[Haris]
================
*artikel ini pernah tercecer di situs netsains.com. Sengaja penulis tulis ulang untuk di-database-kan di "rumah" ketiga ini.
asalamualaikum.
BalasHapussaya sangat mengapresiasi atas karya dan kontribusi mas haris untuk berbagi, dan mungkin sudah banyak yang bilang jika anda memiliki banyak kesamaan dalam beberapa aspek, terutama semangat berjuang dan lebih baik. itu pula lah yang saya rasakan saat membaca tulisan-tulisan mas haris, semangat dan cita-cita anda dapat terlihat dari topik dan pemilihan kata yang digunakan.
namun disini saya ingin sedikit berbeda dengan yang lain mungkin, jika saja yang lain memberikan bentuk kepedulian mereka dengan cara mengapresiasi dan pujian tentu itu sudah biasa bukan? saya coba tawarkan beberapa kritik dan masukan dengan niat kepedulian dan refleksi atas apa yang anda jabarkan. dan mungkin harapan nya nanti kritikan saya akan lebih bisa diingat oleh anda kelak..
baiklah, hal pertama yang ingin saya soroti mengenai persfektif anda mengenai kelembagaan mahasiswa dewasa ini. kebetulan saya juga telah membaca referensi anda seperti buku Steven Covey dan Fuad Nashori atau pun penelitian goleman diatas. ada yang terlalu utopis dan terkesan terlalu dilebihkan saat anda menggambarkan kesuksesan mahasiswa dan kehidupannya. itu berangkat dari pengalaman pribadi saya selama menjabat dibeberapa lembaga kemahasiswaan.
dicontohkan bahwa mahasiswa yang sukses adalah yang berorganisasi saat mereka berkuliah, ini bisa kacau jika pemahaman yang diberikan kurang substansi. karena apa yang terjadi pada lembaga kemahasiswaan sekarang tidak anda tuliskan secara berimbang. walaupun saya sepakat mengenai kata-kata ini "secara emosional mereka belum cukup dewasa, bahkan masih sering direpotkan oleh pertentangan dalam diri sendiri." itu jelas terjadi dalam diri saya.
ketakutan saya adalah, kita sebagai pelaku intelektual muda(mahasiswa) terjebak pada pemahaman-pemahaman yang sangat absurd mengenai subtansi dan urgensi kegiatan mahasiswa itu sendiri. saat ini mahasiswa sudah tidak melihat apa yang anda ceritakan diatas, walau memang tidak sepenuhnya keliru. anggapan mengenai proses di dalam kelembagaan mahasiswa sudah mengalami pergeseran makna menjadi produktifitas kacang atom. yaitu kegiatan-kegiatan yang dinilai secara kuantitas bukan lagi kualitas.
ada baiknya anda sebagai salah satu kader dari pers kampus mampu menjembatani antara ideal dan realita ini, kelembagaan asik dengan kegiatan-kegiatan kacang atomnya dan pers mahasiswa melempem dengan berita basi dan taringnya yang tumpul.
sekali lagi saya berharap apa yang saya tuliskan ini mampu memberikan sedikit perbedaan pandangan mengenai pandangan anda terkait kemahasiswaan. subjektif memang, namun itulah perspektif saya. pro kontra adalah hal yang biasa bukan?
oh ia, saya suka dengan gaya tulisan anda, namun ada baiknya anda mencoba otokritik yang pedas terhadap lingkungan sekitar, rektor, dosen ataupun pimpinan lembaga kemahasiswaan mungkin. toh saya lihat cita-cita anda juga ingin berkeliling dunia, bukan untuk mencari musuh atau berdebat tanpa manfaat. tapi kaya akan rasa dan hasrat keilmuan. saya pun sebenarnya belum tentu lebih baik dari anda, namun dialog yang baik akan melahirkan solusi yang terang.
wassalam.
untuk islam, bangsa, dan ilmu pengetahuan..(amri zamani)
Wa'alaikum salam wr.wb.
BalasHapusHai mas Amri yang LUAR BIASA nan SUPER. Apa kabar, mas? Ah, lama tak berjumpa kita sepertinya, mas.
Oke, terima kasih untuk saran dan kritik Mas Amri.
Saya kagum dengan komentar-komentar mas Amri. Beruntung betul fakultas kita itu yang masih memiliki mahasiswa kritis seperti mas Amri ini. Jujur, saya sangat sulit menemukan sosok karakter seperti mas Amri ini.
Ini bukan lebay. Tapi ini adalah pengalaman yang saya temukan dari beberapa mahasiswa mulai dari angkatan saya (2008) ke atas. Lagi pula, Sulit juga tidak berarti sama sekali tidak menemukan, bukan?
Dan, bagi saya, mas Amri adalah sosok kakak angkatan-mahasiswa yang telah memberikan contoh secara tidak langsung kepada saya pribadi. Sekali lagi, terima kasih, mas Amri.
Baiklah. Saya pikir, perpektif mas Amri di atas boleh benar adanya. Dan untuk saat ini, mungkin itulah yang terjadi pada lembaga kemahasiswaan (LK) kampus dan fakultas kita itu sekarang. Namun, sepertinya itu tidak berlaku untuk semua LK.
Kalau perspektif mas Amri di atas berangkat dari pengalaman pribadi yang mengatakan bahwa: LK kita itu saat ini sudah asik dengan kegiatan-kegiatan kacang atomnya dan persma melempem (sebenarnya saya tidak sepakat dengan pernyataan Anda ini) dengan berita basi dan taringnya yang tumpul, maka pengalaman pribadi saya pun juga punya perspektif lain, mengapa hal itu bisa terjadi.
Pergeseran makna kegiatan kemahasiswaan yang mas Amri kemukakan itu, menurut saya, bisa jadi karena adanya kesalahan proses in put / open requirement yang dilakukan oleh para generasi terdahulu yang, masih jauh dari harapan. Atau memang, terjadi pemaksaan in put agar LK tetap memiliki anggota baru.
Akibatnya? ya seperti yang mas Amri dan saya rasakan saat ini. Dan itu, PR bagi kita semua, menurut saya, mas. Bukan hanya pers mahasiswa saja!
Saya tidak menyalahkan genarasi terdahulu / kakak-kakak angkatan yang, menurut pengakuan pernah menjabat di beberapa LK, seperti mas Amri. Ini hanya perspektif saya saja, lho, Mas. Adapun mas Amri kurang sepakat?, ya monggo. Boleh-boleh saja. Kalau kata Gus Dur, “Saya katakan atau tidak, itulah pendapat saya!.” Dan di sini, saya sepertinya juga tidak seperti Andreas Harsono yang pernah mengatakan, "Saya kurang suka mengeluarkan opini saya kecuali kalau memang harus menulis esai atau news analysis."
to be continue...
Lagi pula, kalau tidak saya kemukakan, bagaimana orang tahu sikap atau pendapat saya?
BalasHapusSaya juga sering mendengar curhatan-curhatan dari teman-teman yang aktif di LK di fakultas kita itu, Mas Amri. Dan sepertinya, ketakutan mas Amri itu sudah terjadi saat ini. Mereka mengeluh, mas. Katanya, hanya rapat, rapat dan rapat hingga larut malam, tapi hasil rapat pun kurang (atau malah tidak?) jelas jluntrungnya gimana.
Sangat ironis, bukan, mas Amri? Hingga sebegitunya, coba.
Saya justru khawatir, ini itu terjadi karena generasi terdahulu TIDAK menularkan subtansi dan urgensi kegiatan mahasiswa itu kepada generasi baru yang saat ini menjabat di LK kita itu. Atau, memang hal itu yang terjadi? Semoga saja tidak. Sepertinya, Mas Amri lebih kompeten menjawab ini.
Untuk sementara ini, saya sendiri hanya bisa berkontribusi dengan salah satunya menuliskan gambaran mahasiswa sukses seperti yang sudah mas Amri baca di atas itu. Ini adalah stimulus yang bisa saya berikan kepada mereka yang saat ini sedang bergelut-berjuang menghidupkan LK. Namun, bagaimanapun juga, mas, mahasasiwa yang demikian itu, yang aktif di lembaga kemahasiswaan apa dan bagaimana pun itu kegiatannya, saya pikir, mereka lebih memiliki pengalaman dari pada yang tidak berorganisasi. Dan, bisa jadi, hal inilah yang membuat mereka lebih sukses dulu nantinya. Siapa tahu.
Saya kira sekian dulu. Terima kasih.
Oiya, jangan merasa terganggu dengan pendapat saya di atas ya, Mas Amri. Let's it enjoy :)
Saya sama sekali tidak keberatan untuk membaca komentar balik dari Mas Amri, jika itu tak memberatkan. Dan apalah artinya saya, yang hanya sekadar bisa berbagi tulisan di "rumah" ketiga saya ini, bukan?
Terima kasih banyak.
Tabik,
Haris
sore mas haris..
BalasHapussenang rasanya membaca postingan anda diatas, santun nan menggugah, menjadikan saya selalu sadar untuk terus memperbaiki diri dan tidak cepat puas dengan sesuatu hal. baiklah mungkin akan saya awali dengan sedikit apresiasi dan keluh kesah.
tulisan anda kali ini dalam perspektif saya lebih baik dari yang pertama, karena sudah berimbang sebagai sebuah berita dan ajakan kepada mahasiswa lainnya. saya sangat sepakat mengenai rapat, rapat dan rapat hingga larut malam, tapi hasil rapat pun kurang (atau malah tidak?) jelas jluntrungnya gimana.
bayangkan saja, jika rapat yang sudah sedemikian rupa saja hasilnya masih dirasa kurang mumpuni, bagaimana dengan yang tidak? walaupun rapat yang lama bukan sebuah jaminan. tentu ada kesalahan disini dan belum mampu dijawab oleh teman-teman yang berada dikelembagaan mahasiswa saat ini. termasuk saya..
hanya sekedar untuk share saja, bahwa student goverment UII merupakan salah satu konsep kelembagaan yang terbaik dan sering dijadikan percontohan oleh kampus-kampus diseluruh nusantara, terutama jika sedang ada kongres atau munas lembaga kemahasiswaan. karena dinilai UII memiliki tingkat independensi dan keteraturan (rapih) alur kerja dalam tubuh kelembagaan.
hanya saja jika berkaca pada realita UII sendiri, toh konsep itu masih sangat dirasa kurang bahkan butuh revisi. mengapa saya katakan lembaga hanya berkegiatan kacang atom dan lembaga pers dengan berita basi dan taringnya yang tumpul. itu merupakan bentuk keprihatinan saya dalam sebuah refleksi selama saya menjadi mahasiswa. karenanya peran-peran itu tersublimasi kedalam produktifitas yang kurang substansi.
kenapa saya dan teman-teman yang lain justru lebih senang dengan membentuk buletin independent dikampus kita dan memang akhirnya lebih dipandang dan juga mendapat perhatian dari para aktivis mahasiswa, karena hanya dengan berani berbuatlah maka hal itu terwujud. kemudian akhirnya saya berfikir, saya harus masuk kedalam sistem untuk membantu memperbaiki dari dalam. bukan hanya mengkritik tanpa solusi.
namun justru saat saya terjun langsung didalam kelembagaan saya merasa bahwa saya menjadi pelaku ketidak substansian itu. bentuk-bentuk kekecewaan saya akhirnya berujung pada rapat-rapat verifikasi yang kurang urgensi itu. setela itu saya berfikir apa yang bisa saya berikan sebagai bentuk kontribusi nyata kepada kampus ini, dan tentu dapat dirasa langsung manfaatnya sampai kemahasiswa paling awam sekalipun. jika mau digali lebih dalam mengapa keadaaannya menjadi seperti ini, tentu sangat butuh waktu yang cukup untuk memahami dan mencari akar permasalahan dari situasi kampus ini.
mas haris, saya menangkap adanya keresahan yang sama mengenai kelembagaan mahasiswa kita ini. jika tulisan mas mengenai mahasiswa sukses itu untuk memotivasi dan merangsang rasa perjuangan maka saya bisa memahaminya sebagai bentuk kontribusi dan kepedulian mas sendiri terhadap mahasiswa sekarang ini. kampus kita terpecah-pecah perjuangannya, jarang ada yang mau menjadi pionir untuk mewadahi kepentingan bersama itu.
sungguh tidak banyak yang mau berjuang dan ikut dalam proses panjang ini. tidak ada yang lebih baik selain terus berdialog mengenai solusi solutif semua kampus di Indonesia. anda mampu hadir untuk menawarkan warna dan rasa lain menjadi seorang mahasiswa, karena memang proses pematangan karakter dan pola pikir itu ada didalamnya. walaupun terkadang sistem regenarasi kampus masih terkesan dipakasakan.
sekali lagi saya hanya berharap kepada teman-teman yang membaca tulisan dan artikel-artikel mas haris mampu menjadi pribadi-pribadi yang unggul (mario teguh) dengan karya dan cara-cara mereka sendiri. untuk saat ini hanya itu saja.
wassalam.
nb: terus konsisten menulis mas, kelak manfaatnya untuk yang lain akan terasa suatu hari.
sore mas haris, saya mau bertanya mengenai buku Fuad Anshori yang Anda jadikan acuan,
BalasHapusyaitu menjadi mahasiswa sukses, apakah buku itu tidak di terbitkan, atau bagaimamna, karena saya ingin menjadikannya sebagai referensi dalam penelitian saya terima kasih
Sore juga Mbak Restry, iya, seingat saya, buku itu hanya diterbitkan tidak untuk umum. Artinya buku itu hanya diterbitkan untuk para karyawan dan dosen UII saja. Kebetulan, pada waktu itu, saya sangat akrab dengan Pak Fuad Nashori (bukan Anshori). Saat ini beliau masih kok, mengajar di Psikologi UII, walaupun sedang S3 di UNPAD :)
BalasHapus