Curhatan Organisasi

Hari ini, Selasa (20/3), saya diminta menggantikan Saifullah Yusuf, adik angkatan saya, buat jadi asisten pemandu program pesantrenisasi. Bertempat di Asrama Mahasiswa Kampus Terpadu Universitas Islam Indonesia (UII), Kaliurang 14,5. Tempat dimana biasa dilaksanakan program pembinaan keagaaman bagi mahasiswa-mahasiswi baru UII. 

Kalau dari pengalaman, memang ini bukan kali pertama. Jujur, saya sangat sering untuk persoalan menggantikan atau tidak menggantikan dalam hal jadi asisten. Seingat saya, awal mula jadi asisten program pesantrenisasi itu tahun 2009 satu tahun setelah saya masuk kuliah. 

Seperti biasa, setelah tugas asisten selesai, kami para asisten duduk-duduk di ruang tengah, dekat lemari besar dan komputer, sekedar berbincang-bincang dan membicarakan banyak hal. Kadang juga diskusi, kadang juga debat. Ada sekitar enam orang kali ini yang duduk di ruang tengah bermeja lonjong itu. Ada Mas Tian, Mas Fathur, Ustadz Hakki, Mas Fajar, Mas Rahmat Ibarahim dan saya sendiri. 


Perbincangan pun semakin mencair. 

Awalnya kita orang asyik bincang-bincang masalah pengalaman--karena lama tidak jumpa. Namun, perbincangan pun jadi berhenti saat seorang peserta pesantrenisasi datang menghampiri kami. Dia mahasiswa baru (maba) Jurusan Ilmu Hukum. Maba itu kemudian duduk lalu bicara panjang lebar. Singkat cerita. Dia akhirnya "curhat" tentang kesibukannya belakangan terakhir. 

"Memangnya, mas nya sekarang aktif di organisasi apa?" tanya Mas Tian setelah kami enam orang dalam ruangan itu mendengarkan cerita si maba itu.

"Saya aktif di HMI mas" jawab maba yang berlengan baju pendek itu. "Ini sekarang mau persiapan buat demo BBM lagi, nanti hari Kamis" lanjutnya.

"Oh..." saya dan Mas Tian saling mengangguk.

Sumber gambar: google
"Tapi saya mau keluar mas," lanjut cerita maba itu, "saya juga sudah bilang ke Imam (ketua HMI) nya. Sama temen-temen juga sudah bilang," 

"Lha kenapa, mas?" tanya saya.

"Temen-teman HMI itu semangatnya bagus, saya acungi jempol. Tapi aksinya cuma itu-itu saja. Saya kurang suka. Revolusi-revolusi, tapi mana? apa? ndak ada" maba bercerita dengan mengangkat kedua tangannya ke samping.

"Terus?" Mas Fathur menyahut. Sementara Ustadz Hakki dan Mas Rahmat Ibrahim tetap diam saja. Sepertinya sedang sibuk sendiri setelah maba itu datang menghampiri kami, tadi.

"Kalau ada kamera televisi, pas demo misalnya, pasti temen-temen langsung berebut di depan. Pengen di shooting. Ah...apa coba," maba itu masih melanjutkan "Saya pernah ditegur, mas, sama tukang becak waktu ikut demo,"

"Ditegur gimana?" tanya Mas Tian kali ini.

"Katanya gini, mas...mas...buat apa lho demo. Gak ada gunanya mas. Kuliah saja yang bener. Belajar yang serius. Mau demo, SBY juga gak bakalan denger kok. Apalagi kalian, cuma 20 orang gitu," maba itu bercerita, menirukan apa yang didapatnya dari tukang becak, "Nah dari situ, mas, karena dibilangin sama tukang becak itu, saya sadar," maba itu masih melanjutkan.

"Sadar maksudnya?" Sekarang gantian Mas Ibrahim yang bertanya.

"Ya sadar, kalau demo-demo itu sebenarnya kurang efektif," jawab maba. Dia lalu memandang Mas Fathur, "Iya sih, itu sosial. Bela rakyat kecil. Tapi juga apa, SBY juga gak bakal denger," jawab si maba. Sekarang dia memandang Mas Tian dan saya yang memang duduk berdekatan, "Hmmm....saya mau ikut Takmir Fakultas Hukum saja mas, yang sering ngadain kegiatan-kegiatan, bazar buku, ngajar TPA, gitu-gitu."

"Hmmm...." Mas Fathur seperti berdehem.

"Itu kegiatannya lebih real mas. Setuju saya. Dulu, saya juga orang HMI kok mas, tapi cuma satu semester, abis itu keluar," saya berkata, dengan niatan mendukung maba itu. he2

"Kenapa, mas?" maba itu sekarang bertanya ke saya.

"Karena saya merasakan atmosfir organisasinya waktu itu. Nanti bakalan seperti apa. Jadi, saya mending keluar, dari pada ndak bisa mengaktualisasikan diri saya," saya mengakhiri, sambil bergumam "Itu sebabnya juga mas, sekarang saya pilih ikut Al Khidmah Kampus. Dijamin deh, ndak bakalan ada demo-demoan. Malah semua kegiatannya real. Ikut Al Khidmah yang diurusin cuman satu: hati. Hati masing-masing dan juga hati orang-orang." 

Saya pun tersenyum lega :-)

2 komentar:

  1. urus diri sendiri dulu baru abis itu urus orang lain.. begitu ya, Mas Haris. hehe

    BalasHapus
  2. Hehe...mungkin bisa seperti itu juga, Mas Sufren. Terima kasih atas kunjungannya ya, Mas Sufren :)

    BalasHapus

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini