Siang tadi pukul 12.43 di kamar pojok, aku mencoba untuk menelfon temenku yang sekarang jadi pengurus salah satu pesantren di Jawa Timur. Rencanaku menelponnya tidak lain adalah untuk menawarkan program beasiswa bagi siswa kelas 3 SMA yang mau melanjutkan studinya untuk kuliah S-1.
Awalnya aku hanya ingin minta untuk disambungkan ke salah seorang siswa kelas 3.
“Siapalah, siapa aja bisa,” kataku
“Wah, sopo to Ris. Aku ndak kenal e”
“hehe…masak satu aja ndak kenal Wan”, kataku ke Erwan temanku itu
“Beh, jan ndak kenal o aku, Ris”
“Hmmm…dirimu kenal Ahmad Roziqin ndak?” tanyaku dengan menyebutkan satu nama yang kuingat kalau ia siswa kelas 3.
“Weleh, sopo kui, ndak kenal e aku,” jawab Erwan
“Hmm…gini lho Wan, aku tu pengen ngasih tawaran tentang beasiswa-beasiswa untuk kuliah S-1. Tapi sebelumnya aku tu pengen tahu dulu, siapa-siapa aja yang berminat. Maksudku… Semisal ada siswa kelas tiga nih, katakanlah Roziqin tadi gitu, trus dia mau mendata temen-temennya siapa-siapa yang berminat, berartikan enak to yo aku nek nyariin brosur dan keterangan-keterangan lainnya,” kataku menjelaskan
“Oo…gitu to, Ris. Weh, tapi kui ki bukan urusanku e Ris. Urusane pak Amrul kui,” katanya dengan sedikit nada penolakan
“Lho! Aku ndak minta dirimu mendatanya lho Wan. Aku tu mung pengen…”
Tiba-tiba kataku terputus dengan munculnya suara baru.
“Halo? Piye..piye…gimana ada apa ini?!”
Suara baru itu menggantikan suara Erwan. Ternyata aku tahu suara baru itu adalah suara Tata Usaha (TU) sekolah itu. Terpaksa deh aku menjelaskannya dengan sedikit bahasa formal kepadanya. Soalnya dia di awal-awalnya nyebut aku dengan sebutan Pak. Otomatis mau tidak mau aku menjelaskannya dengan bahasa yang seimbang dengan bahasanya. Aku tahu dia adalah orang baru di Sekolah itu, makanya dia juga tidak tahu kalau yang dia ajak sebagai lawan bicaranya ini adalah juga alumni sekolah itu.
Aku berulang kali berusaha menjelaskan beasiswa-beasiswa yang mau kutawarkan itu, tapi…Rupanya dia ndak paham dengan apa yang aku maksud. Dia terus berulang kali “ngeyel” dengan ucapan yang keluar dari mulutku.
“Gini lho Pak. Sebaiknya bapak datang aja deh ke sini. Biar lebih jelas,” katanya dengan nada yang kurang enak di telingaku.
Aku sudah mengatakan kalau nanti tanggal 14 Februari akan ke sana (sekolah itu)untuk menjelaskan beasiswa-beasiswa yang sudah kukantongi dan juga tentunya mempresentasikan kampusku di sana. Tapi apa memang karena dia itu orang baru ya, makanya dia ndak paham dengan maksudku. Atau akunya yang memang kurang pas dalam menjalaskan?. Terus-terusan aku “dimentalkan” dengan ucapan yang keluar dari TU baru itu. Aku mengetahui itu dari cara dan nada berbicaranya kepadaku.
Aku baru sadar. Pantesan saja banyak alumni yang saat ini “ogah-ogahan” nawarin beasiswa ke sekolah yang dulu sempat jadi almamaternya itu. Cara ngrespon-nya saja seperti itu. Mana mau diperlakukan seperti itu? Maunya niat baik-baik, tapi malah "semprotan" yang didapat. Kan semestinya ditanggapi dengan respon yang baik dan sopan. Apa susahnya? Aneh!
Aku jadi teringat dengan perkataan seorang tokoh, “hanya orang-orang yang mempunyai kemaun yang kuatlah yang bisa sukses!.” Oke deh. Nggak mau beasiswa nggak apa-apa. Toh juga hanya tawaran aja. Tapi asalkan diingat aja, ketika orang-orang yang dapat beasiswa itu kemudian mereka sukses, jangan harap deh kalau mereka nanti tidak mengakui “dirimu” sebagai almaternya dulu. Semoga ada hal baik yang bisa kau diambil dari sikapmu itu!.
—di pojok kamar 01.07 Padepokan Suci Yogyakarta—
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Bagaimana pendapat Anda terkait tulisan di atas? Silakan tinggalkan komentar Anda di sini