Tulisan saya ini berangkat dari sebuah pertanyaan pribadi yang belum terjawab: pengalaman diversity, faktor protektifkah atau justru sebaliknya: faktor resiko? Pengalaman yang saya tulis ini adalah nyata. Saya anggap masuk pada jajaran pengalaman diversity yang pernah saya alami sekitar dua sampai tiga tahun yang lalu. Sebelumnya, mungkin perlu saya garis bawahi bahwa pengalaman diversity di sini saya pahami sebagai sebuah pengalaman yang berkaitan dengan keberagaman. Apapun itu bentuk keragamannya.
***
Waktu itu, saya masih berstatus mahasiswa baru di kampus ini: Univeritas Islam Indonesia (UII). Jurusan saya Psikologi. Saya adalah satu-satunya mahasiswa angkatan 2008 di jurusan ini yang tinggal di pondok pesantren UII Condongcatur.
Jika dilihat dari asalnya, pengalaman diversity yang akan saya tulis ini tidak banyak saya temukan di kampus, tapi malah di pesantren. Cukup kentara waktu itu. Bagaimana tidak, ada sekelompok santri yang memang boleh dikatakan memiliki tingkat intelektual tinggi, namun masih saja memiliki ciri khas tersendiri. Seperti, suka menulis (baca: lomba karya tulis ilmiah), suka main (baca: bola, play station, tenis), suka berorganisasi, suka baca kitab kuning dan yang lainnya. Memang, ini adalah diversity yang tak seberapa. Tapi bagi saya, ini menambah pengalaman diversity saya dari pada dulu, waktu saya nyantri di pesantren Hidayatul Mubtadiien Tulungagung yang minim akan pengalaman diversity.
Ada lagi. Pengalaman diversity selanjutnya sangat kentara ketika masuk pada bulan ramadlan. Yaitu, ketika melaksanakan sholat sunah tarawih. Waktu itu adalah hari pertama di bulan ramadlan. Jama’ah cukup banyak, bahkan beberapa masyarakat kampung sekitar pesantren ikut sholat tarawih di masjid pesantren UII. Sudah menjadi lumrah dan bisa ditebak bahwa bagi sebagian santri dan jama’ah yang asli Jogja, biasa memakai 8 rakaat di sholawat tarawihnya. Tambah 3 rakaat sekali salam untuk shalat witir. Tapi, bagi sebagian santri dan jama’ah yang bukan asli Jogja, seperti saya misalnya, biasa memakai 20 rakaat untuk tarawih dan 3 rakaat dengan dua salam untuk witir. Uniknya, para jama’ah tidak terjadi cek cok. Mereka tetap menghormati. Yang ingin melanjutkan 20 rakaat tetap lanjut. Begitu pula yang ingin berhenti, cukup 8 rakaat juga monggo. Tidak ada ejekan atau pun suara-suara yang mengarah pada gunjingan atau menyalahkan.
Masih ada lagi pengalaman lain tentang diversity. Ketika itu, saya ketepatan jadi asisten dosen rusunawa. Pengalaman satu ini sedikt beda dengan yang di pesantren UII di atas. Yaitu ketika saya didapuk untuk menjadi imam shalat shubuh oleh teman-teman sesama asisten. Saya manut saja. Saya laksanakan. Dan waktu itu, adalah hari ketiga kegiatan rusunawa. Paling tidak, untuk kegiatan seharian di hari ketiga waktu itu, hampir serupa dengan hari pertama dan kedua, termasuk amaliah setelah shalatnya.
Pada hari pertama kegiatan rusunawa, teman saya yang jadi imam shalat shubuh. Selesai shalat, ia tidak memakai wirid yang disuarakan. Hari kedua pun demikian. Tapi giliran saya waktu jadi imam, di hari ketiga kegiatan rusunawa, sengaja saya pakai wirid plus doa qunut. Saya keraskan dan tidak bermaksud apa-apa, tapi karena ini adalah kebiasaan yang sering saya lakukan. Jadi saya teruskan saja. Dan, respon teman-teman serta para jama’ah waktu itu, tetap bisa mengikuti.
Di awal tulisan ini saya melempar pertanyaan: pengalaman diversity, faktor protektifkah atau faktor resiko? Maksud saya mempertanyakan seperti itu adalah, seandainya suatu ketika saya berada di lain daerah, lain adat dan kebiasaan, kemudian orang-orang di sekitar saya merespon apa yang saya lakukan (konteksnya misal sama persis dengan cerita di atas: masalah ibadah) tidak baik: menyalahkan, mengejek, menggunjing, karena saya tidak sama dalam beberapa kebiasaan ibadah dengan mereka, apakah pengalaman diversity mampu menjadi faktor protektif bagi saya? Atau justru sebalikya: menjadi faktor resiko? Masih tanda Tanya.
Gambar dari sini |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini