Oleh Nur Haris 'Ali
Memasuki tahun baru 2011 ini, tentu serentetan cita-cita dan harapan baru telah membarengi kita untuk kita ukir di sana. Bagi yang tahun 2010 kemarin cita-cita atau harapannya belum terwujud, maka di tahun baru 2011 inilah harapan dan cita-cita itu harus terwujud. Bagi yang tahun 2010 kemarin, ada hal-hal yang belum terselesaikan, maka ditahun 2011 inilah harus terselesaikan semua hal ihwal-nya. Hal semacam demikian inilah yang biasanya sering didengung-dengungkan oleh para motivator ketika mengisi training motivasi di awal tahun yang pesertanya adaah para guru. Mereka, para motivator, biasanya juga mengatakan: permasalahan tahun lalu, biarlah berlalu, sekarang saatnya menjemput masa depan dengan penuh kepastian.
Memasuki tahun baru 2011 ini, tentu serentetan cita-cita dan harapan baru telah membarengi kita untuk kita ukir di sana. Bagi yang tahun 2010 kemarin cita-cita atau harapannya belum terwujud, maka di tahun baru 2011 inilah harapan dan cita-cita itu harus terwujud. Bagi yang tahun 2010 kemarin, ada hal-hal yang belum terselesaikan, maka ditahun 2011 inilah harus terselesaikan semua hal ihwal-nya. Hal semacam demikian inilah yang biasanya sering didengung-dengungkan oleh para motivator ketika mengisi training motivasi di awal tahun yang pesertanya adaah para guru. Mereka, para motivator, biasanya juga mengatakan: permasalahan tahun lalu, biarlah berlalu, sekarang saatnya menjemput masa depan dengan penuh kepastian.
Bagi saya sendiri, kurang begitu sependapat dengan hal tersebut. Bagimanapun juga, tahun yang lalu: 2010, memiliki kaitan erat dengan tahun baru 2011 ini. Bahkan, secara ekstrim teori Psikoanalisis Sigmund Freud menyebutkan bahwa manusia di masa depannya itu dipengaruhi oleh masa lima tahun pertamanya. Bisa kita bayangkan, bukan, alangkah jauhnya seandainya orang-orang yang saya contohkan tersebut, saat ini sudah berusia 63 tahun. Itu berarti panjangnya jarak dan waktu (baca: masa) tidaklah memiliki sekat-sekat sehingga menghalang-halangi seseorang untuk mempengaruhinya.
Saya miris mendengar berita di salah satu harian surat kabar nasional hari ini (2/1) tentang nasib para guru. Rupanya, di negara kita ini masih saja ada guru yang memiliki nasib yang “terlantar”. Apa? Sekitar 1500 guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) di kawasan Batu Jawa Timur, mengeluhkan uang lauk pauk yang, hingga dua bulan terakhir ini: November dan Desember 2010, belum dicairkan oleh pemerintah. Bisa kita bayangkan, bukan, sekarang ini sudah memasuki tahun 2011, namun nasib mereka pun tak kunjung diopeni selama dua bulan terakhir, walaupun hanya permasalah uang lauk pauk.
Bahkan, menurut pengakuan beberapa guru di berita yang saya baca itu, uang lauk pauk para guru berstatus PNS itu awalnya memang belum dicairkan selama enam bulan, yakni sejak Juli sampai Desember 2010. Baru setelah mereka para guru itu melakukan “protes” kepada pemerintah, uang baru dicairkan. Itupun tidak semuanya. Saya menjadi berfikir, apakah jangan-jangan sistem dan menejemen pemerintahan kita itu, baru akan berjalan kalau kita memprotesnya dulu? Semoga tidak demikian.
Memang tidak begitu besar jika kita lihat nominal uang lauk pauk itu. Namun, dapat kita bayangkan, bukan, seorang guru juga harus mencukupi kebutuhan keluarganya. Belum lagi anak-anaknya dan kebutuhan lain yang melingkupiya. Besaran uang lauk pauk yang cuma Rp 10 ribu itu jika dikalikan dengan masa kerja efektif yang dihitung dalam satu bulan memang hanya 20 hari. Artinya, setiap guru pun seharunya menerima sekitar Rp 200 ribu perbulan. Sementara, dalam masa waktu dua bulan, uang lauk pauk belum juga diberikan. Itu artinya, jumlah uang yang seharusnya dibayarkan per guru adalah sekitar Rp 400 ribu.
Kabar di atas terjadi pada mereka para guru yang berstatus PNS. Jika mereka yang masih berstatus PNS saja masih demikian, pantas saja jika guru yang berstatus tidak tetap (GTT) lebih "sengsara" di bawahnya. Sudah mereka berstatus gutu tidak tetap, mengajar dengan jam pelajaran yang banyak, dan masih dituntut tanggung jawab besar pula. Sungguh sangat miris, bukan?
Pantas pula jika tahun 2010 kemarin, dianggap sebagai tahun tersuram bagi guru-guru di Indonesia. Setahun kebijakan pemerintah tidak ada yang benar-benar mengangkat pada peningkatan kapasitas dan menyentuh guru. Sehingga, benar apa yang diakui oleh Retno Listyati, guru SMAN 13 Jakata Utara, yang mengatakan bahwa penyaluran tunjangan profesi guru tahun 2010 adalah yang terburuk sejak ada sertifikasi guru lima tahun silam (Republika 29/12, 2010).
Pantas saja bila, sekitar 700 guru tidak tetap atau guru honorer di Bandung, yang tergabung dalam Persatuan Guru Honorer Indonesia (PGHI) mengeluhkan nasibnya kepada pemkab setempat lantaran sudah puluhan tahun tanpa adanya perbaikan kesejahteraan maupun kesempatan untuk diangkat menjadi PNS (Pikiran Rakyat, 28/12 2010).
Tahun 2011, Harapan Baru Para Guru
Memasuki tahun baru 2011 ini, tentunya sekian harapan telah terpatri dalam hati para guru bangsa ini. Tulisan saya ini, saya harap bisa menyadarkan dan memang sengaja saya tujukan untuk pemerintah dan pihak-pihak terkait. Hal yang tidak baik seperti yang dieluhkan para guru di atas, tidak terulang lagi di tahun 2011 ini nanti. Sistem dan manajemen pendidikan harus segera dibenahi demi kemajuan para guru yang mendidik anak-anak bangsa ini. Jika kita mengharapkan anak-anak bangsa kita cerdas untuk di kemudian harinya, bagaimana mungkin hal itu akan terwujud jika nasib para gurunya saja tidak ter-openi ? Selamat Tahun Baru 2011, semoga dunia pendidikan kita semakin lebih baik!
gambar dari google.com |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini