Sejak Dulu, Dahlan Memang Aneh dan Nyleneh

[Resensi Buku]

Judul           : Dahlan Juga Manusia
Penulis        : Siti Nasyi’ah
Editor          : Yusak Sunaryanto
Tahun          : Juni, 2012
Penerbit       : PT. Elex Media Komputindo
ISBN            : 978-602-00-2937-5
Tebal           : 282 halaman
Resentator    : Nur Haris Ali*)


Nama Dahlan Iskan—mantan CEO Jawa Pos—tentu sudah begitu familiar di telinga publik. Belakangan, dirinya menjadi sorotan berita di berbagai media massa. Tindakan-tindakannya yang aneh dan nyleneh menarik perhatian sejumlah publik. Banyak yang memuja, tapi tidak sedikit yang menganggapnya pencintraan.

“Ketika Dahlan menginap di rumah petani, kemudian turun ke sawah ikut menanam padi, orang bilang pencitraan. Saat naik KRL dan disambung dengan ojek menuju Istana Bogor, dikatakan media sebagai menarik simpati publik. Pada waktu diangkat menjadi menteri, kemudian tidak mau menerima gaji, tidak tinggal di rumah dinas, tidak menggunakan mobil dinas, dan tak mau memakai pin menteri, orang menyebut Dahlan sombong dan hanyak meningkatkan popularitas,” (hlm. 271).

Adalah Siti Nasyi’ah, penulis buku ini, mantan wartawan Jawa Pos yang lama bergelut dengan Dahlan. Ia membeberkan sejumlah kisah nyata eduinspiratif dari perilaku nyleneh Dahlan yang hingga kini masih kerap dilakukan. Dengan gaya bahasa empuk tapi meledak-ledak, kocak tapi faktual, Siti Nasyi’ah—yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Ita sesuai inisialnya ketika di Jawa Pos—mengupas secara rinci pengalaman pribadinya selama bersinggungan langsung dengan Menteri BUMN kelahiran Magetan itu.

Seperti yang dirasakan banyak orang, dalam bukunya ini, Ita pun mengaku Dahlan adalah sosok manusia aneh, atau agak aneh, bahkan mungkin aneh banget yang pernah ia temui. Banyak pertimbangan mengapa Ita yang juga penulis buku best seller Haji Kok Nunut ini memberi nilai aneh pada bosnya. Salah satunya, menurut Ita, Dahlan yang notabene adalah orang nomor satu di Jawa Pos, yang tentu berpenghasilan jauh lebih tinggi dibanding bawahannya. Tapi mengapa, penampilannya kala itu (hingga sekarang—res.) masih saja biasa-biasa saja. Ita menyebutnya, penampilan yang slengekan. Ala kadarnya. Masalah pakaian, Ita mencontohkan. Jangankan bermerk, pakai pakaian yang layak, seperti hem saja jarang. Pantas bila sejak awal, bos yang suka “usil” dengan anak buahnya itu gemar memakai kaos atau singlet berkerah. Tidak pandang bulu, apakah dipakai siang hari, sore, atau bahkan malam hari.

Pantas pula jika kebiasaan Dahlan adalah memakai sepatu kets. Jenis sepatu olahraga yang biasa dikenakan saat orang sedang bersantai. Dan lagi-lagi, tulis Ita, tidak peduli acara resmi ataupun santai. Sepatu itu tidak pernah absen dari sosok mantan direktur PLN itu.

Selain itu, Ita yang pernah penulis buku Mami Rose ini, juga menjabarkan kebiasaan naik ojek Dahlan. Pada bagian ini, Ita kembali mencoba untuk meneguhkan kepada publik bahwa sebelum jadi seperti yang sekarang pun, bos Jawa Pos itu sudah kerap naik ojek. Hal itu dilakukan saat melakukan penelusuran untuk sirkulasi koran Jawa Posnya  ke daerah-daerah. Tidak jarang pula Dahlan naik ojek untuk memenuhi undangan dari para pejabat tinggi di Surabaya, waktu masih menjabat pimpinan tertinggi Jawa Pos.

“Lebih gila lagi, kalau dianggap kurang kencang, Pak Bos lah yang gantian jadi tukang ojeknya. Sedangkan tukang ojek yang asli duduk di belakang, dibonceng Pak Bos. Yang terpenting bisa tancap gas, weeeeeerrr,” tulis Ita (hlm. 39)

Di bagian lain, dalam kisahnya bersama Dahlan, Ita menceritakan bahwa dirinya sering “dihukum” ketika jadi wartawan oleh bos yang kini justru dianggap seperti ayahnya sendiri itu. Ita pernah disuruh mencari mobil yang entah dimana Dahlan lupa memarkir. Ita kerap disuruh membayar ojek atau taksi yang tidak hanya satu atau dua kali. Tapi paling sedikit 10 kali dalam tiap bulannya.

Hukuman yang paling terekam karena berkesan hingga sekarang, aku Ita, adalah ketika dirinya dipanggil dengan suara keras bak halilintar hingga semua awak Jawa Pos hafal dengan “nada” panggilan itu. Dan anehnya, Ita hanya dihukum untuk “duduk diam” di kursi samping Dahlan yang tengah mengedit berita untuk halaman satu.

Setelah sekian tahun, Ita baru menyadari, bahwa perilaku yang aneh dan nyleneh seorang Dahlan kepadanya itu punya banyak makna. Gara-gara “didikan aneh” Dahlanlah, Ita akhirnya bisa menorehkan prestasi sebagai juara pertama karya tulis pers tahun 1993-1994. Gara-gara “didikan nyleneh” Dahlan jugalah, Ita berhasil jadi wartawan terbaik Jawa Pos. Penghargaan itu ia raih karena komitmennya dalam mengungkap kasus Haji Kok Nunut dengan pemberitaan eksklusif, rinci, detail, dan faktual sebagaimana diajarkan Dahlan Iskan selama di Jawa Pos.

Sekedar tahu saja, kasus Haji Kok Nunut di tahun 1992 kala itu, benar-benar membikin pemerintah RI merasa tertampar di dunia penerbangan internasional. Membuat negara Arab Saudi akhirnya tahu. Jika Indonesia menyembunyikan penumpang illegal. Penumpang yang tidak terdaftar pada pemerintah Arab Saudi sebagai calon jamaah haji.

“Justru dari perilakunya yang aneh itu, ada sesuatu hal unik dalam dirinya. Ketelitian dan kejelian jadi patokan utama dalam bidikan sebuah kasus. Maka, Pak Bos selalu memerintahkan membaca, membaca, dan membaca ulang setiap berita yang sudah dimuat,” aku Ita (hlm. 181)

Banyak lagi pengalaman-pengalaman Ita bersama bosnya yang penuh emosi dan kemarahan ala Dahlan Iskan itu. Semua kisah interaksi yang aneh dan nyleneh itu Ita satukan dalam satu bab: Aksi dan Eksekusi, dalam buku ini. Seperti Dahlan pimpin langsung berita Walikota, Dahlan jadi sopir pribadi Ita, dan Dahlan, dengan ide-ide hebohnya, memberangkatkan ribuan supporter Persebaya ke Senayan Jakarta di tahun 1987, dalam jumlah yang amat-sangat-besar: 300 armada bus ber-AC, tiga pesawat Garuda berjenis besar, dan puluhan gerbong kereta api dari stasiun Pasar Turi (baca hlm 236-241).

Buku ini bukan tentang kisah hidup Dahlan Iskan, meski sedikit disinggung masa kecil Menteri BUMN itu. Tapi ini, sekali lagi, adalah kisah tentang interaksi wartawan berinsial Ita dengan bosnya para wartawan berinisial Dis. Banyak “pelajaran” yang disampaikan Dahlan kepada anak buahnya, lewat buku ini. Berbagai macam pelajaran disampaikan Dahlan kepada Ita bak seorang ayah kandung. Pantas saja Ita pun menulis bahwa dirinya kini memanggil Dahlan tidak lagi dengan sebutan pak bos, tetapi abah Dis. Meski ditemukan, beberapa typo di banyak tempat.

"Buku ini ditulis berdasarkan pengalaman pribadi saya selama mengenal sosok Dahlan Iskan. Dulu saat menjadi anak buahnya hingga sekarang saya anggap sebagai ayah sendiri. Agar semua khalayak tahu bahwa sosok Dahlan Iskan itu bukan pencitraan dan seperti inilah beliau dari dulu. Tidak ada yang dibuat-buat dan sifat aslinya seperti itu. Dalam berpenampilan juga, tetap sepatu kets, kemeja dan tanpa jas," kata Ita, sebagaimana dikutip Antara (27/7)

Pun demikian, buku ini saya katakan: sangat recommended bagi para pembaca sekalian. Lewat buku ini, pembaca akan diajak mengenal lebih dekat: sosok manusia yang—saya sendiri menyebut—aneh dan nyleneh, bernama Dahlan Iskan itu. Aneh karena mampu menerobos berbagai sekat antara pejabat dan rakyat. Dan nyeleh karena gampang diajak diskusi, bisa ditemui dimana saja, dan tetap wartawan meski sudah jadi menteri. Selamat membaca!

*)Asisten editor Jurnal Khazanah UII dan mantan aktivis Persma Himmah UII

Dahlan Iskan bersama Siti Nasyi'ah (Ita)
(c) Siti Nasyi'ah

1 komentar:

  1. Melalui blog ini, saya ucapkan terima kasih banyak kepada Mbah Suro atas bantuan anka togel nya, yg di berikan saya kemarin alhamdulillah benar2 tembus, berkat bantuan Mbah saya sudah bisa melunasi semua hutang2 saya sama tetangga bahkan saya juga sudah punya modal sedikit buat usaha kecil-kecilan, sekali lagi terima kasih banyak Mbah atas bantuannya kpd saya.. Jika anda ingin seperti saya hubungi aja beliau di nmr 082 354 640 471 atas nama Mbah Suro Ninggil........

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini