Oleh Nur Haris Ali
Rangkuman:
Tindakan korupsi di Indonesia sepertinya sudah menjadi “budaya” yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ibaratnya, seperti dogma yang disuntikan ke ubun-ubun. Hal itu kemudian menyeret ke pertanyaan, perlukah revolusi besar-besaran untuk memutarbalikan semua itu? Anehnya, para pelaku korupsi kebanyakan adalah para pemeluk agama. Padahal, Indonesia dikenal dengan negara yang religius. Apakah yang seharusnya dilakukan pemerintah dan agama dalam hal ini? Berbagai upaya hukum telah dilakukan. Namun, hasilnya pun kurang maksimal. Melihat kebuntuan penegakan hukum terhadap praktik korupsi yang kian marak, maka harus ada cara lain sebagai solusi alternatif menangani masalah ini. Jalur kolaborasi antara agama dan pemerintah adalah solusi yang saya yakini mampu melakukan empowering terhadap masyarakat untuk memberantas bersama praktik korupsi dalam berbagai bentuk.
***
Apa yang bisa dikatakan ketika semakin banyak pejabat negara atau figur publik negeri ini terbelit kasus korupsi? Di mana moralitas bangsa ini? Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat yang terukir dalam Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ada fakta yang kontradiktif dalam beberapa tahun terakhir ini. Ketika kegairahan beragama masyarakat menampakkan peningkatan drastis, antara lain dengan semakin maraknya penguatan pemahaman beragama dan simbol-simbol keagamaan, pada saat yang sama justru semakin marak pula praktik korupsi dan perilaku bobrok di negeri ini.
Banyak pejabat termasuk aparat di tingkat bawah terjerat kasus korupsi dan suap. Korupsi seperti menjalar di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Mereka yang diberi amanah untuk mengelola negeri ini malah semakin membenamkan diri dalam kubangan korupsi. Uang rakyat menjadi lumbung emas yang dikuras beramai-ramai. Tak mengherankan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) banyak yang tidak sampai ke rakyat. Maka, bukan rahasia lagi bahwa “orang-orang besar” kini terjerat korupsi, antara lain pejabat pemerintah, anggota DPR, aparat hukum (kejaksaan, kepolisian, pengacara); pengurus partai politik, hingga yang paling fenomenal adalah kasus pegawai pajak, Gayus HP Tambunan. Semua itu justru semakin marak ketika genderang perang melawan korupsi dikumandangkan sejak reformasi sekitar 12 tahun silam. Mau jadi apakah Indonesia nanti?
Anehnya lagi, praktik-praktik yang tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga memukul sendi-sendi ekonomi bangsa itu seakan menantang tanpa takut meskipun lembaga superbody Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menyeret para koruptor itu.
Informasi yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) seharusnya menjadi perhatian sangat serius. Contohnya, dalam dua tahun ini saja, gejala korupsi malah meningkat pada saat kita ramai-ramai menggebuki para koruptor.
Menurut ICW, pada semester I dari 1 Januari hingga 30 Juni 2009, perkara korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian negara senilai Rp 1,17 triliun. Pada periode yang sama tahun 2010 perkara korupsi yang terungkap malah meningkat drastis menjadi 176 kasus. Nilai kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun dengan tersangka 441 orang (Kompas, 10/8 2010).
Fakta-fakta di atas, menunjukkan penegak hukum belum mampu membuat efek jera. Akan tetapi—yang lebih penting—juga tak lepas dari hal yang sangat mendasar, yaitu moral bangsa. Praktik korupsi sesungguhnya menjatuhkan martabat sebagai manusia. Kalau saja masyarakat sekarang juga permisif terhadap praktik-praktik busuk itu, menunjukkan bahwa masyarakat juga sedang “sakit”. Lantas di mana pesan-pesan agama atau “ketuhanan” yang terpatri erat di sila pertama Pancasila?
Jalur Kolaboratif
Emile Durheim, salah satu pencetus sosiologi modern, pernah mengatakan bahwa agama bukan hanya sistem gagasan, melainkan juga sistem kekuatan, termasuk kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini menimbulkan etika sosial di masyarakat yang menghasilkan sanksi-sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas wilayah suci atau merusak tradisi suci, sanksinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini, Durkheim menilai agama sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.
Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah dan agama dalam menanggulangi hal ini? Pertama, pemerintah dapat menggunakan lembaganya yang ada, seperti MUI dan sejenisnya, untuk mengeluarkan fatwa bahwa korupsi tersebut “haram.” Tidak hanya berhenti sampai di situ, jika perilaku/tindakan korupsi sudah di fatwakan haram, maka pelakunya pun juga harus diberikan sanksi “koruptor = kafir”.
Kedua, jika agama ingin sukses memberikan kontribusi dalam proses demokratisasi dan pencegahan korupsi, maka proses pemahaman keagamaan itu harus digeser dari ritualistik kepada substansialistik. Dalam hal ini, yang harus membangun adalah para ustadz, pastor, pendeta, dan tokoh-tokoh agama. Jadi, sudah saatnya rakyat diberi penjelasan bagaimana pemahaman keagamaan secara substansi.
Ketiga, seperti kita ketahui, dana yang diselewengkan dari tindakan korupsi adalah dana yang berasal dari rakyat melalui terhimpunnya pajak. Secara esensial, penyelewengan ini dengan mudah bisa terjadi karena tidak adanya transparansi laporan keuangan kepada publik/masyarakat. Adanya akuntan publik yang melakukan audit belum menyelesaikan masalah. Karena masyarakat sama sekali tidak memiliki kepercayaan terhadap akuntan publik yang ada. Buktinya, walaupun sudah diaudit masih saja ada penyelewengan. Lalu apanya yang di audit? oleh karena itu, jika memang ada kemauan dan i’tikat (niatan) baik, maka audit harus dilakukan secara langsung oleh masyarakat. Caranya? setiap instansi pemerintah yang dalam operasioalnya menggunakan dana pemerintah, yang notabene uang rakyat, diwajibkan memberikan laporan keuangan secara detail melalui media cetak. Berikan kesempatan kurang lebih satu bulan bagi masyarakat untuk meneliti atau melakukan audit. Jika tidak ada feedback, maka laporan itu telah diterima. Hal ini bisa dilakukan pada tiap provinsi sampai tingkat kecamatan dan kelurahan. Mulai dari tingkat istana kepresidenan, sampai kelurahan.
Akhirnya, hanya dengan cara yang cerdaslah Indonesia bisa terbebas dari persoalan korupsi. Tulisan ini saya tutup dengan mengutip apa yang dikatakan Anas S. Machfudz bahwa, jika agama dan negara (baca: pemerintah) ingin sukses memberikan kontribusi dalam proses demokratisasi, toleransi, dan pencegahan korupsi, maka proses pemahaman keagamaan itu harus digeser dari yang bersifat ritual menjadi pemahanan kepada substansi. Inilah jalur kolaboratif yang efektif dalam memberantas tindak korupsi di Indonesia. Demikian, bagaimana menurut Anda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini