PRIBADI BERKARAKTER PSIKOLOGIS MUSLIM

“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu,” (QS. An-Nisaa` [4]: 86).

Oleh Nur Haris Ali

Dalam interaksi di kehidupan sehari-hari, manusia tidak bisa terlepas dengan manusia lain. Mulai dari pagi setelah bangun tidur sampai malam menjelang tidur lagi, pasti manusia melakukan interkasi dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa manusia itu adalah zoon politicon (makhluk sosial). Maka tidak jarang, muncul dalam kehidupan sehari-hari permasalahan-permasalahan interpersonal seperti kesulitan mengendalikan emosi, sering terlibat konflik dengan teman, terjadi iri dan dengki dan sejenisnya. Tak jarang pula manusia mengeluhkan persolanan pribadi yang pada gilirannya dapat menyulitkan mereka dalam melakukan hubungan interpersonal, seperti rendah diri, sikap tertutup, kecemasan tinggi, tidak mampu mengendalikan diri dan mudah mendapat pengaruh orang lain (Partosiwido, 1993; Nashori & Sugianto, 2000).
Sebagai seorang muslim, tentunya yang demikian ini juga tidak boleh dibiarkan. Artinya, kita sebagai muslim pun harus bisa berperilaku yang baik sebagaimana yang telah dicontohkan oleh guru-guru kita, atau pun siapa saja yang pernah mengajari berperilaku baik kepada kita. Isalm pun pernah mengajarkan bahwa, “Khairukum anfa’uhum linnaas,” orang yang baik itu adalah orang yang bisa memberi manfaat bagi orang lain. Bermanfaat dalam artian, mereka mampu bertindak sopan-santun kepada siapa saja dan bisa membantu jika dibutuhkan.
Kita juga sadar bahwa tidak setiap manusia itu bisa sempurna dalam berperilaku. Sebaik-baik manusia juga bukanlah manusia yang suci dan bersih dari dosa dan kesalahan, karena memang tidak ada orang yang bisa demikian. Maka, rasul pun pernah bersabda, “Setiap anak Adam pasti sering melakukan dosa dan kesalahan, dan sebaik-baik orang yang berdosa adalah orang yang rajin bertaubat.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, hasan).
Ada beberapa karakter yang bisa kita tumbuhkan untuk menjadi pribadi berkarakter psikologis muslim. Pertama, memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Salah satu sifat seorang muslim yang berjiwa besar adalah, dalam dirinya selalu tersimpan rasa ingin selalu berkhidmat (mengabdi) kepada orang lain dan bukan meminta dikhidmati oleh orang lain. Karena ia merasa yakin bahwa sebanyak itu ia memberikan perhatian kepada orang, sebanyak itu pula ia akan mendapatkan perhatian dari orang lain.
Dalam ilmu psikologi transpersonal, istilah seperti ini disebut dengan resonansi. Yaitu jika seseorang berperilaku suka menolong, misalnya, maka ia akan beresonansi (akan dikelilingi) oleh orang-orang yang juga suka menolong kepadanya. Orang lain tak ubahnya sebagai refleksi dari pada diri kita sendiri. Pepatah melayu mengatakan, “jika buruk wajah jangan lalu cermin yang dipecah,” tetapi perbaikilah bentuk dan raut wajah, niscaya cermin itu dengan sendirinya akan mengeluarkan pantulan nan indah.
Salah satu yang dapat memantulkan bayangan indah dari cermin orang lain itu adalah perilaku kita yang senantiasa ingin memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan orang lain. Tidak ada yang dapat membahagiakan hati kita, kecuali jika kita telah benar-benar membantu dan meringankan beban orang lain. Tentu dengan satu keyakinan bahwa Allah Swt. akan senantiasa meridloi segala apa yang kita perbuat.
Kedua, lemah lembut dan dapat mengontrol emosi. Dalam hidup ini, terkadang dalam hati kita sudah tertanam untuk tidak melakukan perbuatan buruk yang bakal merugikan orang lain. Namun perbuatan buruk itu bisa jadi muncul dari orang lain. Ada saja perbuatan orang lain yang membuat kita merasa jengkel dan panas hati, baik yang disengaja atau tanpa disadarinya.
Seseorang yang memiliki kepribadian yang menyenangkan, ia tidak lantas main hantam dan menyalahkan secara kasar. Namun yang ia lakukan adalah memberikan masukan secara bijak dan penuh kearifan. Boleh jadi dengan kearifannya itulah, akan membekas di hati orang yang berbuat salah kepadanya. Sehingga, di hari kemudian, orang tadi menjadi selalu merasa takut berbuat kesalahan sekecil apapun karena nasehat dan masukan yang arif, yang ia dapatkan. Sungguh besar pahala kita jika kita mampu merubah jalan hidup orang lain hanya semata-mata sikap lemah lembut dan kemampuan kita mengontrol emosi itu.
Ketiga, mampu memberikan reward dan empatik kepada orang lain. Salah satu ciri seorang muslim yang menyenangkan adalah ia mudah memberikan reward, misal pujian,
kepada orang yang telah berbuat baik sekecil apapun. Kata-kata seperti, “oh, memang betul-betul hebat kamu yah, atau, “wah, coba kalau tidak ada kamu tadi, bisa lain urusannya,” mampu menggambarkan bahwa kita benar-benar dapat menghargai karya cipta atau perilaku orang lain. Coba kita bandingkan dengan ungkapan, “ah, kalau itu sih siapa saja juga bisa”, atau “yah, lumayan lah nggak jelek-jelek banget,” dan yang semisalnya. Betapa kata-kata ini menampakkan kita belum dapat menghargai apa yang dilakukan orang lain.
Kempat, tidak membuang muka kepada orang yang suka maksiat. Dalam lingkungan kita, terkadang ada saja orang yang dianggap sampah masyarakat. Kegemarannya adalah mencari keonaran dan membuat kerusuhan dalam masyarakat. Banyak orang yang dalam menghadapi orang semcam ini malah mengucilkannya. Sampai-sampai ada kesepakatan untuk tidak melakukan hubungan dengan orang tersebut.
Sebagai seorang muslim yang berkarakter, tentunya memiliki keyakinan bahwa orang yang demikian ini tetap bisa berubah dan berperilaku baik kepada orang lain. Kita tidak boleh lekas-lekas memutuskan hubungan dengannya. Apalagi sampai memberikan label (men-judgment) buruk kepadanya. Akan tetapi sebaiknya kita berusaha untuk selalu mencari celah dan mengajaknya kembali kepada jalan yang benar. Jika Allah Swt. saja maha pengampun dan welas asih, lantas kita sebagai makhluk-Nya kenapa tidak?
Kelima, tidak bersikap angkuh. Banyak orang mengira bahwa dengan bersikap angkuh akan menjadikan seseorang disegani oleh orang lain. Bagi sebagian orang, hal ini memang bisa terjadi. Namun, sebenarnya tidaklah demikian. Justru yang betul itu adalah sebaliknya: orang akan enggan bergaul jika ia angkuh. “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong), dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.” (Luqman [31]: 18)
Dalam realitas kehidupan, bisa jadi ada orang merasa minder melihat kesuksesan hidup yang diraih oleh kita, misalnya. Rasa minder ini lalu akan melahirkan rasa rendah diri dan kurang bersahabat dengan kita. Dan pada saat seperti inilah, kita perlu menunjukkan sikap rendah hati untuk mulai mencairkan kondisi dengan bersikap ramah dan tawadlu’ kepada siapa saja. “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan….” (Luqman [31]: 19).
Terakhir, untuk menjadi pribadi berkarakter psikologis muslim, bukanlah hal yang sulit. Pasti ada banyak cara untuk menumbuhkannya. Kelima cara di atas adalah sisi lain yang bisa kita lakukan dan tentu: masih banyak lagi cara lainnya. Namun, yang terpenting adalah adanya kemauan dalam diri kita untuk memiliki kepribadian berkarakter psikologis muslim itu sendiri. Dengan memiliki kepribadian yang demikian, bukan hanya dapat mempengaruhi kesehatan jasmani dan ruhani kita, tetapi juga akan memunculkan kenyaman, kesenangan dan ketentraman bagi orang lain di sekitar kita. Demikian. Wallahu a’lam.

*Nur Haris Ali, Mahasiswa Jurusan Psikologi FPSB UII, 

-----------
Tulisan ini terbit di Buletin Al lu'lu' Pondok Pesantren UII Jogjakarta, 4 Maret 2011 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini