Mungkin pertanyaan itu yang sedang Anda cari jawabannya. Dalam tulisan kali ini, saya kembali ingin berbagi pengalaman kepada Anda berkaitan dengan pertanyaan di atas.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca komentar tulisan Hernowo Hasim, seorang penulis buku yang juga bekerja di Penerbit Mizan. Tulisan beliau berjudul ‘Menulis Mengalir’. Dalam komentar di note-facebook-nya itu, Pak Her, begitu nama Hernowo Hasim biasa dipanggil, ditanya oleh salah seorang. Kebetulan, saya lupa nama penanyanya tapi masih ingat pertanyaanya. Orang itu bertanya seingat saya begini, “Pak Her, apakah menulis itu bisa untuk terapi bagi orang psikomotorik?”
Apa jawaban Pak Her?
Beliau menjawab, “Merujuk ke penelitian Dr. James W. Pennebaker, dalam bukunya ‘Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions,’ menulis memang dapat menjadi terapi. Menurut Dr. Pennebaker, kegiatan menulis dapat diibaratkan sebagai ‘membuang’. Jika seseorang mengalami tekanan (stres atau bahkan depresi), dia dapat membuang penyebab stres tersebut lewat kegiatan menulis.”
Dan, hari ini (Minggu, 23/1), ketika membaca Koran Sindo, secara tidak sengaja saya menemukan artikel yang berkaitan dengan jawabab Pak Hernowo itu. Berikut petikan dalam koran itu, yang saya ingat:
“Ialah Dwita Priyanti, seorang pengikut Pennebaker, yang merupakan psikolog dan mengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Jakarta.
Dwita, begitu nama itu akrab disapa, dengan rekannya, Pinkan Rumondor, membuka kelas bernama menulis ekpresif. Lebih tepatnnya, ‘Sekolah Menulis PlotPoint’ sebutan untuk kelas menulis ekspresif ini.
Ide membuka kelas menulis ini berangkat dari pengalaman dan keprihatinan Dwita lantaran seringnya ia mendapat klien yang mengalami masalah seperti stres dan trauma lainnya.”
Luar biasa! Ini sangat menarik menurut saya. Jarang kita temukan adanya kelas menulis yang fokus pada solusi ‘pembuangan’ masalah seperti yang dirilis oleh Dwita itu.
“Menurut Dwita, menulis secara koheren atau saling berkaitan dan logis bisa digunakan untuk mengatasi pemecahan masalah. Menulis secara koheren dan logis yang dimaksud adalah tulisan itu harus dibuat benar-benar memaparkan masalah dan perasaan si punya masalah. Tujuannya adalah agar dia, si empu masalah itu, bisa melihat masalah yang ditanggungnya dari perspektif yang berbeda.”
Sampai titik artikel ini, saya jadi teringat perkataan Samsul Ma’arif, dosen Filsafat UGM yang pernah mengatakan, “Jika kita menulis itu, maka kita juga harus bisa adil. Artinya, kita juga harus bisa jadi tokoh pertama, aku, kedua, dia dan orang lain, kita, dalam memandang atau mengoreksi tulisan kita itu.”
Kesimpulan yang saya peroleh dari ketiga hal di atas: artikel Koran Sindo, komentar Pak Hermowo dan perkataan Samsul Ma’arif di atas adalah Anda yang menginginkan untuk mengurangi masalah yang tengah dihadapi, maka solusinya adalah: menulislah. Tulis apa saja yang sedang Anda rasakan secara koheren dan logis, disamping bisa mengoreksi diri sendiri dari perektif yang berbeda.
Semua Orang Punya Masalah
Seperti yang kita tahu, setiap orang pasti pernah mengalami yang namanya stres. Stres tidak diartikan sebagai orang gila. Ini sebenarnya yang masih keliru dan terjadi di kalangan masyarakat awam. Stres, merujuk pada kamus psikologi, adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami tekanan. Bisa tekanan yang berat maupun ringan. Penyebabnya pun beragam. Bisa karena, misal, ada masalah di sekolah, putus dengan pacar, putus kerja, berantem dengan orang tua atau yang lain.
John Muliigan, seorang veteran perang Vietnam, pernah mengalami kondisi stres yang begitu luar biasa setelah dia pulang ke Amerika. Hingga sebegitu beratnya, dia sampai hidup menggelandang selama enam tahun karena trauma akibat perang yang pernah dijalaninya itu.
Sampai suatu ketika, John mengikuti workshop menulis yang diadakan salah satu penulis tersohor bernama Maxine Hong Kingston. Setelah mengukuti workshop itu, John lalu mulai menuliskan semua kegelisahan dan menumpahkan segala isi hatinya itu ke dalam tulisan-tulisannya.
Apa yang terjadi?
Ajaib bukan main! John merasakan beban hidupnya perlahan-lahan terangkat. Pikirannya lebih tenang dan hidupnya juga lebih santai. Inilah salah satu bukti bahwa aktifitas menulis bisa meringankan bahkan menyembuhkan seseorang dari masalahnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ‘mereka’ telah meluapkan segala isi hatinya, membuang segala bebannya dan menuliskannya kedalam sebuah tulisan secara koheren dan logis, ditambah mampu memandang hidup dari perpektif lain.
Dr. James W. Pennerbaker, seorang peneliti yang di atas telah disinggung Pak Hernowo, melakuan penelitian pada tahun 1990 tentang pengaruh menulis terhadap kesehatan jiwa. Apa hasil penelitian Pennebaker? Penelitian itu menyimpulkan: menulis memang bisa menjernihkan pikiran, bahkan mengatasi trauma.
Penelitian Pennerbaker ini kemudian menjadi semacam acuan bagi para psikolog yang sering mendapati klien dengan kasus-kasus serupa. Mereka menjadikan penelitian Pennerbaker itu sebagai salah satu acuan untuk membantu dan memotivasi orang-orang yang mengalami stres atau trauma lewat ‘jalur’ menulis. Itulah yang juga saat ini dilakukan oleh Dwita Priyanti dalam membuka kelas menulis ekperif, seperti yang saya singgung di atas.
Nah, sudah terjawab, bukan: apakah menulis bisa digunakan untuk terapi? Semoga bermanfaat. [Haris]***
Beberapa hari yang lalu, saya membaca komentar tulisan Hernowo Hasim, seorang penulis buku yang juga bekerja di Penerbit Mizan. Tulisan beliau berjudul ‘Menulis Mengalir’. Dalam komentar di note-facebook-nya itu, Pak Her, begitu nama Hernowo Hasim biasa dipanggil, ditanya oleh salah seorang. Kebetulan, saya lupa nama penanyanya tapi masih ingat pertanyaanya. Orang itu bertanya seingat saya begini, “Pak Her, apakah menulis itu bisa untuk terapi bagi orang psikomotorik?”
Apa jawaban Pak Her?
Beliau menjawab, “Merujuk ke penelitian Dr. James W. Pennebaker, dalam bukunya ‘Opening Up: The Healing Power of Expressing Emotions,’ menulis memang dapat menjadi terapi. Menurut Dr. Pennebaker, kegiatan menulis dapat diibaratkan sebagai ‘membuang’. Jika seseorang mengalami tekanan (stres atau bahkan depresi), dia dapat membuang penyebab stres tersebut lewat kegiatan menulis.”
Dan, hari ini (Minggu, 23/1), ketika membaca Koran Sindo, secara tidak sengaja saya menemukan artikel yang berkaitan dengan jawabab Pak Hernowo itu. Berikut petikan dalam koran itu, yang saya ingat:
“Ialah Dwita Priyanti, seorang pengikut Pennebaker, yang merupakan psikolog dan mengajar untuk anak-anak berkebutuhan khusus di Jakarta.
Dwita, begitu nama itu akrab disapa, dengan rekannya, Pinkan Rumondor, membuka kelas bernama menulis ekpresif. Lebih tepatnnya, ‘Sekolah Menulis PlotPoint’ sebutan untuk kelas menulis ekspresif ini.
Ide membuka kelas menulis ini berangkat dari pengalaman dan keprihatinan Dwita lantaran seringnya ia mendapat klien yang mengalami masalah seperti stres dan trauma lainnya.”
Luar biasa! Ini sangat menarik menurut saya. Jarang kita temukan adanya kelas menulis yang fokus pada solusi ‘pembuangan’ masalah seperti yang dirilis oleh Dwita itu.
“Menurut Dwita, menulis secara koheren atau saling berkaitan dan logis bisa digunakan untuk mengatasi pemecahan masalah. Menulis secara koheren dan logis yang dimaksud adalah tulisan itu harus dibuat benar-benar memaparkan masalah dan perasaan si punya masalah. Tujuannya adalah agar dia, si empu masalah itu, bisa melihat masalah yang ditanggungnya dari perspektif yang berbeda.”
Sampai titik artikel ini, saya jadi teringat perkataan Samsul Ma’arif, dosen Filsafat UGM yang pernah mengatakan, “Jika kita menulis itu, maka kita juga harus bisa adil. Artinya, kita juga harus bisa jadi tokoh pertama, aku, kedua, dia dan orang lain, kita, dalam memandang atau mengoreksi tulisan kita itu.”
Kesimpulan yang saya peroleh dari ketiga hal di atas: artikel Koran Sindo, komentar Pak Hermowo dan perkataan Samsul Ma’arif di atas adalah Anda yang menginginkan untuk mengurangi masalah yang tengah dihadapi, maka solusinya adalah: menulislah. Tulis apa saja yang sedang Anda rasakan secara koheren dan logis, disamping bisa mengoreksi diri sendiri dari perektif yang berbeda.
Semua Orang Punya Masalah
Seperti yang kita tahu, setiap orang pasti pernah mengalami yang namanya stres. Stres tidak diartikan sebagai orang gila. Ini sebenarnya yang masih keliru dan terjadi di kalangan masyarakat awam. Stres, merujuk pada kamus psikologi, adalah suatu kondisi dimana seseorang mengalami tekanan. Bisa tekanan yang berat maupun ringan. Penyebabnya pun beragam. Bisa karena, misal, ada masalah di sekolah, putus dengan pacar, putus kerja, berantem dengan orang tua atau yang lain.
John Muliigan, seorang veteran perang Vietnam, pernah mengalami kondisi stres yang begitu luar biasa setelah dia pulang ke Amerika. Hingga sebegitu beratnya, dia sampai hidup menggelandang selama enam tahun karena trauma akibat perang yang pernah dijalaninya itu.
Sampai suatu ketika, John mengikuti workshop menulis yang diadakan salah satu penulis tersohor bernama Maxine Hong Kingston. Setelah mengukuti workshop itu, John lalu mulai menuliskan semua kegelisahan dan menumpahkan segala isi hatinya itu ke dalam tulisan-tulisannya.
Apa yang terjadi?
Ajaib bukan main! John merasakan beban hidupnya perlahan-lahan terangkat. Pikirannya lebih tenang dan hidupnya juga lebih santai. Inilah salah satu bukti bahwa aktifitas menulis bisa meringankan bahkan menyembuhkan seseorang dari masalahnya.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Karena ‘mereka’ telah meluapkan segala isi hatinya, membuang segala bebannya dan menuliskannya kedalam sebuah tulisan secara koheren dan logis, ditambah mampu memandang hidup dari perpektif lain.
Dr. James W. Pennerbaker, seorang peneliti yang di atas telah disinggung Pak Hernowo, melakuan penelitian pada tahun 1990 tentang pengaruh menulis terhadap kesehatan jiwa. Apa hasil penelitian Pennebaker? Penelitian itu menyimpulkan: menulis memang bisa menjernihkan pikiran, bahkan mengatasi trauma.
Penelitian Pennerbaker ini kemudian menjadi semacam acuan bagi para psikolog yang sering mendapati klien dengan kasus-kasus serupa. Mereka menjadikan penelitian Pennerbaker itu sebagai salah satu acuan untuk membantu dan memotivasi orang-orang yang mengalami stres atau trauma lewat ‘jalur’ menulis. Itulah yang juga saat ini dilakukan oleh Dwita Priyanti dalam membuka kelas menulis ekperif, seperti yang saya singgung di atas.
Nah, sudah terjawab, bukan: apakah menulis bisa digunakan untuk terapi? Semoga bermanfaat. [Haris]***
Menarik haris.. Saya bisa mendapatkan ilmu baru disini, terlebih lagi dengan banyaknya tokoh yang mengembangkan menulis sebagai salah bentuk terapi.. Namun yang menjadi pertanyaan saya *hingga saat ini*, bagaimana menulis ini dapat dijadikan salah satu bentuk asesmen awal *jika tidak dikatakan sebagai terapi* atas masalah yang dihadapi individu, bagi individu yang memang sangat sulit menuliskan apa yang ada di benaknya. sekiranya misalnya, individu tsb kita minta, "tulislah apapun yang ada di benak Anda, apa yang Anda rasakan, pokoknya apapun yang Anda pikirkan saat ini", mungkin bisa menjadi awal yang sulit bagi individu2 tertentu. Bahasa saya, "no idea". sama halnya dengan bentuk terapi seperti art therapy atau painting therapy, dimana individu (mungkin) merasa kesulitan untuk 'mengeluarkan' apa yang ada di benak mereka dalam bentuk coretan, gambar, lukisan, atau bentuk artefak lainnya... Monggo di-share ilmunya... biar saya juga belajar :)
BalasHapusMungkin itu (yang mbak maksud di atas) ya mbak, yang menjadi kelemahan dari "menulis" ini jika digunakan sebagai assesmen awal atau terapi.
BalasHapusKita semua tahu kan ya, setiap hal itu pasti memiliki kelemahan, termasuk seperti yang mbak katakan di atas: dalam art therapy atau painting therapy pun, juga ada individu2 tertentu yang juga kesulitan untuk mengeluarkan apa yang ada di benak mereka.
Sebagai solusi dan sekedar berbagi aja ni mbak, haris pernah membaca artikelnya pak hernowo yang berjudul "menulis mengalir". "Menulis mengalir" adalah sebuah kegiatan menulis yang dapat membantu si penulis untuk mengeluarkan dirinya lewat kata-kata yang dipilih, disusun, dan dirangkainya.
Dalam tulisannya itu, pak hernowo mengutip artikel Farid Gaban yang mensyaratkan 3 syarat untuk diperhatikan sebelum individu itu menulis.
Pertama, individu itu perlu mempersepsi bahwa dirinya itu sendirian di muka bumi ini ketika ingin menjalankan kegiatan “menulis mengalir”.
Kedua, individu itu disarankan untuk menggunakan kata ganti orang pertama—“aku” atau “saya”—di awal kalimat yang ingin mereka ciptakan. Contoh, “Aku mau menulis apa hari ini?” atau “Saya baru saja membaca buku karya Rhenald Kasali, Change! ; apa yang saya peroleh dari buku tersebut?”, atau "Jujur, saya bingung mau menulis apa hari ini, soalnya…. dan seterusnya.”
Ketiga, terus bertanya saja kepada diri sendiri tentang sesuatu yang ingin mereka tulis serta—ini yang katanya penting sekali—hindarkan diri untuk mengoreksi tulisan
Intinya, mbak, dalam menulis mengalir itu, yang paling penting: mengalir aja, ndak harus ada ide untuk ditulis, pokoknya, mengalir-menulis-mengalir-menulis-mengalir-menulis, begitu seterusnya. Misalnya, individu itu bingung mau nulis apa, ya…tulis aja "saya bingung mau nulis apa" lalu dirangkai lagi dengan kalimat-kalimat selanjutnya, misal, "saya bingung mau menulis apa, soalnya bla..bla..bla..." kemudian bisa ditambahkan juga untuk merangkai ke paragraf selanjutnya dengan kata-kata seperti: tetapi, namun, seringkali, bahkan, dan seterusnya.
Oiya, terima kasih ya mbak Hazhira, sudah mau berkunjung ke rumah ketiga-harisbebagi ini. Semoga selalu memberi inspirasi dan bermanfaat,
Salam
www.haris-berbagi.co.cc
baru baca ris.. begitu ya... mungkin bisa juga sih... malah jadi kepikiran buat saya juga nih. Lha wong saya tuh agak susah kalo buat tulisan sehari-hari. Kaya di catatn harian gitu lho...
BalasHapusMalah jadi kepikiran, jangan-jangan di blog saya ntara rata-rata isinya adalah.. "Saya gak tau mau nulis apa hari ini...karena..." Ato "Saya bingung mau nulis apa sekarang...soalnya..." ato "wah, nulis apa ya hari ini.. ?", ato "ide apa ya buat tulisan hari ini?"
Jiahh...isine bingung kabeh... Hehehe.. Just kidding :P